Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kerlip Kunang-Kunang di Cabean Kunti

28 Januari 2022   15:21 Diperbarui: 28 Januari 2022   15:30 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Picarts

Ditimur, rekahan warna oranye membentuk cahaya menerangi lengkung bukit. Matahari akan segera menguasai dunia. Mereka bergegas.

"Semoga Tarman belum pergi", desis Saritem.

Perjalanan yang cukup melelahkan bagi Murtiah. Ia merasakan beban hidupnya bertambah berat. Leleran keringat bertimbulan disekujur tubuh.

"Masih jauh, mbokdhe?"
"Kurang sedikit", jawab Saritem.

Murtiah merasa jawaban itu seperti cambuk "kelamin sapi" yang digunakan aparat untuk menyiksa pesakitan-agar dirinya kuat. Cambuk "Kelamin sapi" adalah alat dari karet ban panjang 60 cm berdiameter 5 cm. Bila tubuh disabet, akan membentuk guratan. Daya gempurnya membuat tubuh bergetar kejang hingga merembet ke ulu hati.

Selarik bau anyir darah menerobos  hidung. Hal itu mengendurkan langkah. Berhenti.
"Mbokdhe, apa....."
"Sssstttt....", Saritem mencengkeram tangan Murtiah. "Jangan lewat sini. Kita belok kiri saja. Ayo cepat!"

"Apakah letusan semalam adalah ini jawabannya?", batin Murtiah.
 
Bergegas keduanya meninggalkan titik pijakan. Baru beberapa meter melangkah bau busuk menyergap. Semakin maju kedepan bau itu semakin menyengat. Mereka menutup lubang hidung dengan ujung selendang. Kembali keduanya dibuat tersentak. Disebuah bentang menjorok, tumpukan mayat bergelimpangan berserak persis kapal karam. Kondisinya menerbitkan kegerian. Beberapa diantaranya masih baru, lainnya entah kapan. 

Belatung meloncat-loncat keluar dari luka yang menganga. Makhluk putih itu berpesta pora keluar masuk lubang. Warna kulit berwarna ungu hampir hitam menandakan kalau yang itu sudah mati beberapa hari yang lalu. Murtiah mual melihat pemandangan tersebut. Mengingatkan dirinya kala hampir berstatus almarhummah.

"Aku keliru, ternyata tempat ini malah dijadikan ladang pembantaian", lirih Saritem. Kembali ia menyeret Murtiah. Pagi yang mengerikan bagi perjalanan dua perempuan. Terseret-seret dengan membawa pikiran berkecamuk. Pengaruhnya sungguh buruk bagi stamina tubuh.

"Kapan sampainya, mbokdhe?"
"Jangan kau tanyakan itu lagi!", bentak Saritem, "Ikuti saja langkahku!"

Terang semakin benderang. Kabut telah hilang. Langkah mereka akhirnya sampai ditujuan. Pasar Ampel telah dihadapan. Terlihat hidup walau kurang begitu ramai. Saritem menitipkan dagangannya pada seseorang. Lalu bergegas menuju pol truk diikuti Murtiah. Yang dicari sedang mengawasi kuli memasukkan barang. Terjadilah pembicaraan diantara mereka. Lumayan lama. Ada hal yang mengganjal. Tapi ujungnya berakhir baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun