Ketika negara menyiapkan lembaga untuk mengelola kekayaan segelintir keluarga superkaya, demokrasi kehilangan makna ekonominya.Â
Gagasan family office adalah cermin paling kentara dari wajah kapitalisme Indonesia hari ini: modern di permukaan, feodal di dalam.
Warisan yang Disulap Menjadi Institusi
Kekuasaan memiliki naluri abadi untuk bertahan. Ia bisa berubah bentuk, berganti bahasa, berganti sistem, tapi esensinya selalu sama: menjaga agar tak kehilangan pengaruh.Â
Dalam konteks modern, naluri itu menemukan wujudnya dalam lembaga bernama family office: institusi yang mengatur agar uang, aset, dan kuasa keluarga superkaya dapat hidup lebih lama daripada manusianya sendiri.
Model ini lahir dari keluarga Rockefeller di awal abad ke-20, ketika kapitalisme Amerika sedang belajar menata ulang moralnya setelah era industrialisasi brutal.Â
Rockefeller membangun struktur hukum yang memungkinkan kekayaan pribadi dikelola seperti negara kecil: punya penasihat hukum, tim investasi, strategi filantropi, bahkan sistem pewarisan yang tahan generasi.Â
Di situlah mula-mula kekayaan berhenti menjadi milik individu, dan menjelma menjadi organisme yang mandiri secara hukum dan politik.
Setelah Rockefeller, keluarga besar lain meniru: Rothschild, Walton, hingga Bezos dan Musk. Mereka membangun family office, bukan hanya untuk mengelola kekayaan, tapi untuk mengontrol bagaimana uang mereka berinteraksi dengan dunia, entah melalui politik, riset, amal, atau media.Â
Dalam ekosistem kapitalisme global, family office adalah bentuk paling canggih dari akumulasi yang diinstitusionalisasi. Ia bukan lagi soal uang, tapi tentang bagaimana uang itu bisa mengatur kehidupan.