Azis terdiam. Kompos. Itu yang BCL maksud. Dulu ia memang sering membuat kompos dari sisa-sisa organik di kebunnya. Tapi entah sejak kapan, ia mulai lupa.
Ia menatap tanah di sekelilingnya. Kering, keras, tandus. BCL benar.
"Aku mengerti," kata Azis akhirnya. "Aku akan mulai lagi dari tanah."
BCL tak menjawab, hanya ada suara angin yang semakin melemah.
Azis menatap kebunnya dengan cara yang berbeda kali ini. Ia tidak lagi melihat pohon-pohon yang kelelahan, tetapi lahan yang masih bisa diselamatkan.
Ia mengencangkan ikat kepalanya. Ia akan bekerja. Ia akan menyuburkan tanahnya kembali.
Dan kali ini, ia tidak akan mengandalkan pupuk pabrik semata.
Azis duduk di atas batang kayu lapuk di tepi kebunnya, menatap tanah yang mulai ia garap. Beberapa hari terakhir, ia mengumpulkan daun-daun kering, ranting bekas pangkasan, dan sisa kulit kakao untuk dijadikan kompos. Ia juga mulai mencari kotoran ternak dari peternakan tetangga.
Di dalam dadanya, harapan tumbuh kembali. Jika ia bisa memperbaiki tanahnya, mungkin BCL dan pohon-pohon lain akan kembali berbuah lebat.
Sore itu, ia mengayunkan cangkul dengan penuh semangat, menggemburkan tanah di sekitar akar pohon kakao. Tangan dan kakinya berlumur tanah, keringat membasahi punggungnya. Tapi, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, ia merasa seperti petani yang sesungguhnya.
Ketika ia selesai, ia bersandar di batang BCL, mengusap dahannya. "Aku sudah mulai, BCL. Aku janji akan lebih rajin lagi."