"Itu urusanmu, bukan urusanku," suara BCL terdengar ketus. "Aku hanya tahu satu hal: kalau kau ingin aku berbuah lebat, beri aku makan yang cukup. Tidak bisa tidak. Titik."
Angin bertiup lebih kencang. Azis merasa kepalanya penuh. Ia menutup matanya sejenak, lalu bangkit berdiri. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan cari pupuk."
Langkahnya mantap saat ia berjalan ke arah motor bututnya. Matahari semakin tinggi, membakar tanah yang kering dan retak. Di ujung nagari, kios pertanian milik Kacak berdiri kecil di ujung jalan berbatu.
Azis menghela napas, mempercepat langkahnya. Ia tak ingin berdebat lebih lama dengan BCL. Ia hanya ingin solusi.
Matahari sudah tergelincir ke barat ketika Azis kembali dari kios pertanian. Motor bututnya menderu pelan, bergetar seperti orang tua yang kelelahan. Di boncengan belakang, dua karung pupuk terikat erat, jauh lebih sedikit dari yang ia butuhkan.
Ia menggumam pelan. Harga pupuk non-subsidi benar-benar gila. Uang yang ia kumpulkan berbulan-bulan hanya cukup untuk membeli dua karung. Kacak, si pemilik kios, bahkan tak mau memberi utang.
"Jangankan buat kau, aku sendiri pun susah, Azis," kata Kacak tadi, menggelengkan kepala. "Dulu pupuk subsidi ada, tapi sekarang? Hanya petani sawah yang dapat jatah. Petani kakao macam kita? Ditinggal. Seperti anjing yang tak diberi tulang."
Azis menelan keluh kesahnya. Tak ada gunanya mengomel. Ia hanya perlu fokus ke kebunnya, ke BCL.
Begitu sampai, ia memarkir motor di tepi kebun dan langsung mengangkat karung pupuk. Badannya sudah lelah, tapi ia tahu, semakin cepat pupuk diberikan, semakin baik.
Saat ia menaburkan butiran putih kecokelatan ke pangkal pohon kakao, angin sore bertiup pelan. Daun-daun bergesekan, menciptakan suara gemerisik yang terdengar hampir seperti bisikan.
"Cuma segini?" suara itu datang lagi.