Zaki menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Aku dipenjara, Mau. Tiga tahun. Karena terlibat pencurian. Aku salah bergaul dan terjerumus. Sangat bodoh dan durhaka. Tapi Allah masih menyayangiku. Di penjara itulah aku benar-benar menemukan hidayah."
Maulana terdiam, tidak menyangka Zaki akan mengakuinya dengan begitu terbuka.
"Di sana ada seorang ustaz, bekas narapidana juga, yang mengajarkan agama. Ia selalu berkata, 'Allah Maha Pengampun, asalkan kita mau bertaubat dengan sungguh-sungguh.' Setelah bebas, aku bekerja serabutan, lalu membuka usaha kecil-kecilan hingga bisa membiayai kuliah. Alhamdulillah, sekarang aku punya toko bahan bangunan sendiri."
"Subhanallah," ucap Maulana takjub. "Hidayah Allah memang bisa datang dengan berbagai cara."
Zaki tersenyum. "Dan proyek amal ini adalah bentuk syukurku. Rasulullah bersabda, 'Bersegeralah dalam beramal sebelum datang tujuh perkara,' dan salah satunya adalah kematian yang tiba-tiba. Aku ingin menebus waktu yang terbuang dengan amal sebanyak mungkin."
---
Setelah Ashar, Maulana bergabung dengan Zaki dan relawan lainnya di sebuah dapur umum di belakang masjid. Mereka menyiapkan ratusan paket makanan.
"Kita akan membagi menjadi tiga tim," jelas Zaki. "Tim pertama ke pasar, tim kedua ke pemukiman padat, dan tim ketiga ke panti asuhan serta panti jompo."
Maulana ditempatkan di tim ketiga. Saat mereka hendak berangkat, Zaki memberikan masker dan topi.
"Ini bukan untuk Covid," katanya sambil tersenyum. "Tapi untuk mengingatkan kita agar tidak riya dan sum'ah. Kalau bisa, jangan posting di medsos. Biarlah ini jadi rahasia antara kita dan Allah."
Maulana tertegun. Ia terbiasa melihat kegiatan amal yang dipublikasikan untuk 'inspirasi', tetapi pendekatan Zaki berbeda.