Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Episode 17 : 30 Hari Ramadhan - Perjalanan Menemukan Diri

17 Maret 2025   12:32 Diperbarui: 17 Maret 2025   12:32 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi.  Sumber foto: Canva 

Hari #17: Amal yang Tersembunyi

Subuh datang dengan dentingan alarm di ponsel Maulana. Ia mengucek matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu bangkit untuk berwudhu. Setelah menutup hari ke-16 Ramadan dengan inspirasi dari pertemuannya dengan Pak Salim, semangatnya untuk menjalani hari ini terasa lebih membara.

Usai shalat Subuh dan membaca beberapa halaman Al-Qur'an, ia memeriksa ponselnya. Ada pesan masuk semalam saat ia sudah terlelap.

"Assalamu'alaikum, Mau. Ini Zaki. Masih ingat aku? Kita dulu satu pesantren. Aku dapat nomormu dari Ridwan. Ada yang ingin kubicarakan. Bisa kita bertemu setelah Ashar di masjid Al-Ikhlas? Mohon balasannya. Jazakallahu khairan."

Maulana mengernyit. Zaki? Tentu ia ingat. Mereka dulu satu pesantren, tetapi Zaki menghilang di tahun kedua. Banyak rumor beredar: ada yang bilang ia dikeluarkan karena melanggar aturan, ada pula yang menyebut ia ditangkap polisi. Maulana tidak pernah tahu kebenarannya.

"Wa'alaikumussalam, Zaki. Iya, aku ingat. Insya Allah bisa bertemu setelah Ashar nanti. Sampai jumpa di sana."

Setelah membalas pesan itu, Maulana bersiap berangkat kerja, meski pikirannya terus bertanya-tanya tentang apa yang ingin dibicarakan Zaki.

---

Ashar telah berlalu saat Maulana melangkah ke masjid Al-Ikhlas. Di beranda masjid, seorang pria berjenggot tipis dengan peci putih tersenyum menyambutnya.

"Assalamu'alaikum, Mau."

"Wa'alaikumussalam," jawab Maulana, menatap pria itu lebih saksama. Wajahnya tampak lebih dewasa, ada bekas luka halus di sisi kanan wajahnya, tetapi senyumnya masih sama.

"Zaki? Masya Allah, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah, baik. Allah masih memberi banyak nikmat meski aku sering lalai bersyukur," jawab Zaki dengan rendah hati.

Mereka berbincang sejenak, mengenang masa di pesantren dan berbagi kabar tentang teman lama. Maulana merasakan perubahan besar dalam diri Zaki. Dahulu, ia dikenal cerdas tetapi pemberontak. Kini, ada ketenangan dalam dirinya.

"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?" tanya Maulana.

Zaki menarik napas dalam. "Aku ingin mengajakmu bergabung dalam proyek amal yang sedang kujalankan. Kami membagikan makanan berbuka kepada tunawisma dan keluarga kurang mampu di beberapa titik kota. Ini tahun ketiga kami melakukannya, dan alhamdulillah semakin banyak yang terbantu."

"Masya Allah, proyek yang luar biasa. Bagaimana aku bisa membantu?"

"Kami butuh lebih banyak relawan. Ridwan bilang kau orang yang tepat."

Maulana mengangguk. "Insya Allah, aku bisa membantu. Apa jadwalnya?"

"Setelah Ashar hingga menjelang Maghrib. Hanya beberapa jam, tetapi bisa memberi dampak besar bagi mereka yang membutuhkan."

Maulana tersenyum, tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. "Zaki, maaf kalau ini lancang. Tapi... apa yang sebenarnya terjadi padamu dulu? Kenapa kau tiba-tiba menghilang dari pesantren?"

Zaki menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Aku dipenjara, Mau. Tiga tahun. Karena terlibat pencurian. Aku salah bergaul dan terjerumus. Sangat bodoh dan durhaka. Tapi Allah masih menyayangiku. Di penjara itulah aku benar-benar menemukan hidayah."

Maulana terdiam, tidak menyangka Zaki akan mengakuinya dengan begitu terbuka.

"Di sana ada seorang ustaz, bekas narapidana juga, yang mengajarkan agama. Ia selalu berkata, 'Allah Maha Pengampun, asalkan kita mau bertaubat dengan sungguh-sungguh.' Setelah bebas, aku bekerja serabutan, lalu membuka usaha kecil-kecilan hingga bisa membiayai kuliah. Alhamdulillah, sekarang aku punya toko bahan bangunan sendiri."

"Subhanallah," ucap Maulana takjub. "Hidayah Allah memang bisa datang dengan berbagai cara."

Zaki tersenyum. "Dan proyek amal ini adalah bentuk syukurku. Rasulullah bersabda, 'Bersegeralah dalam beramal sebelum datang tujuh perkara,' dan salah satunya adalah kematian yang tiba-tiba. Aku ingin menebus waktu yang terbuang dengan amal sebanyak mungkin."

---

Setelah Ashar, Maulana bergabung dengan Zaki dan relawan lainnya di sebuah dapur umum di belakang masjid. Mereka menyiapkan ratusan paket makanan.

"Kita akan membagi menjadi tiga tim," jelas Zaki. "Tim pertama ke pasar, tim kedua ke pemukiman padat, dan tim ketiga ke panti asuhan serta panti jompo."

Maulana ditempatkan di tim ketiga. Saat mereka hendak berangkat, Zaki memberikan masker dan topi.

"Ini bukan untuk Covid," katanya sambil tersenyum. "Tapi untuk mengingatkan kita agar tidak riya dan sum'ah. Kalau bisa, jangan posting di medsos. Biarlah ini jadi rahasia antara kita dan Allah."

Maulana tertegun. Ia terbiasa melihat kegiatan amal yang dipublikasikan untuk 'inspirasi', tetapi pendekatan Zaki berbeda.

---

Di panti asuhan, Maulana melihat anak-anak yatim menyambut dengan sukacita. Seorang anak laki-laki menarik ujung bajunya.

"Kak, besok datang lagi?" tanyanya polos.

"Insya Allah, adik," jawab Maulana sambil mengusap kepalanya.

"Alhamdulillah. Biasanya kita cuma makan tempe dan tahu."

Jawaban itu menusuk hati Maulana. Ia teringat betapa sering ia mengeluh tentang menu berbuka, sementara anak-anak ini bersyukur mendapat sedikit makanan berbeda.

Di panti jompo, seorang nenek menggenggam tangannya erat.

"Terima kasih, nak. Bukan karena makanannya, tapi karena mau mendengarkan cerita orang tua seperti kami," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dalam perjalanan pulang, hati Maulana terasa penuh. Ia sadar, banyak orang di luar sana yang kehidupannya jauh lebih sulit, tetapi tetap bersyukur.

---

Setelah berbuka di masjid dan Tarawih, Zaki mengajak Maulana berjalan sebentar.

"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya.

"Jujur, aku merasa sangat kecil, Zaki. Orang sepertimu yang dulu kupikir tersesat justru lebih banyak berbuat kebaikan."

Zaki tersenyum. "Jangan bandingkan amalmu dengan orang lain. Bandingkanlah dengan dirimu kemarin. Apakah hari ini kau lebih baik dari kemarin?"

"Aku kagum dengan proyekmu ini," kata Maulana. "Padahal dengan masa lalumu, kau bisa saja memilih cara 'menebusnya' yang lebih... terlihat."

Zaki mengangguk. "Aku takut riya, Mau. Rasulullah bersabda, 'Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat.' Salah satunya adalah orang yang bersedekah dengan tangan kanannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya."

Suara azan Isya berkumandang. Mereka bergegas ke masjid. Dalam shalatnya, Maulana berdoa, "Ya Allah, jadikan setiap amalku ikhlas hanya untuk-Mu. Jauhkan aku dari riya dan ujub. Aamiin."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun