Penonton: Rakyat Sebagai Khalayak, Media Sebagai Juru Kamera
Dalam dramaturgi, pertunjukan tidak ada artinya jika tanpa penonton. Dalam demo, penonton adalah rakyat luas, media, dan tentu saja netizen. Mereka mungkin tidak hadir di jalanan, tetapi mereka ikut menyaksikan, menafsirkan, dan menyebarkan. Penontonlah yang menentukan apakah pertunjukan dianggap sukses atau gagal.
Media arus utama sering berperan sebagai juru kamera. Mereka memilih angle tertentu, menyorot bagian yang dramatis, dan memotong bagian lain. Apa yang terlihat di televisi sering kali berbeda dengan fakta yang sebenarnya di lapangan. Narasi media bisa memperbesar atau mengecilkan makna demonstrasi sesuai kepentingan editorial atau tekanan politik.
Penonton tidak pernah pasif, tetapi ikut menafsirkan pertunjukan sesuai pengalaman, identitas, dan afiliasi mereka. Bagi sebagian orang, demo diinterpretasi sebagai wadah aspirasi murni rakyat; bagi yang lain, demo hanyalah gimik politik. Dengan demikian, makna demonstrasi dibentuk bersama oleh aktor dan penonton.
Netizen menambah lapisan baru dalam dramaturgi ini. Mereka bukan hanya penonton, melainkan juga produser konten. Video pendek, komentar sarkastik, atau meme bisa menjadi spin-off dari pertunjukan utama. Dalam ruang digital, pertunjukan bisa hidup lebih lama daripada demo itu sendiri. Bahkan, kadang narasi digital lebih menentukan daripada peristiwa nyata.
Pertanyaan yang muncul adalah: apakah rakyat lebih banyak menjadi penonton atau sebenarnya juga ikut menjadi pemain? Dalam era digital, batas keduanya makin kabur. Menonton, membagikan, dan mengomentari adalah bentuk partisipasi yang juga membentuk panggung.
Bursa Politik: Dari Jalan Raya ke Ruang Negosiasi Kekuasaan
Setiap pertunjukan biasanya diakhiri dengan penutupan panggung. Namun, dalam demo, akhir pertunjukan justru membuka babak baru: bursa politik. Setelah teriakan di jalan reda, elite politik masuk ke ruang-ruang tertutup untuk bernegosiasi. Inilah “backstage” atau panggung belakang dalam dramaturgi demonstrasi.
Di panggung depan, rakyat berteriak menuntut perubahan. Tapi di panggung belakang, aktor-aktor elite melakukan barter kekuasaan: siapa dapat kursi, siapa dapat konsesi, siapa yang harus mundur. Dramaturgi Goffman mengajarkan bahwa ada perbedaan tajam antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam politik, panggung belakang menjadi ruang strategis untuk meraup keuntungan dari drama di panggung depan.
Inilah yang disebut sebagai ritual distribusi patronase. Demo bukan sekadar protes moral, melainkan sarana untuk memperkuat posisi tawar dalam bursa kekuasaan. Elite memanfaatkan energi massa untuk menegosiasikan keuntungan politik. Rakyat, sayangnya, sering hanya menjadi “figuran tak dibayar” dalam proses ini.