Konsekuensi dari keberadaan panggung ganda ini adalah fragmentasi makna. Sebagian rakyat lebih percaya pada simbol persatuan di istana, sementara sebagian lain lebih tergerak oleh simbol perlawanan di jalanan. Dua lakon ini tidak bisa direkonsiliasi begitu saja, karena masing-masing mengandung dramaturgi dan bahasa simboliknya sendiri.
Pertanyaan yang muncul adalah: siapa sebenarnya yang lebih menguasai panggung dalam benak publik? Apakah negara dengan megahnya ritual resmi, ataukah massa dengan emosionalitas teatrikalnya? Jawaban dari pertanyaan ini akan sangat menentukan bagaimana legitimasi kekuasaan dipersepsi setelah euforia ulang tahun kemerdekaan mereda.
Aktor dan Peran: Antara Spontanitas Warga dan Elite yang Menyusup
Dalam teater, aktor punya peran yang jelas, tetapi dalam demonstrasi, peran itu sering tumpang tindih. Warga biasa hadir sebagai aktor spontan: mereka datang dengan amarah yang nyata, dengan naskah yang ditulis oleh pengalaman sehari-hari. Mereka bukan pemain profesional, melainkan improvisator yang suaranya lahir dari keresahan. Namun, di saat bersamaan, elit politik masuk sebagai aktor bayangan. Mereka mungkin tak tampak di panggung depan, tetapi mereka menulis naskah, memberi arahan, bahkan mendanai produksi.
Spontanitas warga adalah energi yang tak bisa diprediksi. Orasi bisa muncul tanpa skrip, poster ditulis dengan spidol seadanya, dan koreografi massa tercipta dari emosi yang meledak. Inilah improvisasi murni yang dalam dramaturgi disebut sebagai permainan tanpa sutradara. Namun, justru ketulusan inilah yang membuat mereka rentan: improvisasi bisa dengan mudah diarahkan, bahkan dimanfaatkan oleh mereka yang punya agenda.
Elit politik, sebaliknya, lebih mirip sutradara sekaligus produser. Mereka jarang tampil di depan massa, tetapi mereka menyiapkan panggung belakang: logistik, pesan, dan narasi besar yang harus diulang. Jalinan peran ini menunjukkan relasi patron-klien yang klasik—massa dipinjam suaranya, sementara keuntungan politik dipanen oleh patron yang berada di balik layar.
Konflik muncul ketika improvisasi rakyat bertabrakan dengan skrip elite. Kadang tuntutan yang asli dari warga kecil terseret dalam skenario besar yang justru menjauh dari kepentingan mereka. Warga yang marah soal ketimpangan sosial bisa tiba-tiba dipaksa menjadi simbol oposisi terhadap rezim secara keseluruhan. Suara murni akhirnya bercampur dengan agenda strategis yang tidak selalu mereka pahami.
Inilah dilema utama dalam dramaturgi politik: siapa sebenarnya aktor utama, dan siapa sekadar figuran? Jawabannya tidak selalu jelas. Bahkan bisa jadi, aktor yang tampak paling vokal hanyalah peran kecil dalam naskah besar yang ditulis jauh sebelum pertunjukan dimulai.
Naskah Provokasi: Dari Selebaran ke Algoritma Digital
Setiap pertunjukan butuh naskah. Dalam demonstrasi, naskah itu berupa seruan, slogan, dan provokasi. Jika dulu naskah ini ditulis dalam bentuk pamflet, selebaran, atau orasi dengan pengeras suara, kini ia hadir dalam bentuk yang jauh lebih canggih: algoritma media sosial. Potongan video, meme, dan tagar menjadi teks utama yang membentuk arah emosi massa.