Sore itu menjadi momentum terakhir melihat bapak. Tubuh bapak menghilang diseret dengan posisi kepala menggaruk tanah. Manusia-manusia itu merasa menang.
Seminggu setelahnya Murtiah mengalami nasib serupa. Dijemput tentara, di interogasi, dipaksa mengaku anggota Lekra(Lembaga Kebudayaan Rakyat). Bagaimana bisa? Awalnya Murtiah kenal dengan seorang guru tari.Â
Dari situlah ia berhubungan dengan guru tersebut yang ternyata anggota Lekra-anak organisahsi PKI. Padahal dirinya hanya ingin nguri-nguri budaya Jawa dengan cara ikut melatih bocah-bocah menari.
Masa itu kadang sentimen pribadi bisa dijadikan alasan buat menyingkirkan seseorang tanpa kesalahan atau bukti yang cukup.
Malam kian larut, hembusan udara dingin membuat tubuhnya menggigil. Suara binatang malam menambah suasana tambah mencekam.
Derak ranting serta dedaunan susul menyusul ditingkahi rintik hujan. Gadis tujuhbelas tahun itu berlindung dibawah pohon besar. Matanya semakin terbiasa dengan tempat itu. Beberapa ekor kunang-kunang berputar-putar, mencoba menemani kegelisahannya.Â
Perutnya lapar, tapi tak ada makanan. Akhirnya ia merayap pelan menuju kolam guna menyeruput air. Beberapa tegukan berhasil memenuhi lambung. Pohon  berbatang besar menjadi benteng kenyamanannya.Â
Tangannya mendekap kaki sebagai cara menghangatkan diri. Seekor kunang-kunang berputar-putar diatas kepala, diikuti lainnya.Â
Semakin bertambah banyak hingga tubuhnya bermandi cahaya. Indah sekali. Ia belum pernah melihat kunang-kunang sebanyak ini. Seperti sebuah pesta bagi dirinya. Sirna sudah kegelapan.
Menurut cerita simbok, kunang-kunang adalah perwujudan kuku mayat kaum pendosa. Murtiah tidak peduli. Kelelahannya menghanguskan segala aura ketakutan. Matanya meredup. Kepala ia sandarkan sampai lelap menyergap.
          ***
Suara kecipak memaksa Murtiah mengerjap. Jemarinya mengucek mata. Semilir dingin pagi menampar tubuhnya. Kokok ayam dikejauhan menjerit lantang berkali-kali. Pakaiannya masih lembab akibat siksaan kemarin. Beruntung daya tahan tubuhnya kuat, jadi tidak meriang.Â