Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... freelancer

Penulis Cerpen "Astaga! KKN di Desa Legok" dalam buku KKN Creator (2024). Fokus cerpen dan story telling. Skill business analyst, SMEs, green productivity, and sustainability. Kolaborasi, kontak ke wiryawansisca@gmail.com yang ingin dianalisis laporan keuangan, dll e-mail saja bahan2nya.dah biasa kerja remote. trims bnyk

Selanjutnya

Tutup

Horor

Misteri Rumah Gadai, Bab 15 (Angker)

9 Mei 2025   19:51 Diperbarui: 9 Mei 2025   19:51 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber: pixabay.

Disclaimer: Cara paling efektif untuk menyelidiki sesuatu di Indonesia itu di warung makanan :P

Tapi yang pemilik warung makanannya itu warga setempat.

Isu tuyul paling santer di lereng Gunung Salak ini. Pasangan suami istri penjual karedok dan gado-gado berkata bahwa ada warga desa yang bertemu dengan tuyul saat meronda :P

Tuyul yang digambarkan mirip dengan film horor.

Tetangga sebelah yang tunawicara juga melihat tuyul itu. Ia berkomunikasi dengan saudaranya bahwa si tuyul sering masuk ke halaman rumahnya.

Aku sendiri beberapa kali melihat jin anak kecil yang menampakkan diri di area dapur. Tapi ia tak seperti tuyul yang hanya memakai sempak. Ia berpakaian koko.

Jadi, bisik-bisik dan stigma negatif selalu menyertai si pemilik rumah gadai yang merupakan keluarga terpandang di area tersebut. Sebenarnya, pasangan suami istri penjual karedok dan gado-gado itu juga masih kerabat dekat si pemilik rumah gadai. Tapi walaupun masih keluarga, tetap saja pro kontra.

Untuk di area desa, latar seperti ini merupakan sasaran empuk gosip O.O

Sepuluh saudara kandung si pemilik rumah gadai meninggal muda satu per satu.

Suami pemilik rumah gadai baru meninggal di usia 45 tahun.

Ada tuyul yang keliaran depan rumah gadai.

Kepala Dusun yang menangis karena tak tahan tinggal di rumah gadai yang creepy.

Kebiasaan si pemilik rumah gadai yang suka hal mistis seperti penglaris tanah makam.

Semua yang pernah menghuni rumah gadai, pasti mengalami kebangkrutan usaha dan sakit-sakitan ketika tinggal di rumah gadai itu.

Hal logis:

Daerah terpencil tentu sulit uang dan ekonomi stagnant.

Kualitas air kurang bagus bisa mengganggu kesehatan.

Genetik penyakit turunan mungkin yang menyebabkan pada meninggal muda.

Tapi aku tak bisa menjelaskan perihal hantu karena yang melihatnya memang banyak orang, tak hanya aku.

Mau ada tuyul juga bakal kecele :O Uangku itu jarang cash. Saldonya juga minimalis karena langsung aku bayarkan tagihan-tagihan :P

Silakan membaca kisah petualangan Ima di bawah ini =)

_____________________________________________

Jangan percaya hal apa pun yang kau dengar, dan percayalah setengah yang kau lihat!

-Edgar Allan Poe._____________________________________________

 

  "Saya heran minggu pertama kami tinggal di rumah gadai tersebut, suasananya sangat lengang. Selepas Magrib, jarang sekali warga sekitar yang melintasi depan rumah gadai, baik pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor. Baru sekarang agak ramai Bahkan, bocah-bocah cilik banyak yang berlarian setelah Magrib," ujar Ibu. 

 

"Rumah gadai itu memang terkenal angker. Warga sekitar heran Ibu sekeluarga berani menghuninya setelah beberapa tahun dibiarkan kosong melompong," kata Bi Deden.

 

"Kami tak punya pilihan selain menempati rumah gadai tersebut. Walaupun ada gangguan roh halus, kami tak memiliki uang sedikit pun untuk pindah rumah. Kecuali, over gadai. Bu Amar sudah menyetujuinya. Tapi belum ada peminat serius. Sudah ada dua peminat yang datang melihat rumah gadai tersebut, tapi tak ada kelanjutannya," sahut Ibu.

 

"Rumah kosong tak terawat merupakan sarang yang nyaman bagi hantu. Mungkin karena itu keluarga Ibu diganggu roh halus. Mereka terusik dengan kedatangan Ibu sekeluarga," tegas Bi Deden.

 

 "Gangguan roh halus seperti apa?" tanya Mang Danu.

 

 "Ada anak jin di dekat ruang mandi, kunti dan tuyul di ruang tidurku, genderuwo bermata merah di luar jendela lorong, dan qarin yang menyerupai Bapak di ruang tidur Bapak dan dapur," jawabku. 

 

 Bi Deden bergidik. "Seram sekali. Makhluk halusnya banyak juga."

 

  "Beberapa kali saya hampir kerasukan roh pria jika sedang sendirian di dapur," sahut Ibu.

 

  "Mungkin Ibu melamun? Istilahnya, sedang kosong?" tuduh Mang Alip. "Perkuat iman dan perbanyak doa, Bu."

 

 Ibu menggelengkan kepala. Ekspresi wajahnya agak tersinggung. "Walaupun saya sedang mengalami masalah pelik, saya tak suka melamun. Saya sering wirid di dapur tersebut agar hawa negatifnya hilang. Tapi tetap saja roh pria tersebut datang mengganggu."

 

"Apa roh penunggu rumah? Apakah ia selalu menampakkan diri di area yang sama?" tanya Mang Danu.

 

"Mungkin saja. Ia memang selalu menampakkan diri di dapur tak peduli pagi, siang, atau pun malam."

 

"Wujudnya seperti apa?" tanya Bi Deden.

"Seringkali ia berwujud asap kecil yang keluar di depan wastafel dapur. Kemudian, asap tersebut akan melilit kaki saya. Atau, ia menampakkan diri begitu saja sebagai pria berusia setengah baya, tapi kedua kakinya tak terlihat. Setiap kali makhluk halus tersebut menampakkan diri, saya hampir kerasukan. Padahal saya tak pernah bicara sembarangan yang mengusik keberadaan makhluk halus."

 

Mang Alip mengerutkan kening. Sementara Mang Danu dan istrinya tampak ngeri.   

"Hampir setiap malam Bu Pia, tetangga sebelah rumah gadai, kerasukan kunti," lanjut Ibu.

 

"Kerasukan bagaimana?" tanya Mang Danu. 

 

"Ia seringkali cekikikan sepanjang malam," jawab Ibu.

 

"Saat Magrib, ia bersenandung lagu yang sering kuputar di laptop. Tak mungkin ia mendengar lagu tersebut karena aku selalu memutar lagu tersebut dengan volume kecil," timpalku.

 

"Saya tak pernah mendengar Pia bersenandung sebelumnya," kata Bi Deden. Kemudian ia bertanya pada suaminya, "Bagaimana dengan Akang?" 

 

Mang Danu menggelengkan kepala. "Akang juga belum pernah mendengarnya. Apalagi Akang jarang bergaul dengan Pia."

"Bu Pia agak aneh. Ia sering menatap rumpun bambu berjam-jam tanpa melakukan apa pun. Kadang-kadang ia menyiksa anak kucingnya," kataku.

 

Bi Deden menghela napas. "Mungkin karena Pia tinggal sendirian, ia seperti itu. Padahal ia sangat rajin. Ia pandai bercocok tanam, memelihara ikan nila, dan membuat rangginang. Batang-batang kayu pun ia belah sendiri untuk kayu bakar. Keluarganya tinggal di sebrang rumah gadai. Seharusnya, mereka lebih memperhatikannya." 

 

"Bukankah tunawicara seperti Bu Pia tak bisa tertawa?" tanyaku penasaran.

 

"Bisa. Saya pernah melihat Pia tertawa dan berkomunikasi dengan Marni, adiknya yang menjual gorengan dan buras tanpa isi," kata Bi Deden sembari tersenyum simpul. "Lontong yang tadi kalian santap juga buatan Marni. Saya memesannya untuk jodoh karedok."

 "Saya pikir lontongnya Bi Deden buat sendiri," kata Ibu. 

 

 "Tidak keburu. Lebih praktis saya memesan dan membeli lontong pada Marni." 

 

"Buatannya sih cukup enak, tapi Bu Marni seringkali jutek. Mungkin ia tak suka melihat kami berjualan sempol ayam dan nasi uduk. Padahal saya tetap sering membeli gorengan tempe tepung dan kroket bihun yang ia jual," keluh Ibu.

 

"Ah, rezeki Allah Swt tak akan tertukar. Ibu tak perlu mempedulikan hal remeh seperti itu. Setiap orang berhak untuk berjualan makanan," kata Mang Alip. 

