Disclaimer: Katanya, qarin itu menampakkan diri ketika seseorang mendekati ajal. Atau, setelah meninggal dunia.
Lalu bagaimana dengan qarin yang menampakkan diri terus-menerus, tapi orang tersebut tak meninggal dunia? Itulah keunikan hal yang kualami.
Silakan membaca petualangan Ima di bawah ini. Trims banyak =)
_______________________________________
Pikiran melihat hantu ketika takut dan putus asa.
-Toba Beta, My Ancestor Was an Ancient Astronaut.
_______________________________________
Â
"Pak, di mana uang dua puluh ribu Rupiah-nya?" tanya Ibu yang berdiri di depan ruang tidur.
Â
Bapak bergeming. Bibir tipisnya berkomat-kamit tanpa suara.
Â
Walaupun Ibu mengulangi pertanyaannya, Bapak tetap bergeming. Ia duduk merunduk di tepi tempat tidur sembari meremas-remas jari.
Â
Ibu menghela napas dan kembali mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya dengan volume suara setinggi 5 oktaf. Bapak mendongakkan kepala. Kedua matanya menatap Ibu dengan nanar.Â
Â
"Dasar Bapak pelit! Jika tak ada sayur, jangan salahkan Ibu!" seru Ibu dengan gusar sembari melangkahkan kaki menuju teras.
Â
Ibu terperangah. Ternyata Bapak sedang duduk dan membaca buku Perang Vietnam dengan Amerika Serikat.Â
Â
"Ini uangnya. Kok kau malah bengong? Bukannya kau ingin belanja sayur?" tanya Bapak sembari menyodorkan uang 20 ribu Rupiah.
Â
"Bukannya Bapak ada di ruang tidur? Tadi aku minta uang, Bapak diam saja."
Â
"Sejak tadi aku di sini. Mungkin kau salah lihat atau pikun," ujar Bapak tak peduli. Ia kembali membaca bukunya.Â
Â
***
"YATI! YATI! YATI!" seru Bapak.
Â
"Apa sih, Pak? Teriak-teriak seperti itu. Aku sedang masak gulai rebung kesukaanmu," ujar Ibu. Ia celingukan di depan ruang tidur. Tapi, suaminya tak tampak batang hidungnya pun.
Â
Ibu pun bergegas ke ruang tamu. Di sana Dika sedang menuangkan air teko ke mug abu-abu yang dipegang Bapak.
Â
"Bapak memanggilku?" tanya Ibu.
Â
Bapak menggelengkan kepala. "Sejak tadi aku hanya berbicara dengan Dika. Mungkin kau salah mendengar."
Â
Ibu mengerutkan kening. "Padahal tadi suara Bapak jelas sekali memanggilku. Mana mungkin aku salah mendengar."
Â
Bapak mengangkat bahu. "Tanyakan saja sendiri pada anak laki-lakimu ini! Dika, tadi kau mendengar Bapak memanggil Ibu?"
Â
Dika menggelengkan kepala. "Mungkin suara tetangga, Bu."
Â
Ibu pun mengernyit dan kembali lagi ke dapur. Ia bergumam, "Aneh sekali! Suaranya persis Bapak."
***
"Pak, ini obat sembelit yang kau minta. Aku letakkan di atas tempat tidur," seru Ibu.Â
Â
Bapak bergeming. Ia hanya berdiri mematung di sudut ruang tidur. Punggungnya tampak kaku.
Â
"PAK, DENGAR TIDAK? OBAT SEMBELITNYA DI TEMPAT TIDUR, YA! IBU AKAN PERGI KE MADRASAH DULU BARENG IMA DAN DIKA."
Â
Bapak tak merespon sama sekali. Bahkan, ia tak mau menoleh pada Ibu.
Â
Ibu menghela napas kesal dan berbicara dalam hati. Terserah! Jika Bapak mau bertingkah kekanak-kanakkan dan tak menjawab. Yang penting aku sudah melakukan permintaannya.Â
Â
Ketika Ibu melangkah ke ruang tamu, ia berpapasan dengan Bapak yang asli. Ia pun mendesah. Sudah tak heran lagi. Â Â Â Â
Â
"Obat sembelitnya di atas tempat tidur," ujar Ibu untuk ketiga kalinya. Ia menatap wajah suaminya dengan seksama. Bahkan, ia menscan suaminya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Benarkah manusia?
Â
"Oh ya, terimakasih banyak. Mengapa kau melihatku seperti itu? Ada yang salah?"
Â
"Memangnya tak boleh? Kau kan suamiku," seru Ibu ketus. Ia agak gusar dengan suaminya yang tak peka kegundahan dirinya. Jika suaminya tak berulah, mereka sekeluarga tak akan pindah ke sini. Dan ia pun tak akan diganggu qarin yang menyerupai suaminya terus-menerus.
***
Kipas angin menderu. Malam ini Ibu tidur berdua dengan Dika di ruang tamu yang merupakan ruang tidur Dika.
Â
"Kok Ibu tak tidur bersama Bapak? Ibu marah lagi dengan Bapak?" ranya Dika.
Â
Ibu menggelengkan kepala. "Malam ini panas sekali. Lebih nyaman tidur bersamamu di ruang ini."
Â
Tak berapa lama Dika dan Ibu pun terlelap. Menjelang jam dua dini hari, Ibu terbangun. Ia memfokuskan pandangan. Bapak sedang duduk menghadap kipas angin. Bahkan, ia hanya menggunakan kaus oblong putih yang tipis.
Â
"Pak, jangan angin-anginan seperti itu! Nanti batuk Bapak kambuh lagi," ujar Ibu.
Â
Bapak pun menoleh. Lehernya bisa berputar 180 derajat. Ia tersenyum menyeringai.
Â
"Dik, Dika! Bangun!" seru Ibu ketakutan. Ia mengguncang-guncangkan lengan kanan Dika. Tapi Dika malah bergumam dan menepis tangan Ibu. Oleh karena itu, Ibu memijit hidung Dika yang langsung bangun seketika.
Â
"Duh, Ibu mau melakukan percobaan pembunuhan padaku? Aku tak bisa bernapas," keluh Dika.
Â
"Hush! Ibu membangunkanmu karena ada qarin," bisik Ibu. Ia ngeri melihat qorin yang menyerupai suaminya itu, masih menatapnya dengan mata melotot.
Â
"QA...QARIN! DI MANA QARIN-NYA, BU?"
Â
Ibu menunjuk ke arah kipas angin. Tapi, qarin tersebut sudah melenyapkan diri. Mungkin qarin tadi hanya ingin mendinginkan diri.
***
Seminggu kemudian.
Â
"UHUK! UHUK! UHUK!"Â
Â
Ibu pun menoleh ke dalam ruang tidur. Tampak Bapak sedang rebahan berselubung selimut tebal. "Makanya, Bapak itu jangan keras kepala! Obat batuk tidak mau rutin diminum. Takut efek samping. Takut sakit ginjal. Tapi, batuknya berdahak seperti itu. Kita ini sudah tua. Harus pandai menjaga diri. Jangan sampai sakit-sakitan hingga menyusahkan kedua anak kita!"
Â
"UHUK! UHUK! UHUK!" Bapak terbatuk-batuk hingga dadanya bergetar hebat. Wajahnya yang pucat pasi, bersemu kehijau-hijauan. Ia pun meludah ke sisi tempat tidur.
Â
"Bapak jorok sekali! Seharusnya Bapak meludah di ruang mandi. Nanti virusnya menyebar ke mana-mana di ruang tidur," gerutu Ibu. Ia tak habis pikir mengapa Bapak bisa sejorok ini padahal kakak Bapak yang sudah meninggal dunia ialah seorang dokter. "Sebentar! Aku akan mengambilkan obat batuk dan minyak gosok." Ibu pun melangkahkan kaki ke lemari dinding yang terletak di sudut ruang tidur.
Â
"HOEK! HOEK! HOEK!"Â
Â
Ibu menoleh dan terperanjat. "Aduh! Masa Bapak sampai muntah darah seperti ini? Apa sekarang kita ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) saja?"
Â
Bapak menggeleng-gelengkan kepala. Ia memberi isyarat agar Ibu membantunya untuk meninggikan posisi bantal hingga ia dapat bersandar dengan nyaman. Ibu pun membersihkan darah di bibir Bapak. Kening Bapak bersimbah keringat.
Â
"Tubuh Bapak dingin sekali. Bapak mau ya berobat?"
Â
Bapak bergeming. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya berjengit menahan rasa sakit yang luar biasa. Tangan kanannya memegang dadanya. Sementara tangan kirinya menunjuk gelas berisi air yang terletak di atas meja kecil. Ibu pun tergesa-gesa mengambilnya. Tapi saat Ibu berbalik, tak ada Bapak! Selimut pun terlipat rapi. Muntahan darah dan dahak di sisi tempat tidur pun lenyap.
Â
Sekarang wajah Ibu yang pucat pasi. Ia pun segera keluar ruang tidur itu dan hampir bertabrakan dengan Bapak di lorong.
Â
"Yati, jika jalan jangan tergesa-gesa seperti itu! Hampir saja aku menumpahkan air di ember ini."
Â
Ibu pun terperangah. "Denis, ini benar-benar kau?" Bahkan, ia mengusap wajah suaminya. "Bukankah tadi kau muntah darah dan sekarat?"
Â
 Bapak menepis tangan istrinya dengan kasar. "Kau bicara omong kosong apa? Kau ingin aku sekarat dan lekas mati agar kau bisa menjadi janda dan menikah lagi? Dasar perempuan pikun tak tahu diri!"
Â
 Dengan hentakan kaki sekeras mungkin, Bapak pun berlalu sembari membawa ember hijaunya. Ibu pun hanya terpana, memandang punggung Bapak yang menjauh.
***
 "Begitulah kejadian-kejadian mistis yang menimpa Ibu. Kau percaya perkataan Ibu?"
Â
 Aku menganggukkan kepala. "Dulu aku tak percaya takhayul dan roh halus. Tapi sejak mengalami kejadian-kejadian janggal di sini, aku percaya adanya dunia lain."
Â
 "Ibu sungguh-sungguh ingin kita pindah sesegera mungkin dari rumah gadai ini. Qarin yang menyerupai Bapak, membuat perasaan Ibu tak enak."      Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI