Dari balik pohon ia melihat seorang wanita baya-seusia simboknya-mencuci beberapa helai pakaian. Ditingkahi dedaunan yang jatuh dari ranting, Murtiah mengedarkan matanya menyoroti lokasi.
"Nek ijek ngantuk turu neng omah mbokdhe wae, nduk"(kalau masih mengantuk tidur di rumah mbokdhe saja, nduk)
Murtiah kaget, keberadaan dirinya telah diketahui, "Metuo, nduk. Neng kene aman. rasah wedi"(keluarlah, nduk. Disini aman. Tidak usah takut)
Perasaan was-was belum hilang. Tapi ajakan itu sungguh sangat bersahabat. Murtiah keluar berparas pucat.
"Adusso sisan neng sendang kene, nduk. Klambine wes tak cepakke"(mandilah sekalian di sendang sini, nduk. Bajunya sudah saya sediakan), ujar perempuan tersebut-masih mengucek.
"Klambimu tak kumbahe sisan ben resik"(bajumu saya cuci sekalian biar bersih), sambungnya,"Rasah suwe-suwe, ben ora konangan uwong. Ayo cepet"(jangan lama-lama, biar tidak ketahuan orang. Ayo lekas)
Murtiah segera melucuti bajunya. Tubuh telanjangnya menyisakan aroma busuk. Segera saja ia membersihkan diri. Air meluluhlantakkan kotoran dari kepala hingga kaki. Ia gosok sampai kesat. Rasa perih masih muncul di beberapa bagian tubuh. Pakaian pengganti tersemat membungkus raga, dirinya merasa enak.
"Ayo neng omahe mbokdhe. Lewat kene"(ayo ke rumah mbokdhe. Lewat sini), ajak perempuan itu.
Lewat kontur tanah yang naik turun akhirnya langkah kaki menemukan gubuk sederhana. Kesan terasing tertangkap. Dengan rumah tetangga terdekat berjarak 200 meter. Berpagar hidup berupa tanaman teh sehingga perlu sedikit tenaga untuk menjangkaunya.
"Lungguh wo sing penak. Tak jikukke sarapan"(duduklah yang nyaman. Saya ambilkan makanan)
Ini yang diharapkan Murtiah. Dari kemarin dirinya keroncongan sampai cacing diperut berteriak menyayat. Sepiring nasi jagung bertabur trancam dengan tempe goreng terhidang. Segera saja dilahap. Sungguh nikmat. Segelas teh panas manis menyudahi kelaparan. Mulutnya di elap dengan punggung tangan. Murtiah sudah bisa tenang. Ia merasa bertenaga.
"Jenengmu sopo? Kowe seko ngendi?"(namamu siapa? Kamu dari mana?), tanya perempuan baya itu. Mulut Murtiah mengunci. Peristiwa pembantaian kemarin belum seratus persen membuat dirinya berani berterus terang.
"Ora perlu mbok jawab, nduk"(tidak perlu kamu jawab, nduk), ujarnya,"berdiamlah disini sampai kamu merasa kuat"
Murtiah menatap perempuan itu. Wajah dihadapannya penuh guratan kelabu, mirip jurang-jurang dilereng Merbabu.