CINTA DI TENGAH ABU SINGHASARI
Oleh: Sukir Santoso
 Pertemuan di Tengah Pelarian
Asap masih membubung dari reruntuhan Singhasari.
Langit di barat memerah, menyala seperti darah yang baru tumpah.
Udara berbau besi dan arang. Jerit manusia, ringkik kuda, dan denting senjata beradu masih terngiang di kejauhan.
Segalanya berakhir dalam satu malam---malam ketika Jayakatwang dari Kediri menghancurkan Singhasari dan menebas seluruh keturunan Raja Kertanegara di tengah pesta.
Namun, di antara sisa-sisa kebinasaan itu, satu kehidupan masih berlari. Dia adalah Raden Wijaya, salah satu dari beberapa menantu sang raja.
Raden Wijaya menembus belantara, napasnya berat, kakinya berlumpur, tapi matanya masih menyala oleh api tekad.
Di tubuhnya hanya tersisa pakaian robek, pedang tumpul, dan kenangan pahit tentang istana yang terbakar.
Ia menoleh sekali ke belakang, ke arah Singhasari yang kini tinggal abu.
"Istana boleh runtuh," gumamnya, suara serak menahan getir, "tapi ini belum berakhir."
Ia berjalan hingga sampai ke tepi sebuah sungai kecil di tengah hutan bambu.
Airnya bening, tenang seolah tak peduli bahwa dunia di sekitarnya sedang terbakar.
Raden Wijaya berlutut, mencuci wajahnya yang penuh debu dan darah, menatap bayangannya sendiri di permukaan air.
Ia tak lagi melihat seorang pangeran. Hanya seorang manusia yang diusir dari segalanya.
Namun di balik sorot matanya masih tersisa sesuatu yang tak bisa dimatikan oleh perang. Sebuah harapan.
Tiba-tiba ia  terdengar suara---pelan, nyaris tak terdengar, tapi cukup membuatnya  sigap menggenggam pedang.
"Siapa di sana?" serunya tegas, meski lelah menahan napas.
Dari balik rumpun bambu, muncullah sosok seorang perempuan muda.
Rambutnya panjang, sebagian terurai menutupi wajah, matanya teduh namun tampak menyimpan ketakutan.
Kainnya lusuh, kaki telanjangnya kotor oleh tanah. Tapi cara ia berdiri... tegak, tenang, berwibawa---seperti seseorang yang pernah lahir di balik tembok istana.
"Aku tidak bersenjata," katanya lembut, suaranya bening seperti air sungai.
"Jangan takut."