Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AGI dan Rasa Takut yang Kita Wariskan, Dari Mitologi Yunani ke GPT-5

13 Agustus 2025   08:01 Diperbarui: 12 Agustus 2025   17:13 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artificial General Intelligence (AGI). (Sumber: unite.ai/Freepik)

Bayangkan suatu pagi Anda bangun, menyalakan ponsel, dan menemukan sebuah pesan suara. Suaranya persis seperti sahabat lama Anda---intonasinya, tawa kecilnya, bahkan jeda di antara kata-kata---meminta Anda mengirim sejumlah uang karena ia sedang dalam bahaya. 

Anda ingin membantu. Namun, hanya beberapa jam kemudian, Anda sadar bahwa sahabat itu baik-baik saja, dan pesan itu bukan dari manusia. Itu adalah ciptaan AI, hasil rekayasa yang begitu meyakinkan sehingga otak Anda sendiri tak bisa membedakan mana yang nyata.

Inilah dunia yang perlahan kita masuki---dunia di mana batas antara kebenaran dan tipuan kabur, di mana mesin bukan hanya memahami bahasa kita, tetapi juga memanipulasi emosi terdalam kita. GPT-5 hanyalah salah satu pintu yang mengarah ke dunia itu. 

Di balik segala kemegahan teknologinya, tersimpan pertanyaan kuno yang sama: sampai di mana manusia siap menanggung konsekuensi dari api yang mereka nyalakan?

Dari Api Prometheus hingga Kecerdasan Buatan

Sejak awal peradaban, manusia memiliki hubungan yang rumit dengan ciptaannya sendiri. Di satu sisi, kita mengagumi kemampuan mencipta sebagai tanda kemajuan. Di sisi lain, kita takut pada kemungkinan bahwa hasil karya itu akan berbalik mengancam kita. 

Kisah Prometheus dari mitologi Yunani adalah salah satu cerminan paling awal dari ketegangan ini. Dewa yang mencuri api untuk diberikan kepada manusia itu diganjar hukuman abadi oleh Zeus. Api, simbol pengetahuan dan kemajuan, membawa peradaban melesat---namun sekaligus memicu kekhawatiran bahwa manusia akan melampaui batasnya.

Sejarah peradaban penuh dengan pola yang sama. Setiap terobosan besar---mesiu, mesin uap, listrik, hingga tenaga nuklir---membawa euforia sekaligus rasa gentar. 

Oppenheimer, tokoh kunci Manhattan Project, pernah mengutip Bhagavad Gita saat menyaksikan ledakan bom atom pertama: "Now I am become Death, the destroyer of worlds." Kalimat itu bukan sekadar dramatisasi, melainkan pengakuan atas dilema moral seorang pencipta.

Di abad ke-21, kita kembali berada di persimpangan yang sama. "Api" kali ini bukan lagi nyala di obor Prometheus atau kilatan nuklir di gurun pasir, melainkan baris-baris kode dan miliaran parameter yang membentuk kecerdasan buatan generatif---GPT-5 salah satunya. Bedanya, kali ini api itu bukan hanya mampu memanaskan atau menghancurkan, tapi juga berpikir, belajar, dan mungkin suatu hari mencipta sendiri.

Warisan Ketakutan Kolektif

Rasa takut terhadap ciptaan sendiri bukanlah fenomena baru; ia adalah warisan kolektif yang terbentuk dari berlapis-lapis pengalaman sejarah. Ada pola psikologis yang berulang: manusia mencipta sesuatu untuk memecahkan masalah, lalu merasa gelisah ketika ciptaan itu menimbulkan masalah baru---termasuk ancaman terhadap eksistensi kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun