"Wa'alaikumussalam," jawab Maulana, menatap pria itu lebih saksama. Wajahnya tampak lebih dewasa, ada bekas luka halus di sisi kanan wajahnya, tetapi senyumnya masih sama.
"Zaki? Masya Allah, sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, baik. Allah masih memberi banyak nikmat meski aku sering lalai bersyukur," jawab Zaki dengan rendah hati.
Mereka berbincang sejenak, mengenang masa di pesantren dan berbagi kabar tentang teman lama. Maulana merasakan perubahan besar dalam diri Zaki. Dahulu, ia dikenal cerdas tetapi pemberontak. Kini, ada ketenangan dalam dirinya.
"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?" tanya Maulana.
Zaki menarik napas dalam. "Aku ingin mengajakmu bergabung dalam proyek amal yang sedang kujalankan. Kami membagikan makanan berbuka kepada tunawisma dan keluarga kurang mampu di beberapa titik kota. Ini tahun ketiga kami melakukannya, dan alhamdulillah semakin banyak yang terbantu."
"Masya Allah, proyek yang luar biasa. Bagaimana aku bisa membantu?"
"Kami butuh lebih banyak relawan. Ridwan bilang kau orang yang tepat."
Maulana mengangguk. "Insya Allah, aku bisa membantu. Apa jadwalnya?"
"Setelah Ashar hingga menjelang Maghrib. Hanya beberapa jam, tetapi bisa memberi dampak besar bagi mereka yang membutuhkan."
Maulana tersenyum, tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. "Zaki, maaf kalau ini lancang. Tapi... apa yang sebenarnya terjadi padamu dulu? Kenapa kau tiba-tiba menghilang dari pesantren?"