Bi Deden menghela napas. "Mungkin karena Pia tinggal sendirian, ia seperti itu. Padahal ia sangat rajin. Ia pandai bercocok tanam, memelihara ikan nila, dan membuat rangginang. Batang-batang kayu pun ia belah sendiri untuk kayu bakar. Keluarganya tinggal di sebrang rumah gadai. Seharusnya, mereka lebih memperhatikannya."Â
Â
"Bukankah tunawicara seperti Bu Pia tak bisa tertawa?" tanyaku penasaran.
Â
"Bisa. Saya pernah melihat Pia tertawa dan berkomunikasi dengan Marni, adiknya yang menjual gorengan dan buras tanpa isi," kata Bi Deden sembari tersenyum simpul. "Lontong yang tadi kalian santap juga buatan Marni. Saya memesannya untuk jodoh karedok."
 "Saya pikir lontongnya Bi Deden buat sendiri," kata Ibu.Â
Â
 "Tidak keburu. Lebih praktis saya memesan dan membeli lontong pada Marni."Â
Â
"Buatannya sih cukup enak, tapi Bu Marni seringkali jutek. Mungkin ia tak suka melihat kami berjualan sempol ayam dan nasi uduk. Padahal saya tetap sering membeli gorengan tempe tepung dan kroket bihun yang ia jual," keluh Ibu.
Â