5. Inflasi dan Ketegangan Fiskal-Moneter
Langkah menyuntikkan Rp200 triliun ke bank-bank negara meningkatkan likuiditas secara signifikan di sistem perbankan, yang berpotensi menimbulkan tekanan inflasi. Jika likuiditas ini tersalurkan terlalu cepat ke sektor konsumsi atau sektor riil yang pasokannya terbatas, harga barang dan jasa bisa meningkat. Inflasi yang tinggi berisiko menurunkan daya beli masyarakat, sehingga efek positif dari kredit murah dan investasi produktif bisa tereduksi.
Selain itu, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat krusial. Jika Bank Indonesia menilai tekanan likuiditas terlalu tinggi dan menahan dana tambahan dengan instrumen penyerapan, maka tujuan Purbaya mendorong kredit produktif bisa terhambat. Di sisi lain, jika BI menahan likuiditas terlalu longgar, inflasi bisa melonjak, menciptakan dilema bagi pemerintah: mendorong pertumbuhan atau menjaga stabilitas harga.
Fenomena ini mencerminkan ketegangan alami antara fiskal dan moneter. Pemerintah ingin memacu pertumbuhan melalui stimulus fiskal, sementara bank sentral memiliki mandat menjaga stabilitas harga dan nilai tukar. Tanpa koordinasi yang jelas dan mekanisme komunikasi yang efektif, kebijakan yang tampak proaktif bisa kehilangan arah atau bahkan saling meniadakan efeknya.
Risiko lain muncul dari ketidaksiapan sektor produksi. Jika kredit mengalir ke usaha produktif tetapi pasokan barang dan jasa tidak mencukupi, tekanan harga bisa meningkat. Misalnya, sektor pangan dan energi, yang sensitivitas harganya tinggi, bisa mengalami lonjakan harga sementara konsumsi meningkat. Hal ini berpotensi memicu inflasi berbasis permintaan, yang lebih sulit dikendalikan.
Oleh karena itu, suntikan likuiditas harus diimbangi dengan strategi pengendalian inflasi, peningkatan kapasitas produksi, dan pemantauan distribusi kredit. Pemerintah dan BI perlu menetapkan mekanisme koordinasi yang jelas, termasuk target inflasi, rasio kredit produktif, dan pengawasan likuiditas, agar stimulus fiskal tidak menimbulkan konsekuensi negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.
Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan ini bukan hanya soal besarnya dana yang disuntikkan, tetapi juga kemampuan aparat pemerintah dan bank sentral dalam mengelola ketegangan fiskal-moneter agar likuiditas mengalir produktif tanpa memicu gejolak harga.
6. Arah Penyaluran: Konsumtif vs Produktif
Suntikan dana Rp200 triliun ke bank memang menambah kapasitas kredit, tetapi arah penyalurannya menjadi faktor penentu efektivitas. Jika dana hanya digunakan untuk konsumsi jangka pendek---misalnya kredit konsumtif rumah tangga atau pembelian barang non-produktif---efek terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan terbatas. Kredit konsumtif memang bisa meningkatkan daya beli sesaat, namun multiplier effect terhadap investasi, produksi, dan lapangan kerja relatif kecil dibandingkan kredit produktif.
Sebaliknya, apabila dana diarahkan ke kredit produktif, seperti pembiayaan UMKM, sektor industri manufaktur, energi terbarukan, infrastruktur kecil, dan pertanian, dampak terhadap perekonomian jauh lebih nyata. Kredit produktif meningkatkan kapasitas produksi, membuka lapangan kerja, dan menambah output nasional. Selain itu, kredit produktif berpotensi menciptakan efek berantai yang memperkuat basis ekonomi jangka menengah dan panjang, bukan sekadar menstimulasi konsumsi sementara.
Purbaya menekankan pentingnya pengawasan agar bank menyalurkan dana ke sektor produktif, bukan ke instrumen aman yang steril. Namun, tantangan muncul karena bank cenderung mengutamakan keamanan modal dan meminimalkan risiko kredit macet. Tanpa insentif yang memadai atau regulasi yang jelas, bank bisa saja tetap menyalurkan dana ke kredit konsumtif yang lebih aman daripada kredit produktif yang berisiko lebih tinggi.