Langit Bengkayang sedang gelisah siang itu. Awan menggumpal seperti pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban. Alfan berdiri di ujung jembatan gantung, memandangi arus keruh sungai yang bergegas seperti masa mudanya yang ia rasa telah hanyut begitu saja.
Di tangannya hanya satu koper. Di dalamnya: dua kemeja luntur, satu celana kain, dan ijazah antropologi yang sejak dua tahun lalu tak kunjung membuka pintu mana pun. Ia menghela napas—panjang dan hambar. Udara kampung menyambutnya dengan sunyi yang tidak ia rindukan.
Rumah orang tuanya tak banyak berubah sejak terakhir ia pulang setahun lalu. Papan-papan dindingnya masih terkelupas seperti kulit luka lama, dan pintu depan masih berderit seperti menahan amarah yang enggan diucapkan.
Ibunya menatapnya seperti menatap anak yang pulang dari perang tanpa membawa kemenangan. Tidak marah, tidak juga bangga. Hanya diam, sambil membalik sayur di tungku.
"Sudah makan?" Pertanyaan itu akhirnya datang, lebih sebagai formalitas daripada perhatian.
"Belum."
"Nasi masih ada. Sayur singkong di dapur."
Ayahnya hanya mengangguk singkat dari teras, lalu kembali ke kebun kecilnya di belakang rumah. Percakapan di rumah ini sudah lama berkurang menjadi gumaman dan gerak tubuh. Mungkin karena tak ada lagi yang bisa dikatakan tanpa membuat luka tambah lebar.
Di kampung, semua orang tahu Alfan sarjana. Itu sempat menjadi kebanggaan besar ketika namanya disebut dalam toa masjid waktu wisuda. Tapi dua tahun tanpa pekerjaan, dan pulang diam-diam, membuat status "lulusan universitas" berubah menjadi "pengangguran bersertifikat".
"Di kota kerja apa?" tanya Pak Sali, tetangga.