"Marni juga warga pendatang. Tak boleh ia bertingkah seperti itu. Kami yang warga asli area ini pun tak pernah menghalangi siapa pun untuk berjualan makanan," ujar Bi Deden. Senyumnya yang ramah sungguh menenangkan hati siapa pun yang memandangnya.

 

Mang Danu mengerutkan kening, "Bukankah dulu ada isu tuyul di rumah gadai itu? Saat itu heboh sekali. Tak ada warga yang berani melintasi rumah angker tersebut setelah jam 8 malam."

 

"Benar, Kang! Pia melapor pada keluarganya bahwa ia sering melihat tuyul berkeliaran di halaman rumahnya. Bahkan, ia menegaskan tuyul tersebut keluar dari rumah gadai milik Nia."

 

"Mungkin tuyul itu senang bermain ikan nila di kolam Bu Pia," kataku.

"Iya, kabarnya seperti itu. Selain itu, halaman belakang rumah Pia banyak ditumbuhi pohon bambu. Makhluk halus suka sekali menghuni rumpun bambu, termasuk tuyul," jelas Bi Deden. 

"Ada warga yang sedang ronda memergoki tuyul itu sedang menyusuri jalan aspal menuju rumah gadai tersebut. Diterangi senter, tuyul itu seperti penggambaran film horor. Ia menyerupai bocah cilik gundul yang hanya memakai kain kumal sebagai celananya," tambah Mang Danu. Wajahnya yang berkerut tampak senang karena kisah horornya didengarkan dengan penuh perhatian.

"Lalu?" tanyaku penasaran.

"Karena panik, peronda itu melempar senter ke wajah tuyul tersebut. Kemudian, ia melarikan diri. Siapa pun pasti takut menghadapi tuyul yang menyeringai dan memamerkan gigi taringnya," ujar Mang Danu.

 

 Bi Deden menyodok pinggang kanan suaminya, "Kang, jika ada tuyul. Pasti ada majikannya."

 

"Iya. Tapi tak ada yang tahu majikan si tuyul."

 

"Jika tuyul memiliki majikan, tentu anak jin yang disebutkan Ima juga memiliki majikan. Belum lagi roh pria yang dilihat Bu Darayan sepertinya roh halus penunggu rumah. Apakah majikan makhluk-makhluk mistis tersebut orang yang sama?" tanya Bi Deden. 

 

Mang Danu mengerutkan kening. "Bisa jadi."

 

"Kunti juga termasuk makhluk pesugihan," tambah Bi Deden. "Siapa ya majikannya? Pasti ia ingin sekali menjadi kaya raya."

 

"Genderuwo juga. Jarang sekali ada genderuwo," tambah Mang Danu.

"Mungkin karena saat sedang menstruasi, aku dan Ibu berjalan kaki melintasi hutan jati yang berada di atas lereng, genderuwo pun mengikutiku," ujarku.

 

"Duh, Bibi jadi tambah merinding. Bibi jarang sekali melintasi hutan jati tersebut karena rematik. Semua sendi terasa sakit jika berjalan jauh," keluh Bi Deden.

"Saya juga jarang berjalan kaki di lereng. Punggung bungkuk seperti ini akibat mengangkat hasil tani yang terlampau berat saat saya masih menjadi petani," ujar Mang Danu.

 

 "Minum jahe merah saja agar peredaran darah lancar," usul Ibu.

 

"Sudah berobat ke dokter dan minum herbal, tapi tetap saja rematik. Memang tubuhnya sudah tua," ujar Mang Danu.

 

 Bi Deden termenung, "Bagaimana jika pesugihan itu masih berlangsung?"

 

 Mendengar pembicaraan semakin tak menentu, Mang Alip dengan tegas membubarkan kami semua. "Sudahlah! Kita akhiri saja pembicaraan ini. Bukankah kita semua masih harus melakukan pekerjaan masing-masing?"

 

 Mang Danu dan Bi Deden agak kecewa karena pembicaraan yang sedang seru, dihentikan begitu saja oleh Mang Alip yang tampak agak gugup ketika pembicaraan mulai menuju ke identitas majikan makhluk mistis. 

 

   Aku dan Ibu saling berpandangan. Kami saling mengerti tanpa harus bercakap-cakap secara langsung. Mang Alip tampak misterius. Mengapa? Apakah ia menyembunyikan suatu rahasia?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun