Jelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, arah politik dan ekonomi Indonesia tampak semakin ditentukan bukan oleh pasangan formal yang tertera dalam surat keputusan KPU, melainkan oleh pasangan fungsional yang benar-benar bekerja: tandem Prabowo-Purbaya.
Ketika Kekuasaan Menemukan Penafsirnya
Pasca demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Jakarta dan sejumlah kota besar antara akhir Agustus hingga awal September 2025, konfigurasi kekuasaan itu menjadi semakin jelas.Â
Sementara Gibran sibuk menghadapi dampak politik dinasti yang semakin membebani kredibilitasnya, panggung pemerintahan secara de facto dikuasai oleh dua figur yang saling melengkapi: Prabowo sebagai pemilik energi politik, dan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai otak konseptual serta penerjemah moral dari arah ekonomi baru yang hendak ditempuh.
Fenomena ini menarik bukan hanya karena menunjukkan bagaimana kekuasaan sering kali tidak mengikuti garis formal konstitusi, melainkan karena menandai lahirnya konfigurasi baru antara kekuasaan dan pengetahuan di Indonesia.Â
Selama dua dekade terakhir, relasi itu lebih sering rapuh: para pemimpin kehilangan penerjemah intelektualnya, sementara para intelektual kehilangan medium politik untuk mewujudkan gagasannya.Â
Tapi, kini dalam relasi Prabowo-Purbaya, tampak ada pertemuan langka di mana visi politik dan refleksi moral tentang ekonomi kembali menemukan bentuk saling pengertian.
Jika pada masa Orde Baru kita mengenal relasi serupa antara Soeharto dan Widjojo Nitisastro, maka sekarang sejarah seolah berulang, namun dengan arah yang berbalik.Â
Bila Soeharto-Widjojo berlabuh pada developmentalisme teknokratik yang rasional dan dingin, Prabowo-Purbaya tampak berusaha menghidupkan paradigma yang lebih berjiwa: Soemitronomics, warisan pemikiran Soemitro Djojohadikusumo yang lama terpinggirkan oleh hegemoni ekonomi Barat dan ideologi pertumbuhan tanpa rasa.Â
Inilah perbedaan mendasarnya: yang satu meletakkan ekonomi di bawah logika modal global, yang lain mencoba mengembalikannya ke dalam logika moral bangsa.
Maka, membicarakan Prabowo-Purbaya hari ini jauh lebih penting daripada terus memperbincangkan Prabowo-Gibran. Sebab, yang pertama adalah tandem substantif, sementara yang kedua tinggal menjadi pasangan simbolik.Â