Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) lahir sebagai wadah koordinasi. Kelompok ini menghimpun tokoh lintas profesi: aktivis, petani, pedagang, pengusaha kecil, bahkan pensiunan birokrat yang kecewa. Struktur organisasinya cair tapi solid—dengan koordinator lapangan di tiap kecamatan dan jaringan logistik yang mulai mengumpulkan dana serta perlengkapan aksi. Di trotoar dekat Pendopo, tumpukan dus air mineral menjadi pemandangan rutin. Itu bukan barang dagangan, tapi stok logistik untuk demonstrasi yang sudah direncanakan.
Resistensi terhadap ajakan damai dari pihak pemerintah semakin keras. Bagi warga, pertemuan-pertemuan yang diadakan bupati hanyalah sandiwara politik untuk meredam kemarahan. “Kita tidak mau lagi dibohongi janji manis,” kata Husen, salah satu orator aksi, dalam sebuah rapat konsolidasi. Nada suara para penggerak menunjukkan bahwa ini bukan sekadar reaksi spontan—ini adalah gerakan yang disiapkan dengan penuh kesadaran politik.
Media sosial menjadi medan utama konsolidasi. Grup-grup WhatsApp desa dibanjiri poster digital ajakan aksi, video testimoni warga yang kesulitan membayar pajak, hingga rekaman pernyataan bupati yang menantang jumlah massa. Di Facebook dan TikTok, para aktivis menayangkan siaran langsung diskusi publik, mengupas kebijakan PBB-P2 dan dampaknya. Informasi mengalir begitu deras sehingga sulit bagi narasi resmi pemerintah untuk menyainginya.
Saat kalender bergeser ke awal Agustus, semua tanda mengarah pada satu titik: mobilisasi besar-besaran. AMPB dan jaringan relawannya memperkirakan massa bisa mencapai puluhan ribu. Di setiap pertemuan, seruan yang sama menggema—13 Agustus akan menjadi hari penentuan.
Jelang Demo: Kota yang Menahan Napas
Hari-hari menjelang 13 Agustus, Pati berubah menjadi kota yang hidup dalam ketegangan. Di pusat kota, spanduk-spanduk seruan aksi terbentang di depan toko, kantor, dan pos ronda. Poster dengan wajah bupati dicoret merah terpampang di tembok-tembok kosong. Di desa-desa, pengeras suara masjid yang biasanya memanggil warga untuk gotong royong kini juga menyelipkan pengumuman ajakan ikut aksi.
Pihak kepolisian meningkatkan patroli. Pos-pos pengamanan sementara didirikan di titik strategis. Ribuan personel, termasuk bantuan dari polres tetangga, dikerahkan. Aparat mengaku hanya bertujuan menjaga ketertiban, tapi warga menganggap kehadiran masif ini sebagai bentuk intimidasi. Pemerintah daerah berupaya menenangkan situasi melalui konferensi pers, menjanjikan revisi kebijakan PBB-P2, namun tetap menghindari isu pengunduran diri.
Sementara itu, ruang rapat DPRD menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Fraksi-fraksi politik terbelah antara yang ingin menjaga jarak aman dari bupati dan yang masih setia pada pemerintahannya. Hak angket mulai dibicarakan, meskipun secara resmi belum diputuskan. Bagi sebagian anggota dewan, momentum ini bisa menjadi tiket menuju panggung politik yang lebih besar.
Di lini media sosial, perang narasi memanas. Akun-akun pro-pemerintah menuduh aksi ini ditunggangi kepentingan politik, sementara akun pro-rakyat membalas dengan bukti video dan data yang menunjukkan penderitaan warga. Setiap unggahan dibanjiri komentar marah, seolah seluruh kota menjadi forum debat publik raksasa.
Di malam terakhir sebelum aksi, para relawan berkumpul di titik-titik logistik. Tumpukan megafon, spanduk, dan bendera sudah siap. Di wajah mereka, ada campuran semangat dan kecemasan. Semua menyadari bahwa besok bukan hanya soal pajak—ini soal harga diri dan masa depan kepemimpinan Pati.