Untuk Skuad Garuda yang berlari tanpa henti, meski mimpi kali ini harus tertunda.
Kadang, berpikir positif pun bisa menyakitkan. Namun, jangan kapok, karena di sanalah kita belajar tentang harapan.
Dunia punya cara unik untuk mengajari kita—hanya yang bersahaja mampu bertahan dalam derasnya badai.
Saat gerhana menelan bulan, ia mengajari kita, bahwa gelap bukan akhir. Sinar tak pernah benar-benar sirna, hanya menunggu saatnya.
Senandung kebersamaan yang tetap hidup, meski kita berada di kota, pulau, bahkan negara berbeda. Ini tentang menemukan sukacita tanpa batas ruang.
Kadang, diri yang hilang tak benar-benar pergi. Ia hanya menunggu satu momen untuk kembali dan mengetuk pintu hati kita.
Ketika kita berhenti membuktikan diri, kita menemukan kekuatan yang tak butuh pembenaran. Kapan terakhir kali kamu merasa lebih dari cukup?
Sudahkah kita benar-benar melihat anak sebagai pribadi merdeka atau masih menjadikan mereka tempat menitipkan harapan yang belum sempat kita wujudkan?
Saat dunia tertawa, mengapa hatiku tak tenang? Ah, mungkin karena tak semua yang pergi benar-benar ingin pulang.
Rindu tak selalu lantang. Terkadang, ia hanya ingin menjadi uap yang pelan-pelan menguar dari kelindan antara tanah dan rinai.
Ada langkah yang mengendap di senja, bukan untuk kembali … tetapi untuk berpamitan—selamat tinggal, Adi.
Mendung ini membawa namamu. Sejenak, senyum dan tatapan matamu kembali mengetuk hati. Tak lama … tetapi cukup untuk membasahi rindu.
Aku mencintaimu, dengan cara yang kini tak dekat. Bukan karena cinta memudar, tetapi agar kau tak terus menyakiti kita.
Puisi ini kutulis untuk Raka. Entah siapa dia sekarang—mungkin hanya tokoh lama yang enggan pulang dari semesta imajinasi.
Kamu tak harus duduk lebih lama bersama luka. Saatnya pulang ke ruang yang lapang—meski tak semua luka minta maaf.