"Nami kulo Murtiah. Menawi simbok sinten?"(nama saya Murtiah. Kalau simbok siapa)
"Uwong ndeso kene nyelok aku mbokdhe Saritem"(orang desa sini memanggil saya mbokdhe Saritem). Perempuan yang bernama Saritem itu masih dengan kesibukannya. Semua pakaian sudah dijemur.
"Kamu sungguh berani semalaman di Sumur Pitu. Padahal tempat itu wingit(penuh makhluk astral). Orang sini jarang yang berani sendirian kesana", kata Saritem.
"Memangnya kenapa, mbokdhe?", tanya Murtiah
"Tempat itu sudah ada sebelum mbokdhe lahir. Banyak jin peri perayangan mendiami tempat itu. Melihat bentuknya, merupakan peninggalan jaman dinasti terdahulu. Entah di era siapa, mbokdhe tidak tahu. Fungsinya untuk mengasingkan diri/bertapa. Disitu ada tujuh sendang/sumur", kata Saritem, "Bagaimana kamu bisa kesana, nduk?"
Dari bibir Murtiah keluarlah narasi tentang sebab ia di sendang/sumur Pitu.
"Kamu harus secepatnya keluar dari desa ini", saran Saritem, "Aku ora iso njamin kowe aman neng omah kene"(saya tidak bisa menjamin dirimu aman di rumah ini)
"Kalau saya kembali ke Sendang Pitu bagaimana, mbokdhe?", tanya Murtiah
"Sampai berapa lama? Seminggu? Sebulan? Setahun? Walaupun tempat itu jarang didatangi orang, tapi suatu ketika kamu akan ketahuan"
Suara-suara alam mengiringi perbincangan antara dua perempuan itu. Desau angin November turun dari gunung Merbabu meliuk menyapa penghuninya diseantero lembah. Matahari mengejan, memberi kehangatan buat makhluk Tuhan.
Desa Cabean Kunti telah tiga hari menyembunyikan seorang perempuan dari tragedi pembantaian. Terletak di ketinggian 750 mdpl menjadikan desa itu lumayan terpencil.
"Kota ini sedang membersihkan diri. Siapa saja bisa apes. Tuhan masih melindungimu, nduk"