Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pewaris Tahta yang Bersembunyi [Novel Nusa Antara]

22 April 2020   09:31 Diperbarui: 22 April 2020   09:32 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Habislah sudah.

Rakai Pikatan melangkah menuju teras selatan, walau pikirannya menghalanginya. Ingin menyiksa dirimu kembali, wahai Rakai Pikatan? Namun kakinya terus membawa dirinya menuju teras selatan. Pemandangan mengerikan lain tersaji di hadapannya. Hampir semua daun pintu dan jendela rumah terbuka atau berlubang. Mayat -- mayat bergelimpangan di atas jalan. Beberapa berserakan di anak sungai yang berasal dari Gunung Merbabu. Airnya memerah akibat bercampur dengan darah. Yang paling memerikan hati Rakai Pikatan adalah tidak ada satupun insan yang masih bernyawa. Tua muda, laki -- laki dan wanita, semua terhambur dan terbujur kaku.

Gerimis mulai berubah menjadi hujan ketika Rakai Pikatan melangkah masuk. Samar -- samar ia mendengar pintu menara bagian bawah digedor dan digebrak. Ia duduk di atas permadani di ujung ruangan. Pada saat ini, saat kematian akan menjemput, lebih baik memanfaatkan waktu untuk berkomunikasi dengan dewa. Aku akan menjalankan tapa.

Rakai Pikatan mendengar derap langkah kaki menaiki tangga menara. Ia memejamkan mata, memusatkan pikiran kepada sang Widdhi. Tiba -- tiba seseorang memegang lengannya, memaksanya untuk bangkit. Sang bupati, Pramawisastra.

"Bangkitlah, waktunya akan segera tiba."

Suara ini. Suara inilah yang menyapaku kemarin. Jadi engkau yang membuatku tertidur?

"Dengan segala hormat, tuan bupati, nyawa kita tinggal sebentar lagi. Aku ingin menyembah dewa Siwa sebelum meninggalkan raga yang fana ini, dan menuju kehidupan berikutnya. Jangan menghalangi aku. Pasukan Medang sudah dikalahkan."

Pramawisastra menggeleng. Pintu ruangan mulai digebrak dari luar.

"Lebih baik kita melangkah menuju teras selatan. Akan terjadi pemandangan yang sangat indah. Bawa kain di atas meja itu, kau perlu melindungi dirimu."

Orang ini gila. Tapanya membuatnya kehilangan akal pikiran. Apakah ia menjalankan tapa? Atau hanya menghibur diri? Di selatan hanya ada pemandangan penuh pembantaian.

"Kau sudah kehilangan akal pikiran, tuan Pramawisastra. Di selatan sana hanya ada pembantaian warga. Aku tidak tega melihatnya lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun