Angin bertiup pelan, seakan menjawab.
Namun, harapan itu tidak bertahan lama.
Keesokan harinya, langit mendung menggantung rendah. Azis mengendarai motor bututnya ke kios pertanian lagi, bukan untuk membeli pupuk, tapi untuk mencari cara lain menyuburkan tanah. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang lebih murah atau setidaknya mendapatkan saran dari petani lain.
Ketika ia tiba, suasana di kios lebih ramai dari biasanya. Para petani berkumpul, berbicara dengan nada gusar.
"Ada apa?" tanya Azis, menghampiri seorang pria tua yang sedang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kabar buruk, Azis," jawab pria itu. "Hama PBK makin ganas. Panen kali ini bisa gagal total."
Jantung Azis mencelos. "Apa?"
Kacak, pemilik kios, menambahkan, "Ulat-ulat PBK itu sudah menyebar ke hampir semua kebun di nagari ini. Kalau tidak disemprot insektisida yang tepat, habislah buahnya."
Azis menelan ludah. Ia tahu kebunnya sudah mulai diserang PBK, tapi ia berharap masih ada waktu untuk menyelamatkannya.
Dengan gemetar, ia bertanya, "Berapa harga insektisidanya?"
Kacak menyebutkan angka. Azis hampir jatuh ke belakang.