Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Tengah Abu Singhasari

15 Oktober 2025   12:42 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:42 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CINTA DI TENGAH ABU SINGHASARI

Oleh: Sukir Santoso

 Pertemuan di Tengah Pelarian

Asap masih membubung dari reruntuhan Singhasari.
Langit di barat memerah, menyala seperti darah yang baru tumpah.
Udara berbau besi dan arang. Jerit manusia, ringkik kuda, dan denting senjata beradu masih terngiang di kejauhan.
Segalanya berakhir dalam satu malam---malam ketika Jayakatwang dari Kediri menghancurkan Singhasari dan menebas seluruh keturunan Raja Kertanegara di tengah pesta.

Namun, di antara sisa-sisa kebinasaan itu, satu kehidupan masih berlari. Dia adalah Raden Wijaya, salah satu dari beberapa menantu sang raja.

Raden Wijaya menembus belantara, napasnya berat, kakinya berlumpur, tapi matanya masih menyala oleh api tekad.
Di tubuhnya hanya tersisa pakaian robek, pedang tumpul, dan kenangan pahit tentang istana yang terbakar.
Ia menoleh sekali ke belakang, ke arah Singhasari yang kini tinggal abu.

"Istana boleh runtuh," gumamnya, suara serak menahan getir, "tapi ini belum berakhir."

Ia berjalan hingga sampai ke tepi sebuah sungai kecil di tengah hutan bambu.
Airnya bening, tenang seolah tak peduli bahwa dunia di sekitarnya sedang terbakar.
Raden Wijaya berlutut, mencuci wajahnya yang penuh debu dan darah, menatap bayangannya sendiri di permukaan air.
Ia tak lagi melihat seorang pangeran. Hanya seorang manusia yang diusir dari segalanya.
Namun di balik sorot matanya masih tersisa sesuatu yang tak bisa dimatikan oleh perang. Sebuah harapan.

Tiba-tiba ia  terdengar suara---pelan, nyaris tak terdengar, tapi cukup membuatnya  sigap menggenggam pedang.
"Siapa di sana?" serunya tegas, meski lelah menahan napas.

Dari balik rumpun bambu, muncullah sosok seorang perempuan muda.
Rambutnya panjang, sebagian terurai menutupi wajah, matanya teduh namun tampak menyimpan ketakutan.
Kainnya lusuh, kaki telanjangnya kotor oleh tanah. Tapi cara ia berdiri... tegak, tenang, berwibawa---seperti seseorang yang pernah lahir di balik tembok istana.

"Aku tidak bersenjata," katanya lembut, suaranya bening seperti air sungai.
"Jangan takut."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun