Tak ada bintang pun bulan. Benar-benar pekat, sepekat pikirannya. Gerimis memberi kontribusi menyegarkan kembali tubuhnya. Bergerak pelan diantara titik air yang jatuh dari kubah langit. Terangkat hingga level tegak kemudian melangkah sempoyongan.
Matanya tajam menyorot sekitaran.
"Aku harus segera keluar dari tempat ini", lirih Murtiah.
Langkah kaki dibuat selebar mungkin. Berharap tempat laknat itu semakin jauh ia tinggalkan. Kewaspadaanya dipompa. Jangan sampai bersirobok dengan seseorang, apalagi gerombolan.Â
Sesekali langkahnya berhenti untuk menstabilkan aliran napas. Dengan mengandalkan intuisi, Murtiah bergerak. Rintik hujan kian tebal, menjurus deras. Mulutnya ia buka lebar-lebar guna menampung tumpahan cairan langit. Sepercik asin sempat tercecap.Â
Murtiah tidak tahu, sudah berapa kilometer ia berjalan. Suara hatinya masih berdentam,"Jangan berhenti! Kamu belum aman". Peringatan yang hakiki.Â
Ia percaya dengan intuisi. Bahkan simboknya pernah bilang,"Suoro ati kuwi iso dinggo patokan"(suara hati itu bisa dijadikan pegangan). Namun, dirinya sudah lelah. Ia ingin istirahat. "Sedelok meneh, kowe entuk panggon sing aman"(sebentar lagi, dirimu dapat tempat yang aman)
Malam bertambah gelap. Tubuhnya lunglai. Didepannya hanya warna pekat. Seutas jalan yang akan menyambut hanyalah fatamorgana. Matanya berkeliaran, telinga menangkap gemericik air.
"Dimana sumbernya?"
Kaki kian goyah. Kelelahannya sudah mencapai titik nadir. Hanya ketakutan stimulus kekuatannya. Samar-samar bayangan hitam bertaburan dengan berbagai ukuran.Â
Pepohonan menjulang tinggi dibeberapa titik. Semak belukar beranakpinak mengelilingi lokasi dimana Murtiah tertatih.Â
Kecerobohannya membuat segala hal diterobos. Kulitnya perih disayat jelatang-jelatang berduri. Kakinya beberapa kali tersandung bebatuan.