Oleh: Suardi
"Demokrasi dihadapkan pada suatu analisis yang lebih skeptis tentang sikap dan implikasinya. Aturan mayoritas miskin "demos" dapat dengan mudah merosot menjadi "otokrasi", dimana mayoritas rakyat mengabaikan batas-batas hukum dan memaksakan kehendaknya tanpa peduli kekuatan masa bisa dihitung oleh para demagog, yang artinya pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan poribadinya yang tidak bermoral,"
Pendahuluan
Nilai-nilai demokrasi telah diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dan dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses internalisasi, proses akulturasi dan transformasi dengan kebudayaan lokal Indonesia. Dalam konteks Indonesia demokrasi merupakan representasi dari realitas masyarakat Indonesia yang memiliki ciri beragam atau multikultural namun ia tetap menempatkan budaya gotong-royong dan persatuan diatas segala perbedaan.
      Dalam konsep demokrasi, rakyat merupakan hal paling penting. Ross Harrison dalam bukunya Problems of Philosophy: Democracy, (1993) mengungkapkan, nilai penting dalam demokrasi adalah self-rule, mengatur dirinya sendiri. Konsep self-rule ini selanjutnya dikenal dengan kedaulatan rakyat (people sovereignty) dimana rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan untuk memilih penguasa, termasuk hak rakyat untuk dipilih oleh penguasa.
Joseph A. Schumpeter mendefenisikan demokrasi adalah suatu perencanaan institusional dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Â Sedangkan, Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Kar mendefenisikan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka diwilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. Dari dua pengertian ini setidaknya kita melihat bahwa demokrasi mengandung unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan bertanggungjawab.
      Secara historis, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad V SM sebagai respon terhadap pengalaman buruk sistem monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Athena (Yunani Kuno) pada saat itu (Saifullah Idris, 2014).  Ketika itu demokrasi dipraktikan sebagai sistem, di mana seluruh warga negara membentuk lembaga legislatif. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan jumlah penduduk negara-negara kota kurang lebih sepuluh ribu jiwa dan bahwa wanita, anak kecil serta para budak tidak mempunyai hak politik.
Dengan demikian, Ross Harrison berpendapat bahwa untuk menyaring keinginan rakyat yang begitu banyak, diperlukan mekanisme voting. Mekanisme ini untuk menentukan siapa yang berhak mengelola pemerintahan yang dalam demokrasi saat ini dikenal dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Persoalan dari mekanisme voting, menurut Harrison, adalah menghasilkan rezim mayoritas, karena keputusan ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan kata lain, one man one vote dalam Pemilu hari ini merupakan pengejawantahan dari konsep self-rule atau kedaulatan rakyat.
      Hingga saat ini demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling baik, karena rakyat memiliki kekuasaan dan kedaulatan penuh untuk memilih penguasa termasuk hak rakyat untuk dipilih oleh penguasa. Namun, A. Reader dalam bukunya berjudul Democracy, Edisi Kedua, (1893), mengungkapkan, sejak awal demokrasi polis Yunani dihadapkan pada analisis yang lebih skeptis tentang sikap dan implikasinya. A Reader mencatat apa yang kita sebut sebagai basis sosial demokrasi, pemerintahan orang miskin dan orang yang lahir bebas, seperti menentang dominasi orang kaya. Aturan mayoritas miskin "demos" dapat dengan mudah merosot menjadi "otokrasi", dimana mayoritas rakyat mengabaikan batas-batas hukum dan memaksakan kehendaknya tanpa peduli kekuatan masa bisa dihitung oleh para demagog yang artinya (pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan poribadinya) yang tidak bermoral. Â
Ancaman Terhadap Demokrasi