Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Purbaya dan Misi 6% : Bisakah Suntikan Moneter 200 Triliun Menggerakkan Ekonomi Nyata?

11 September 2025   23:34 Diperbarui: 12 September 2025   00:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

5. Inflasi dan Ketegangan Fiskal-Moneter

Langkah menyuntikkan Rp200 triliun ke bank-bank negara meningkatkan likuiditas secara signifikan di sistem perbankan, yang berpotensi menimbulkan tekanan inflasi. Jika likuiditas ini tersalurkan terlalu cepat ke sektor konsumsi atau sektor riil yang pasokannya terbatas, harga barang dan jasa bisa meningkat. Inflasi yang tinggi berisiko menurunkan daya beli masyarakat, sehingga efek positif dari kredit murah dan investasi produktif bisa tereduksi.

Selain itu, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat krusial. Jika Bank Indonesia menilai tekanan likuiditas terlalu tinggi dan menahan dana tambahan dengan instrumen penyerapan, maka tujuan Purbaya mendorong kredit produktif bisa terhambat. Di sisi lain, jika BI menahan likuiditas terlalu longgar, inflasi bisa melonjak, menciptakan dilema bagi pemerintah: mendorong pertumbuhan atau menjaga stabilitas harga.

Fenomena ini mencerminkan ketegangan alami antara fiskal dan moneter. Pemerintah ingin memacu pertumbuhan melalui stimulus fiskal, sementara bank sentral memiliki mandat menjaga stabilitas harga dan nilai tukar. Tanpa koordinasi yang jelas dan mekanisme komunikasi yang efektif, kebijakan yang tampak proaktif bisa kehilangan arah atau bahkan saling meniadakan efeknya.

Risiko lain muncul dari ketidaksiapan sektor produksi. Jika kredit mengalir ke usaha produktif tetapi pasokan barang dan jasa tidak mencukupi, tekanan harga bisa meningkat. Misalnya, sektor pangan dan energi, yang sensitivitas harganya tinggi, bisa mengalami lonjakan harga sementara konsumsi meningkat. Hal ini berpotensi memicu inflasi berbasis permintaan, yang lebih sulit dikendalikan.

Oleh karena itu, suntikan likuiditas harus diimbangi dengan strategi pengendalian inflasi, peningkatan kapasitas produksi, dan pemantauan distribusi kredit. Pemerintah dan BI perlu menetapkan mekanisme koordinasi yang jelas, termasuk target inflasi, rasio kredit produktif, dan pengawasan likuiditas, agar stimulus fiskal tidak menimbulkan konsekuensi negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.

Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan ini bukan hanya soal besarnya dana yang disuntikkan, tetapi juga kemampuan aparat pemerintah dan bank sentral dalam mengelola ketegangan fiskal-moneter agar likuiditas mengalir produktif tanpa memicu gejolak harga.

6. Arah Penyaluran: Konsumtif vs Produktif

Suntikan dana Rp200 triliun ke bank memang menambah kapasitas kredit, tetapi arah penyalurannya menjadi faktor penentu efektivitas. Jika dana hanya digunakan untuk konsumsi jangka pendek---misalnya kredit konsumtif rumah tangga atau pembelian barang non-produktif---efek terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan terbatas. Kredit konsumtif memang bisa meningkatkan daya beli sesaat, namun multiplier effect terhadap investasi, produksi, dan lapangan kerja relatif kecil dibandingkan kredit produktif.

Sebaliknya, apabila dana diarahkan ke kredit produktif, seperti pembiayaan UMKM, sektor industri manufaktur, energi terbarukan, infrastruktur kecil, dan pertanian, dampak terhadap perekonomian jauh lebih nyata. Kredit produktif meningkatkan kapasitas produksi, membuka lapangan kerja, dan menambah output nasional. Selain itu, kredit produktif berpotensi menciptakan efek berantai yang memperkuat basis ekonomi jangka menengah dan panjang, bukan sekadar menstimulasi konsumsi sementara.

Purbaya menekankan pentingnya pengawasan agar bank menyalurkan dana ke sektor produktif, bukan ke instrumen aman yang steril. Namun, tantangan muncul karena bank cenderung mengutamakan keamanan modal dan meminimalkan risiko kredit macet. Tanpa insentif yang memadai atau regulasi yang jelas, bank bisa saja tetap menyalurkan dana ke kredit konsumtif yang lebih aman daripada kredit produktif yang berisiko lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun