"Ah, rezeki Allah Swt tak akan tertukar. Ibu tak perlu mempedulikan hal remeh seperti itu. Setiap orang berhak untuk berjualan makanan," kata Mang Alip.Â
"Marni juga warga pendatang. Tak boleh ia bertingkah seperti itu. Kami yang warga asli area ini pun tak pernah menghalangi siapa pun untuk berjualan makanan," ujar Bi Deden. Senyumnya yang ramah sungguh menenangkan hati siapa pun yang memandangnya.
Â
Mang Danu mengerutkan kening, "Bukankah dulu ada isu tuyul di rumah gadai itu? Saat itu heboh sekali. Tak ada warga yang berani melintasi rumah angker tersebut setelah jam 8 malam."
Â
"Benar, Kang! Pia melapor pada keluarganya bahwa ia sering melihat tuyul berkeliaran di halaman rumahnya. Bahkan, ia menegaskan tuyul tersebut keluar dari rumah gadai milik Nia."
Â
"Mungkin tuyul itu senang bermain ikan nila di kolam Bu Pia," kataku.
"Iya, kabarnya seperti itu. Selain itu, halaman belakang rumah Pia banyak ditumbuhi pohon bambu. Makhluk halus suka sekali menghuni rumpun bambu, termasuk tuyul," jelas Bi Deden.Â
"Ada warga yang sedang ronda memergoki tuyul itu sedang menyusuri jalan aspal menuju rumah gadai tersebut. Diterangi senter, tuyul itu seperti penggambaran film horor. Ia menyerupai bocah cilik gundul yang hanya memakai kain kumal sebagai celananya," tambah Mang Danu. Wajahnya yang berkerut tampak senang karena kisah horornya didengarkan dengan penuh perhatian.
"Lalu?" tanyaku penasaran.