Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Purbaya dan Misi 6% : Bisakah Suntikan Moneter 200 Triliun Menggerakkan Ekonomi Nyata?

11 September 2025   23:34 Diperbarui: 12 September 2025   00:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNBC Indonesia)

Purbaya dan Misi 6%: Bisakah Suntikan Moneter Menggerakkan Ekonomi Nyata?

Pendahuluan

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa optimistis kondisi ekonomi Indonesia ke depan akan lebih cerah dari saat ini. Menurutnya, tidak susah membawa pertumbuhan ekonomi ke level 6% dalam waktu 1-2 tahun.
"6% sampai 6,5% nggak susah-susah amat dalam waktu setahun, dua tahun," kata Purbaya dalam acara Great Lecture: Transformasi Ekonomi Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa di atas memantik diskusi serius tentang arah kebijakan moneter dan fiskal Indonesia. Optimisme itu tidak muncul di ruang kosong, melainkan berangkat dari langkah konkret pemerintah yang berencana mengalihkan sekitar Rp200 triliun dana kas negara yang selama ini "parkir" di Bank Indonesia, untuk kemudian disuntikkan ke bank-bank nasional. Logika sederhana yang dipakai: dengan memperbesar likuiditas perbankan, akses kredit bisa meningkat, bunga pinjaman bisa ditekan, dan pada akhirnya sektor riil akan terdorong lebih kuat.

Namun, kebijakan yang tampak progresif ini tidak bebas dari tanda tanya. Apakah sekadar menyalurkan dana dalam jumlah besar ke perbankan akan otomatis menggerakkan ekonomi? Bagaimana jaminannya agar dana ini benar-benar sampai ke sektor produktif, bukan sekadar mempertebal cadangan likuiditas bank? Lebih jauh, apa risiko yang bisa muncul ketika stimulus moneter semacam ini berjalan tanpa koordinasi ketat dengan kebijakan fiskal maupun pengendalian inflasi? Pertanyaan-pertanyaan itu penting, sebab sejarah kebijakan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa injeksi dana besar kerap tidak sebanding dengan output yang diharapkan.

Dengan latar tersebut, artikel ini mencoba mengupas secara kritis langkah Purbaya: dari sisi mekanisme moneter yang diharapkan, potensi manfaat untuk sektor riil, hingga tantangan besar yang bisa menjerat efektivitas kebijakan. Harapannya, kritik ini dapat memberi perspektif seimbang antara optimisme pemerintah dan realitas struktural ekonomi Indonesia.

1. Mekanisme Injeksi Dana ke Perbankan

Langkah Purbaya berangkat dari kondisi bahwa dana kas pemerintah dalam jumlah besar selama ini tersimpan di Bank Indonesia, tidak bergerak, dan pada dasarnya steril dari aktivitas ekonomi. Dari total sekitar Rp425 triliun yang mengendap, pemerintah memutuskan untuk mengalihkan Rp200 triliun ke sistem perbankan. Mekanisme yang dipilih adalah menyalurkan dana tersebut ke bank-bank negara agar likuiditas mereka membengkak, dengan harapan kapasitas pemberian kredit meningkat secara signifikan.

Secara teknis, suntikan dana ini bersifat "reallocation of idle funds", bukan utang baru atau tambahan defisit, sehingga tidak menambah beban fiskal. Pemerintah hanya memindahkan posisi kas dari BI ke bank umum. Perbedaannya, ketika dana berada di BI, pergerakannya sangat terbatas karena hanya tercatat sebagai saldo pemerintah. Sementara ketika berada di bank, dana itu bisa menjadi sumber likuiditas murah yang bisa diputar kembali dalam bentuk pinjaman ke sektor usaha maupun rumah tangga.

Purbaya menegaskan bahwa dana tersebut tidak untuk dibelikan Surat Utang Negara (SUN) atau instrumen moneter lain, melainkan diarahkan langsung untuk memperbesar basis kredit. Instruksi juga diberikan agar Bank Indonesia tidak serta merta menyerap kembali likuiditas tambahan ini melalui operasi pasar atau instrumen penyerapan lainnya. Artinya, injeksi dana ini memang dimaksudkan agar beredar di sistem perbankan, bukan kembali "terkunci" di instrumen keuangan negara.

Dengan cara ini, bank-bank diharapkan dapat menurunkan cost of fund, yakni biaya dana yang mereka keluarkan untuk menyalurkan kredit. Jika cost of fund turun, maka suku bunga pinjaman ke masyarakat bisa ditekan, membuka ruang lebih besar bagi ekspansi investasi maupun konsumsi produktif. Mekanisme ini mirip dengan kebijakan stimulus likuiditas yang lazim dilakukan di negara-negara lain, meski di Indonesia sifatnya masih lebih terbatas dan bergantung pada disiplin koordinasi fiskal-moneter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun