Azis mendongak, menatap pohon kakao tertuanya. "BCL..." gumamnya.
"Kau janji memberiku makan yang cukup," lanjut suara itu, terdengar lebih tenang daripada sebelumnya. "Tapi ini? Dua karung untuk seluruh kebun? Kau bercanda?"
Azis menghela napas. "Itu yang bisa kubeli," katanya lirih. "Harga pupuk mahal, BCL. Aku bahkan tidak bisa berutang."
Pohon itu diam sejenak, seolah sedang mencerna kata-kata Azis. Angin sore membawa bau tanah kering dan dedaunan busuk.
"Dulu kau tak begini," kata BCL akhirnya. "Kau rajin merawatku. Menggemburkan tanah, menyiram saat kemarau panjang. Sekarang? Kau hanya datang saat butuh."
Azis menunduk. Ia tahu itu benar. Dulu, sebelum harga pupuk menggila dan hidupnya jadi lebih berat, ia selalu merawat kebunnya dengan telaten. Ia percaya bahwa semakin ia merawat, semakin banyak hasil yang ia dapat.
Sekarang? Ia lebih banyak mengeluh.
"Kau lupa caranya bertani, Azis?" Lanjut BCL. "Dulu kau tahu bahwa tanah harus sehat dulu sebelum aku bisa subur. Pupuk bukan satu-satunya jalan. Ada cara lain."
Azis mengernyit. "Cara lain?"
Angin bertiup lebih kencang, menggoyangkan dahan-dahan. Di kejauhan, suara burung-burung kecil yang pulang ke sarang terdengar samar.
"Dengar baik-baik," suara BCL lebih serius kali ini. "Mulailah dari tanah. Jangan hanya berharap pada pupuk pabrik. Gunakan apa yang ada di sekelilingmu. Daun-daun gugur, sisa ranting, kotoran hewan, semua itu bisa jadi makanan untukku. Buat tanah ini hidup kembali, dan aku akan membalasnya dengan buah yang lebih banyak."