Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Arogansi yang Memicu Api Pemakzulan: Kronik Kejatuhan Bupati Pati

14 Agustus 2025   15:06 Diperbarui: 18 Agustus 2025   07:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puncak Aksi: Lautan Manusia di Alun-Alun

Ilustrasi lautan warga Pati menuntut Bupati Sudewo agar lengser dari jabatannya (Sumber: CNNIndonesia.com)
Ilustrasi lautan warga Pati menuntut Bupati Sudewo agar lengser dari jabatannya (Sumber: CNNIndonesia.com)

Pagi 13 Agustus, jalan-jalan menuju Alun-Alun Pati dipenuhi arus manusia. Dari utara, barisan petani dengan caping lebar. Dari selatan, pedagang pasar dengan gerobak kosong. Dari barat, mahasiswa dengan jaket almamater. Suara genderang, tiupan peluit, dan orasi bersahut-sahutan membentuk simfoni kemarahan. Dalam hitungan jam, massa membengkak hingga puluhan ribu—beberapa pengamat memperkirakan mencapai seratus ribu orang.

Di panggung orasi, Husen membuka aksi dengan seruan lantang. “Kami datang bukan untuk meminta-minta! Kami datang untuk menagih janji dan mengembalikan martabat kami!” Teriakan itu disambut sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan. Spanduk bertuliskan “Turunkan Bupati Arogan” dan “Pati Milik Rakyat” berkibar di atas kepala massa.

Situasi memanas saat sebagian peserta aksi mencoba mendekat ke gerbang Pendopo. Aparat berbaris rapat, membentuk tameng manusia. Lemparan botol dan batu mulai terjadi. Gas air mata dilepaskan, memaksa sebagian massa mundur, tapi justru memperkuat kemarahan. Dalam kericuhan itu, orator tetap berusaha menenangkan massa dan menjaga fokus tuntutan: pencabutan kebijakan dan pengunduran diri bupati.

Di tengah aksi, perwakilan DPRD muncul di panggung, mengumumkan pembentukan hak angket untuk menyelidiki kebijakan dan sikap bupati. Keputusan ini disambut teriakan “Setuju!” dari ribuan suara. Bagi banyak warga, ini adalah sinyal bahwa aksi mereka mulai membuahkan hasil.

Menjelang sore, massa perlahan membubarkan diri, meninggalkan jejak spanduk sobek, botol kosong, dan udara yang masih menyengat oleh sisa gas air mata. Namun, yang paling penting—mereka meninggalkan pesan jelas: Pati sedang mengadili pemimpinnya di panggung terbuka.

Reaksi Politik: Dari Hak Angket ke Pansus Pemakzulan

Ilustrasi Bupati Pati, Sudewo ketika berorasi di hadapan aksi massa warganya sendiri (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi Bupati Pati, Sudewo ketika berorasi di hadapan aksi massa warganya sendiri (Sumber: Kompas.com)

Pasca aksi, ruang politik Pati berdenyut kencang. Hak angket yang sebelumnya hanya wacana kini resmi bergulir. Fraksi-fraksi DPRD yang semula enggan bersuara mulai ikut menandatangani dukungan, khawatir kehilangan simpati publik jika tetap diam. Media nasional mulai meliput, menjadikan krisis Pati sorotan publik se-Indonesia.

Bupati Sudewo, dalam konferensi pers, meminta maaf dan mengumumkan pembatalan kenaikan PBB-P2. Namun, ia menolak mundur. “Saya tetap akan memimpin sampai akhir masa jabatan,” ujarnya dengan nada tegas. Pernyataan itu memicu gelombang kritik baru. Bagi warga, permintaan maaf tanpa mundur hanyalah taktik mempertahankan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun