Puncak Aksi: Lautan Manusia di Alun-Alun
Pagi 13 Agustus, jalan-jalan menuju Alun-Alun Pati dipenuhi arus manusia. Dari utara, barisan petani dengan caping lebar. Dari selatan, pedagang pasar dengan gerobak kosong. Dari barat, mahasiswa dengan jaket almamater. Suara genderang, tiupan peluit, dan orasi bersahut-sahutan membentuk simfoni kemarahan. Dalam hitungan jam, massa membengkak hingga puluhan ribu—beberapa pengamat memperkirakan mencapai seratus ribu orang.
Di panggung orasi, Husen membuka aksi dengan seruan lantang. “Kami datang bukan untuk meminta-minta! Kami datang untuk menagih janji dan mengembalikan martabat kami!” Teriakan itu disambut sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan. Spanduk bertuliskan “Turunkan Bupati Arogan” dan “Pati Milik Rakyat” berkibar di atas kepala massa.
Situasi memanas saat sebagian peserta aksi mencoba mendekat ke gerbang Pendopo. Aparat berbaris rapat, membentuk tameng manusia. Lemparan botol dan batu mulai terjadi. Gas air mata dilepaskan, memaksa sebagian massa mundur, tapi justru memperkuat kemarahan. Dalam kericuhan itu, orator tetap berusaha menenangkan massa dan menjaga fokus tuntutan: pencabutan kebijakan dan pengunduran diri bupati.
Di tengah aksi, perwakilan DPRD muncul di panggung, mengumumkan pembentukan hak angket untuk menyelidiki kebijakan dan sikap bupati. Keputusan ini disambut teriakan “Setuju!” dari ribuan suara. Bagi banyak warga, ini adalah sinyal bahwa aksi mereka mulai membuahkan hasil.
Menjelang sore, massa perlahan membubarkan diri, meninggalkan jejak spanduk sobek, botol kosong, dan udara yang masih menyengat oleh sisa gas air mata. Namun, yang paling penting—mereka meninggalkan pesan jelas: Pati sedang mengadili pemimpinnya di panggung terbuka.
Reaksi Politik: Dari Hak Angket ke Pansus Pemakzulan
Pasca aksi, ruang politik Pati berdenyut kencang. Hak angket yang sebelumnya hanya wacana kini resmi bergulir. Fraksi-fraksi DPRD yang semula enggan bersuara mulai ikut menandatangani dukungan, khawatir kehilangan simpati publik jika tetap diam. Media nasional mulai meliput, menjadikan krisis Pati sorotan publik se-Indonesia.
Bupati Sudewo, dalam konferensi pers, meminta maaf dan mengumumkan pembatalan kenaikan PBB-P2. Namun, ia menolak mundur. “Saya tetap akan memimpin sampai akhir masa jabatan,” ujarnya dengan nada tegas. Pernyataan itu memicu gelombang kritik baru. Bagi warga, permintaan maaf tanpa mundur hanyalah taktik mempertahankan kekuasaan.