"Sembunyilah ditempat ini. Kamu akan aman"
Segera saja Murtiah menuju titik paling terlindung. Sebuah kolam batu berlimpah air melintas di mata. Nafsunya bergejolak. Tergegas-gesa membuatnya limbung.Â
Ia membungkuk dengan dengkul menekan batu hitam, julurkan tangan untuk menangkup air, segera digelontorkan ke tenggorokan.Â
Ah, betapa segar. Dingin udara tidak ia gubris. Walau bibir serta tapak tangan mengeriput imbas cabikan hujan. Â
Murtiah disorientasi medan. "Ini daerah mana?"
Dipilihnya sebuah batu besar sebagai sandaran. Sekarang ia bisa bernapas lega. Batu besar ini mampu menyembunyikan tubuhnya. Diantara lelah, pikirannya mengembara pada peristiwa beberapa jam yang lalu. Bagaimana mungkin sesama insan Tuhan bisa melakukan pembantaian yang begitu mengerikan? ia lolos dari maut, Kuasa Illahi melindungi dirinya. Tapi tidak untuk bapaknya.Â
Ingatannya diguyur kembali oleh fragmen-fragmen mengerikan. Sore itu dibulan Oktober. Kegaduhan menderap menuju rumahnya. Teriakan menggelegar ditunggangi kata makian. Gerombolan dari desa sebelah membawa bermacam gaman(senjata) menampilkan keberingasan.
"Bunuh PKI!"
"Komunis bangsat"
"Diodel-odel wae!"(dicabik-cabik saja)
Hasutan-hasutan membahana dihalaman depan. Murtiah melihat bapaknya diseret oleh beberapa orang dengan kawalan tentara. Pukulan bertubi-tubi menghantam tubuh. Popor bedil mengunyah kepala bapak. Gebukan tongkat menghajar jidat.
"Kowe BTI to?!"(kamu BTI-Barisan Tani Indonesia-to), bentak mereka
"Dhedhe, pak. Kulo mboten BTI"(bukan pak. Saya bukan BTI), ucap bapak
"Kowe petani to?"(kamu petani to)
"Inggih leres kulo petani?"(iya betul saya petani), jawab bapak
"Lha yo, berarti kowe BTI!"(lha iya, berarti kamu BTI), sebuah pukulan menghujam mulut bapak. Darah mengucur deras, giginya rompal, cecerannya menghiasi tanah kami.
"Mboten pak. Kulo mboten dherek partai punopo organisasi. Saestu, sumpah pak"(tidak pak. Saya tidak ikut partai atau organisasi. Benar, sumpah pak), rintih bapak.
"Ngaku wae!". Orang-orang itu mengacungkan-acungkan senjata untuk mengintimidasi.
"Rasah ceringis! Angkut neng markas!"(tidak usah banyak bicara! Angkut ke markas)
Bapaknya menghiba-hiba agar jangan dibawa. Tapi tidak digubris.
Simbok mendekap adik yang menangis. Shock. Ketakutan sangat. Murtiah tidak mengerti dengan semua ini. Perlakuan biadab tersaji didepan mata. Bapaknya hanya petani lugu. Dia hanya pengagum Putra Sang Fajar-Soekarno. Sebuah surat kabar memuat gambar Soekarno, dan bapak menggunting kemudian ditempelkan di dinding gedhek ruang tamu.Â