"Orang miskin sepertiku memang lebih sensitif," tegas Hamid sembari tertawa kecil. Ia mengusap anak-anak rambut Rani. Kemudian, jari-jemarinya menjalar hingga tulang pipi si gadis yang mulai jengah.
"Jadi?" tanya Rani yang merasa wajahnya memanas karena ditatap Hamid sedemikian rupa. Sungguh berbeda berhadapan dengan Hamid yang tegas, dibandingkan dengan Asep yang flamboyan.
"Jadi apa?"
"Bagaimana jika ibumu tak menyukaiku?"
"Apa pedulinya?"
"Kau kan anak tunggal. Tentu ibumu berharap banyak padamu."
"Aku hanya mencintaimu," ujar Hamid menutup pembicaraan. "Tak perlu kau ungkit-ungkit lagi masalah ini. Jika aku bersikeras hanya ingin bersamamu, ibuku bisa apa?"
***
     Asep merana melihat kemesraan yang ditampilkan Rani dan Hamid. Hancur sudah. Tak ada harapan lagi untuk kembali berpacaran dengan Rani. Mantannya itu sengaja berkunjung ke rumahnya. Kemudian, mereka berdua saling menatap mesra di hadapannya. Tega banget!
     "Aku tak percaya kalian berdua berpacaran. Mana mungkin secepat ini. Baru dua minggu aku putus dengan Neng Rani," kata Asep dengan gusar.
     Rani tersenyum sangat manis. Terlampau manis di mata Asep. Tapi kedua mata yang biasanya menatap dirinya dengan lembut itu, tak pernah lagi tersenyum. "Aku tak peduli kau tak percaya. Yang terpenting jangan ganggu dan mengejar-ngejarku lagi karena sekarang aku sudah berpacaran dengan Hamid."