Bayangkan suatu pagi Anda bangun, menyalakan ponsel, dan menemukan sebuah pesan suara. Suaranya persis seperti sahabat lama Anda---intonasinya, tawa kecilnya, bahkan jeda di antara kata-kata---meminta Anda mengirim sejumlah uang karena ia sedang dalam bahaya.Â
Anda ingin membantu. Namun, hanya beberapa jam kemudian, Anda sadar bahwa sahabat itu baik-baik saja, dan pesan itu bukan dari manusia. Itu adalah ciptaan AI, hasil rekayasa yang begitu meyakinkan sehingga otak Anda sendiri tak bisa membedakan mana yang nyata.
Inilah dunia yang perlahan kita masuki---dunia di mana batas antara kebenaran dan tipuan kabur, di mana mesin bukan hanya memahami bahasa kita, tetapi juga memanipulasi emosi terdalam kita. GPT-5 hanyalah salah satu pintu yang mengarah ke dunia itu.Â
Di balik segala kemegahan teknologinya, tersimpan pertanyaan kuno yang sama: sampai di mana manusia siap menanggung konsekuensi dari api yang mereka nyalakan?
Dari Api Prometheus hingga Kecerdasan Buatan
Sejak awal peradaban, manusia memiliki hubungan yang rumit dengan ciptaannya sendiri. Di satu sisi, kita mengagumi kemampuan mencipta sebagai tanda kemajuan. Di sisi lain, kita takut pada kemungkinan bahwa hasil karya itu akan berbalik mengancam kita.Â
Kisah Prometheus dari mitologi Yunani adalah salah satu cerminan paling awal dari ketegangan ini. Dewa yang mencuri api untuk diberikan kepada manusia itu diganjar hukuman abadi oleh Zeus. Api, simbol pengetahuan dan kemajuan, membawa peradaban melesat---namun sekaligus memicu kekhawatiran bahwa manusia akan melampaui batasnya.
Sejarah peradaban penuh dengan pola yang sama. Setiap terobosan besar---mesiu, mesin uap, listrik, hingga tenaga nuklir---membawa euforia sekaligus rasa gentar.Â
Oppenheimer, tokoh kunci Manhattan Project, pernah mengutip Bhagavad Gita saat menyaksikan ledakan bom atom pertama: "Now I am become Death, the destroyer of worlds." Kalimat itu bukan sekadar dramatisasi, melainkan pengakuan atas dilema moral seorang pencipta.
Di abad ke-21, kita kembali berada di persimpangan yang sama. "Api" kali ini bukan lagi nyala di obor Prometheus atau kilatan nuklir di gurun pasir, melainkan baris-baris kode dan miliaran parameter yang membentuk kecerdasan buatan generatif---GPT-5 salah satunya. Bedanya, kali ini api itu bukan hanya mampu memanaskan atau menghancurkan, tapi juga berpikir, belajar, dan mungkin suatu hari mencipta sendiri.
Warisan Ketakutan Kolektif
Rasa takut terhadap ciptaan sendiri bukanlah fenomena baru; ia adalah warisan kolektif yang terbentuk dari berlapis-lapis pengalaman sejarah. Ada pola psikologis yang berulang: manusia mencipta sesuatu untuk memecahkan masalah, lalu merasa gelisah ketika ciptaan itu menimbulkan masalah baru---termasuk ancaman terhadap eksistensi kita sendiri.