Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pewaris Tahta yang Bersembunyi [Novel Nusa Antara]

22 April 2020   09:31 Diperbarui: 22 April 2020   09:32 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bharatayudha. Bukankah baru saja bupati itu menyangkal lontar itu? Harusnya aku sadar akan ditipu. Sial. Ia bangkit dan mondar -- mandir di sekitar ruangan. Pada akhirnya nasibku sama seperti putri Pramodawardhani dan adiknya. Raja memikirkan keselamatan kami semua. Namun ini menganggap seakan -- akan Kerajaan Medang sudah kalah saja. Benar -- benar menyebalkan.

Berbagai macam pikiran di kepala Rakai Pikatan membuatnya terlupa kepada satu sosok di sudut ruangan. Ia mengingatnya ketika tidak sengaja melempar pandang kepada Pramawisastra. Namun Rakai Pikatan ragu dengan apa yang akan dilakukannya. Pramawisastra bergeming. Ia mencoba menghampiri.

"Tuan Pramawisastra, apakah tuan baik -- baik saja? Tolong jawab aku."

Tidak ada jawaban. Mulut dan mata Pramawisastra tertutup rapat.

"Tuan, sekarang kita dikurung oleh Mapala Senadi di tempat ini berdua saja. Apakah kau ingin melakukan sesuatu?"

Pramawisastra bergeming. Rakai Pikatan yang tidak ingin menganggu tapanya kepada para dewa menyerah dan melangkah menuju teras utara.

Di arah barat, ia dapat melihat jumlah para pemuda telah bertambah. Mereka mengangkat senjata masing -- masing dan mengatur barisan. Mapala Senadi kini dengan kudanya hilir mudik kesana kemari untuk membenarkan posisi pasukannya. Rambut panjangnya berkibar diterpa angin. Rakai Pikatan melihat seorang lain yang dikenalnya berdiri di depan pasukan pemuda. Bupati Kedu, Harian Adhyaksa. Ia berteriak -- berteriak memberikan komando kepada para pemuda. Pasukan Raka Saputro kini mulai terlihat, para prajurit berpakaian besi berada di samping para pemuda.

Seorang pemuda, Rakai Pikatan menebaknya sebagai laki -- laki berusia belasan tahun, berlari menuju arah Harian Adhyaksa dari hutan utara. Ia terlihat panik dan tergesa -- gesa, membuatnya jatuh tersungkur di hadapan sang bupati. Perkataannya kepada Harian Adhyaksa mengakibatkan kepanikan lain dalam diri sang bupati, yang bergegas memanggil Mapala Senadi. Kedua bupati tidak pernah saling bertemu.

Ratusan prajurit bercelana kuning menyerbu dari arah utara, keluar dari pepohonan. Derap langkah kaki para prajurit bersenjatakan tombak, pedang, dan tameng membuat tanah Kedu bergetar dengan hebat. Keterkejutan membuat lapangan pertarungan bergemuruh dan mengakibatkan taktik yang disusun tidak berjalan dengan semestinya. Para pemuda meninggalkan posnya masing -- masing dan menyerbu penyerang mereka. Pasukan Raka Saputro yang melihat kekacauan ini memutuskan untuk melindungi para pemuda. Mereka meninggalkan posisinya dan merangsek ke tengah -- tengah, membaur dengan kawan dan lawan. Dataran Kedu bergetar kuat pada pertarungan ini.

Rakai Pikatan menggeleng -- gelengkan kepala melihat pertarungan yang terjadi atas kehendak dewa. Ia menyaksikan baik kawan dan lawan tertembus senjata tajam. Kepala berterbangan dan warna merah mulai membanjiri tanah. Tebasan dan dentingan pedang terdengar nyaring dari arena pertempuran. Sang pewaris tahta menunduk dan melangkah ke dalam ruangan. Mungkin benar perkataan Ario Senopati. Aku belum pernah melihat pertarungan langsung, jadi aku tidak mengerti begitu mudahnya sebuah tubuh meregang nyawa. Ia katakan disana aku tidak berguna. Disini pun tidak. Aku yakin dirinyalah yang memberi pesan kepada raja untuk mengurungku sekarang.

Mata Rakai Pikatan menyapu seluruh isi ruangan menara. Ia enggan menatap medan pertempuran, kekerasan yang terjadi membuatnya mual. Ruangan itu tidaklah berukuran besar, malah bisa dikatakan kecil, hampir seluas bilik tidurnya. Rak kayu berada di sisi kirinya, dipenuhi perkamen -- perkamen dan kitab -- kitab sejarah serta bela diri. Di tengah -- tengah ruangan terdapat meja bundar dengan kursi -- kursi yang mengelilinginya. Sebuah lukisan pohon trembesi berada di salah satu dinding ruangan. Permadani yang terbuat dari kain beludru melengkapi ruangan itu di ujungnya. Dan seorang bupati kurang waras di hadapan permadani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun