Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Purbaya dan Misi 6% : Bisakah Suntikan Moneter 200 Triliun Menggerakkan Ekonomi Nyata?

11 September 2025   23:34 Diperbarui: 12 September 2025   00:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Namun, mekanisme yang tampak sederhana ini menyimpan problem potensial. Ketersediaan dana tidak serta-merta menjamin penyaluran kredit meningkat, apalagi jika faktor risiko perbankan, permintaan kredit, dan kepercayaan dunia usaha tidak mendukung. Di sinilah titik kritis kebijakan ini: antara sekadar memindahkan angka di neraca dengan benar-benar menggerakkan roda perekonomian.

2. Potensi Dorongan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Suntikan dana sebesar Rp200 triliun ke bank-bank negara diyakini Purbaya bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi jika dana ini tersalurkan secara optimal. Logikanya sederhana: dengan likuiditas yang membengkak, bank memiliki kapasitas lebih besar untuk menyalurkan kredit, baik ke sektor usaha maupun rumah tangga. Kredit produktif ini bisa menurunkan biaya modal, mendorong investasi, dan memacu konsumsi, sehingga memberikan efek berantai terhadap perekonomian.

Dampak pertama terlihat pada efek likuiditas. Bank yang menerima suntikan memiliki kemampuan menambah penyaluran kredit tanpa harus mengandalkan dana masyarakat atau deposito. Ini memungkinkan pengembangan usaha kecil-menengah (UMKM), ekspansi perusahaan, dan pembiayaan proyek infrastruktur berskala kecil hingga menengah. Semakin banyak kredit produktif disalurkan, semakin besar pula potensi multiplier effect terhadap PDB.

Selain itu, suntikan dana juga berpotensi menurunkan suku bunga kredit. Dengan cost of fund yang lebih rendah, bank dapat menawarkan kredit lebih murah kepada pelaku usaha. Kredit murah ini bisa menstimulus investasi jangka pendek maupun menengah, termasuk pembelian mesin, bahan baku, dan modal kerja. Jika tingkat bunga kredit menurun, sektor riil lebih terdorong untuk memanfaatkan fasilitas pinjaman, bukan sekadar menahan dana sendiri.

Efek lanjutan yang diharapkan adalah peningkatan konsumsi. Kredit yang mengalir ke UMKM atau usaha padat karya akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong daya beli. Misalnya, pedagang kecil bisa menambah stok barang, produsen menambah kapasitas produksi, dan tenaga kerja memperoleh upah yang lebih tinggi. Akumulasi aktivitas ini pada akhirnya berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, potensi dorongan ini bukan otomatis. Keberhasilan kebijakan sangat tergantung pada permintaan kredit yang memadai, kesiapan sektor usaha, dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Jika dunia usaha tidak yakin terhadap prospek ekonomi, atau inflasi dan risiko lainnya tinggi, kredit tambahan bisa saja "diam" di bank tanpa memacu pertumbuhan nyata.

Secara teoritis, jika semua faktor mendukung---likuiditas tersalurkan optimal, kredit produktif meningkat, dan konsumsi membaik---suntikan dana ini bisa menjadi salah satu pendorong agar pertumbuhan ekonomi mendekati target 6%. Meski demikian, perlu diingat bahwa faktor struktural lain seperti efisiensi birokrasi, infrastruktur, dan daya saing industri tetap menjadi penentu keberhasilan jangka panjang.

3. Risiko Dana "Diam" di Sistem Perbankan

Meskipun suntikan Rp200 triliun dimaksudkan untuk mendorong kredit produktif, terdapat risiko nyata bahwa dana ini justru diam di bank dan tidak tersalur ke sektor riil. Bank, sebagai institusi yang selalu berhitung risiko, bisa memilih menahan dana ini sebagai cadangan likuiditas atau menempatkannya kembali di instrumen yang aman, termasuk deposito di Bank Indonesia atau Surat Utang Negara jangka pendek. Akibatnya, likuiditas bertambah secara nominal di sistem perbankan, tapi efek terhadap pertumbuhan ekonomi bisa minimal.

Fenomena serupa pernah terlihat pada kebijakan stimulus sebelumnya. Misalnya, pada periode pasca-krisis global 2008, bank-bank di beberapa negara cenderung menyimpan dana bailout atau stimulus di rekening cadangan alih-alih menyalurkan kredit ke sektor usaha karena ketidakpastian ekonomi dan risiko kredit tinggi. Di Indonesia, pengalaman sebelumnya juga menunjukkan bahwa kredit tambahan tidak selalu tersalurkan ke sektor produktif jika faktor permintaan, risiko, dan suku bunga tidak mendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun