Ironinya, banyak demonstrasi berakhir bukan pada perbaikan kebijakan, melainkan pada akomodasi elite. Rakyat pulang dengan rasa lega sesaat, tetapi masalah struktural tetap tak berubah. Sebaliknya, elite berhasil memperkuat posisinya melalui transaksi yang terjadi di belakang layar.
Dengan demikian, demo seringkali bukan ujung perjuangan, melainkan awal dari pasar politik yang lebih besar. Bursa politik inilah yang menjadi panggung utama sesungguhnya, sehingga publik jarang diberi tiket untuk menontonnya.
Epilog: Demokrasi dalam Panggung Teater Besar
Demokrasi Indonesia, jika dilihat dengan metafora dramaturgi, tampak seperti sebuah teater besar. Ada panggung depan yang penuh drama, simbol, dan improvisasi. Ada panggung belakang yang penuh intrik, negosiasi, dan transaksi. Demonstrasi hanyalah salah satu adegan dari teater ini, namun sering kali justru menjadi yang paling dramatis dan paling menguras energi penonton.
Antropologi politik mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal institusi formal, tetapi juga soal ritual, simbol, dan pertunjukan. Demo adalah ritus kontestasi kekuasaan, tempat rakyat, elite, media, dan algoritma digital berinteraksi dalam sebuah lakon yang terus berubah. Namun, lakon ini terlalu sering menjadikan rakyat hanya sebagai figuran.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengembalikan rakyat sebagai aktor utama, bukan sekadar penonton atau pion. Demokrasi hanya bisa sehat jika panggung politik tidak sekadar bursa, melainkan ruang dialog yang jujur antara penguasa dengan rakyatnya. Hanya dengan begitu, panggung besar bernama Indonesia bisa menampilkan lakon yang benar-benar mencerminkan aspirasi kolektif bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI