Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kerlip Kunang-Kunang di Cabean Kunti

28 Januari 2022   15:21 Diperbarui: 28 Januari 2022   15:30 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Picarts

Bila malam tiba, kondisi rumah Saritem gelap. Memang dibuat gelap pun seluruh rumah didesa Cabean Kunti. Tapi kunang-kunang membuat perbedaan. Cahayanya membekap penuh dipelosok desa. Ini sebuah keanehan. Itu dirasakan dan menjadi gunjingan penduduk Cabean Kunti.

"Tidak biasanya ada kunang-kunang sebanyak ini"
"Ini pertanda apa ya?"
"Apa ada hubungannya dengan Gestok?"
"Semoga desa kita terhindar dari pagebluk(bencana)"
Keheranan itu membumbung tinggi dari hari ke hari.

"Mbokdhe, kunang-kunangnya masuk kerumah", ucap Murtiah.
"Ssstttt...dibatin saja, nduk", saran Saritem-setengah berbisik.
Murtiah berdiam diri di sudut tergelap. Satu Kunang-kunang hinggap di hidung bangirnya. Lainnya betebaran melayang diberbagai benda.

"Kalau sudah mengantuk tidurlah", saran Saritem.
"Iya, mbokdhe"

Suara letusan meledak dikejauhan.  Disusul letusan lanjutan. Gemanya melengkung menabrak dinding tebing. Dua perempuan itu kaget. Lebih-lebih Murtiah.

"Apakah ada pembantaian lagi?", batin Murtiah. Ia kembali resah.

"Tenang, nduk. Mari kita berdoa pada Sang Pemilik Hidup". Tangan Saritem memegang pundak Murtiah.

Hening. Kunang-kunang masih bermanuver kiri kanan. Murtiah mengikuti kelincahan mereka. Ia sudah lelah berdoa. Ia ingin merebahkan diri.

"Sebelum fajar menyingsing, besuk kita harus sudah keluar dari rumah ini", lirih Saritem
"Kemana, mbokdhe?"
"Pasar Ampel. Aku nggowo polowijo meh tak dol(aku membawa palawija mau saya jual). Sekalian mengantarkan dirimu"
"Terus pripun, mbokdhe?"(selanjutnya bagaimana, mbokdhe)
"Mengko kowe tak titipke lik Tarman. Dewek e sopir truk. Biasane sesuk ngirim barang menyang Jakarta"(nanti kamu saya titipkan lik Tarman. Dia sopir truk. Biasanya besuk mengirim barang ke Jakarta), ujar Saritem, "Ojo nduwe pikiran nek aku kejem. Kuwi kabeh dinggo keselamatanmu. Lebih aman kowe lungo seko wilayah iki. Gusti Allah mesti nulung kowe"(jangan punya pikiran kalau saya kejam. Ini semua buat keselamatanmu. Lebih aman kamu pergi dari wilayah ini. Gusti Allah pasti menolong kamu).

Benar saja, sebelum fajar merekah kedua perempuan itu telah keluar rumah. Berjalan melewati bentang alam sayap Merbabu. Bertelanjang kaki dengan membawa tenggok(wadah dari anyaman bambu) di punggung masing-masing serta pakai caping, keduanya menerobos perkebunan, rerimbun bambu, pematang lahan, naik turun jalan  dibungkus kabut dingin. Saritem telah bertahun-tahun mengenal jalur ini. Dia cukup gesit walau umur sudah tidak lagi muda. Murtiah sedikit keteter mengikuti geraknya.
"Cepat sedikit!", tegas Saritem.

Murtiah kelelahan, "Istirahat sebentar, mbokdhe".
"Tidak! Paksa dirimu. Sebentar lagi sampai"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun