Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Geheim

7 Mei 2019   07:02 Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kihyun merintih kesakitan setelah sikut Nara tak sengaja menyodok ulu hatinya, kala mereka tengah berjalan keluar gedung sekolah. Nara panik luar biasa dan hampir menariknya kembali masuk gedung sekolah untuk berobat ke klinik.
"Nggak usah ke klinik, lah. Cuma kaget doang, kok.", tolak Kihyun, masih dengan sedikit ringisan. "Emangnya ada apa sih, sampai nyikutnya heboh gitu?"
"Itu, di tempat parkir.", telunjuk Nara mengarah pada seorang gadis yang tengah sibuk memainkan ponselnya sambil menyandar pada mobil, "Mirip Kak Aran, ya?"
Kihyun memicing, kemudian berdecak. "Itu emang Kak Aran, gimana sih."
Wajah Nara langsung sumringah. Ia berlari meninggalkan Kihyun dan menghampiri Aran. Aran juga langsung sumringah dan mereka berpelukan sambil melompat-lompat kecil. Kihyun berjalan menghampiri mereka sambil menggelengkan kepala.
"Kak, inget umur, dong. Masa lompat-lompat gitu? Kalo Nara sih, masih pantes.", ujar Kihyun. Aran hanya mendecak sebal.
"Kak Aran lagi ada acara di sini?", tanya Nara.
Aran menggeleng, "Waktu minggu kemarin kamu ke kantor kan, akunya malah sibuk. Jadi, sekarang aku bakal nginep di rumah kamu, terus besok aku mau ajak kamu jalan-jalan."
Nara bersorak girang dan menepuk-nepuk tangannya. "Ya udah, ayo sekarang kita langsung ke rumah!", seru Nara sambil menggoyang-goyang lengan Aran. Setelah Aran membuka kunci mobil, Nara segera naik di bangku depan, disusul Aran di bangku supir. Sementara Kihyun masih berdiri di tempatnya. Bingung apakah ia harus ikut masuk atau lebih baik ia naik bus sendiri, karena ia sudah yakin ia akan diabaikan.
Aran menurunkan jendela dan menyembulkan kepalanya, "Yeh, ini bocah malah bengong. Masuk, cepet!"
Dengan satu helaan nafas, Kihyun pun membuka pintu belakang dan segera menyamankan posisi duduknya.
Sesuai dugaannya, Kihyun sekarang benar-benar terabaikan. Kedua gadis di depannya terus mengoceh tanpa henti, mengobrolkan grup penyanyi yang terbentuk dari acara survival dan baru memulai debutnya minggu lalu---ah, pokoknya Kihyun tidak mengerti. Kihyun memejamkan mata dan mencoba untuk tidur, namun sedetik kemudian ia membelalakkan matanya lagi karena suara tawa Aran yang menggelegar. Earphone pun ia pasang hingga benar-benar menutupi lubang telinga dan ia putar musik dengan volume sekeras mungkin.
"Ah, nyesel nggak naik bus.", gerutu Kihyun dalam hati.
**
Sesuai janjinya, Aran mengajak Nara pergi ke akuarium raksasa yang berada di Ilsan keesokan harinya. Acara jalan-jalan berdua yang sudah mereka rencanakan sejak malam sebelumya gagal total, karena Kihyun dan Taeil sekarang berjalan tepat di belakang mereka. Kihyun tentu saja sedang menjalankan tugasnya untuk menjaga Nara, sementara Taeil hanya ingin mengganti hiburan yang harusnya ia dapatkan tadi malam. Ia tak jadi menonton film favoritnya di televisi lantaran terganggu oleh jeritan tanpa henti seorang gadis-remaja dan seorang gadis-dewasa karena menonton grup penyanyi favorit mereka di internet.
Seusai membeli tiket, Nara dan Aran berlari masuk ke akuarium raksasa itu sambil bergandengan tangan. Mereka mencari celah jalan yang kosong dan menyusul orang-orang yang hendak masuk juga, sehingga Taeil dan Kihyun tertinggal di belakang.
Taeil berdecak, "Ah, kenapa mereka buru-buru banget, sih? Ikan-ikannya juga nggak bakal kabur ke laut lagi.", gerutunya. Taeil ingin menyusul Nara dan Aran, namun ia sadar diri kalau badannya tidak semungil mereka, sehingga pasti akan susah untuk menyempil di antara orang-orang. Dengan terpaksa Taeil pun menyabarkan diri dengan berjalan mengikuti kerumunan orang. Setelah orang-orang masuk, kerumunan mulai merenggang, Taeil mempercepat langkahnya, disusul oleh Kihyun.
Untunglah, Nara dan Aran belum pergi terlalu jauh dari pintu masuk. Mereka masih berada di lorong yang terbuat dari kaca, yang menampakkan ikan-ikan yang berenang mengelilingi mereka. Kedua gadis itu sedang sibuk berfoto dengan dua ekor ikan pari yang menempel di permukaan kaca. Nara melambaikan tangannya pada Taeil sesaat ia melihat ayahnya masuk.
"Kok ayah lama, sih? Kita capek nungguin, nih.", keluh Nara. Detik berikutnya, kepala Nara sudah terjepit di ketiak Taeil.
"Capek? Emangnya ayah sama Kihyun nggak capek ngejar kalian?"
"Eh-eh iya ayaaaah! Ampuuun! Lepasin ih!". Sekuat tenaga Nara memukul dada Taeil hingga kepalanya terlepas. "Jahat ih!". Nara menjulurkan lidahnya dan menyeret Aran pergi ke ruangan lain. Taeil terkekeh lalu melirik Kihyun yang tersenyum menatap Nara, membuat Taeil tersenyum tipis dan segera merangkulnya.
"Sini, kamu jadi anak paman dulu. Anak yang asli malah kabur sama kakak barunya.", celetuk Taeil. Keduanya tertawa dan berjalan menyusul dua gadis itu.
Taeil dan Kihyun masuk ke sebuah ruang pertunjukan. Rupanya, Nara dan Aran sudah duduk duluan di sana. Nara melambaikan tangan dan menepuk kursi di sebelahnya.
"Bentar lagi ada pertunjukan puteri duyung!", beri tahu Nara pada Taeil. Meskipun Nara berkata tepat di telinga Taeil, ia masih harus berteriak karena suasana ruangan yang sangat ramai. Tetapi sepertinya Nara teriak terlalu kencang, karena sekarang telinga Taeil berdengung sebelah. Taeil hanya merespon dengan anggukan sambil menggosok-gosok telinga kanannya.
Pertunjukan dimulai lima menit kemudian. Dimulai dengan empat wanita yang berpakaian seperti puteri duyung menari-nari di dalam akuarium besar. Mereka meliuk-liuk layaknya ikan sungguhan. Nara sampai terus-terusan menganga karena takjub.
"Ngapain nganga kayak gitu? Mau puteri duyungnya kesedot ke mulut kamu?", cibir Taeil yang membuat Nara langsung merengut.
Tiba di tengah pertunjukan, Nara merasakan perutnya tidak bisa berkompromi dengan pertunjukkan yang mulai memasuki puncaknya.
"Kak, temenin ke kamar mandi, yuk?", pinta Nara. Aran mengangguk dan menggandeng tangan Nara untuk menuntunnya keluar.
"Heh, mau ke mana?", panggil Taeil.
"Kamar mandi, Yah. Bentar kok."
**
Sudah hampir setengah jam Nara dan Aran belum kembali dari kamar mandi. Karena wanita biasanya selalu berlama-lama di kamar mandi untuk membenahi dandanannya, Taeil awalnya berpikiran begitu juga. Namun lama kelamaan, ada perasaan tidak enak dalam hatinya.
Taeil menyikut Kihyun yang masih fokus menonton pertunjukan, "Kamar mandi letaknya di mana, sih?"
"Deket, paman. Dari sini belok kiri, terus belok kanan, udah sampai kamar mandi."
"Paman mau nyusulin mereka dulu, ya. Kamu mau ikut atau masih mau nonton?"
"Ikut aja deh, paman. Sekalian mau ke kamar mandi juga.". Mereka pun bangkit dan keluar dari ruangan itu menuju kamar mandi.
Sekumpulan wanita berkerubung di depan pintu masuk kamar mandi wanita. Terdengar beberapa protes yang dilontarkan mereka.
"Bu, kenapa pada ngumpul-ngumpul gini, ya?", tanya Taeil pada seorang wanita yang menggendong bayi.
"Pintu kamar mandinya dikunci, pak. Terus, kuncinya hilang. Kunci cadangannya juga hilang waktu satpam mau ambil di pos.", jelas wanita itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Taeil dan Kihyun mencoba menerobos kerumunan tersebut. Taeil berjongkok untuk mengintip di lubang kunci, tapi sialnya lubang kunci itu seperti tertutup oleh sesuatu dari dalam.
"Ini nggak beres.", gumam Taeil. Kihyun yang mengerti situasi langsung menyuruh sekumpulan wanita itu untuk bubar dan memberi tahu agar mencari kamar mandi yang lain. Setelah kerumunan itu bubar, Kihyun bergerak mundur sebentar, lalu ia menabrakkan badannya ke pintu hingga akhirnya terdobrak.
"Astaga!", pekik Kihyun melihat Aran yang tergeletak begitu saja di bawah wastafel. Ia segera memeriksa saluran nafas dan denyut nadinya. Setelah meyakini Aran masih hidup, ia mengangkat tubuh Aran dan menyenderkannya ke dinding.
Mata Taeil jelalatan mencari sosok Nara dan mendobrak satu persatu bilik kamar mandi. Di bilik terakhir, bukannya mendapati sosok Nara, ia menemukan tas kecil Nara yang tergeletak di atas kloset. Di dalamnya, terdapat selembar kertas yang membuatnya naik pitam seketika. Ia menenteng tas Nara dan keluar menghampiri Kihyun yang masih sibuk mencoba menyadarkan Aran.
"Kita harus ke kantor sekarang."
Kihyun mengernyit, "Nara dima---"
"Mereka berhasil dapetin Nara. Dan kita,", Taeil menunjukkan kertas yang ia temukan, "cuma punya waktu 24 jam buat nemuin Nara.". Nafas Kihyun tercekat. Taeil merangkulkan tangan Aran di pundaknya, diikuti Kihyun dengan tangan Aran yang satunya. Secara perlahan mereka mengangkat tubuh Aran dan pergi menuju mobil.

Enam Belas

Nara terbangun dengan rasa sakit menyelimuti tubuhnya. Ia terkejut kala menyadari dirinya terbangun di sebuah ruangan yang minim pencahayaan. Di sekitarnya terdapat peti kemas yang berisi buah-buahan. Nara mencoba bangun, namun tangan dan kakinya diikat oleh tambang.
Nara tidak tahu mengapa ia bisa berada di sini. Hal terakhir yang ia ingat, ia tengah mencuci tangan di wastafel kamar mandi akuarium raksasa bersama Aran. Saat hendak keluar, seseorang membekap mulut Nara dengan kain yang baunya menyengat. Samar-samar ia melihat tengkuk Aran dipukul oleh seorang pria hingga ia terjatuh, dan setelahnya pandangan Nara gelap.
Sekuat tenaga Nara menyeret tubuhnya mendekati satu-satunya celah tempat cahaya masuk dan mengintip keluar. Ia melihat banyak kontainer di sekeliling tempat itu. Seketika Nara langsung tahu ia berada di sebuah pelabuhan, karena ia pernah melihatnya di serial drama yang diperankan Park Hyungsik, aktor favoritnya. Dalam drama tersebut, kontainer itu digunakan untuk menyelundupkan buronan yang hendak kabur ke Cina menggunakan kapal laut.
Mengingat itu, Nara panik setengah mati. Bagaimana kalau ia di sini untuk diselundupkan ke luar negeri juga?
Nara mencoba untuk memanggil seseorang dan meminta pertolongan. Ia menggedor-gedor dinding besi ruangan itu dengan bahunya hingga terasa nyeri. Selang beberapa menit, pintu terbuka dan menampilkan sesosok pria.
"Kamu udah sadar, Kim Nara?", tanya pria itu. Sosok pria itu sangat tidak asing bagi Nara. Penampilannya tidak begitu berbeda seperti yang sering Nara lihat sebelumnya. Hanya sekarang ia tidak memakai kacamata dan tangannya bukan menenteng buku paket matematika, melainkan selilit rantai.
"Kamu mau makan sesuatu?", tawar Daesuk, masih dengan senyuman lebar yang sering ia pasang bila berpapasan dengan Nara di sekolah. Bukan senyuman yang membuat Nara ikut tersenyum, tetapi malah membuatnya ketakutan.
"Loh, kok kamu malah nangis?", Daesuk perlahan menghampirinya saat Nara mulai sesegukan. Ia berjongkok di depan Nara. "Kamu ingin sesuatu?"
"A-aku mau pulang... tolong lepasin aku...", Nara berkata lirih.
"Pulang?". Daesuk mendengus. "Kamu bakal pulang kalo ayah kamu berhasil ngejemput kamu. Kalo sampai besok dia nggak berhasil ngejemput kamu...", wajah Daesuk mendekat dan seringai lebar teukir di wajahnya, "...selamanya kamu nggak bakal bisa pulang."
Isakan Nara semakin kencang. Badannya bergetar hebat, seakan-akan bisa merontokkan seluruh helai rambutnya. Tangan kotor Daesuk bergerak mengangkat wajah Nara.
"Astaga, kamu mirip sekali sama ibumu.", ucapnya. Ia berdiri dan berjalan sedikit menjauh. "Kita lihat dalam beberapa jam ke depan, apa nasibmu juga sama buruknya kayak dia atau nggak. Aku harap sih, nasib kalian juga sama.". Setelah itu, ia tertawa. Tawanya sangat kencang dan menggema ke seluruh ruangan, membuat tangisan Nara semakin kencang. Seketika Daesuk menghentikan tawanya dan menatap Nara tajam.
"DIAM!", bentaknya. Rantai yang sedari tadi ia genggam terlempar mengenai dinding besi, membuat suara yang begitu nyaring. Sekuat tenaga Nara mengulum bibir untuk menahan isakannya. Daesuk berjalan memungut rantainya. "Sekarang, rantai ini cuma kena dinding. Beberapa jam ke depan, rantai ini bisa ngelilit di leher kamu. Ah, tapi bukannya bagus kalo gitu, ya? Leher kamu jenjang, cocok kalo dipakein kalung.". Lagi-lagi Daesuk tertawa. Kemudian ia berjalan menuju pintu dan keluar, lalu pintu menutup dengan rapat. Tangisan Nara kembali pecah.
"A-ayah... tolongin Nara..."
**
Cahaya matahari yang masuk melalui celah kecil itu sudah tiada, menandakan hari sudah semakin malam. Nara berjengit dari duduknya saat pintu ruangan terbuka dengan keras. Daesuk memasuki ruangan itu bersama dengan seorang pria berbadan besar yang membawa tongkat baseball. Daesuk berjongkok di depan Nara lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan sebuah nomor. Ia sodorkan ponsel itu tepat di depan wajah Nara.
"Aku kasih waktu lima belas detik.", ucap Daesuk.
Detik-detik awal hanya terdengar sambungan telepon, hingga akhirnya terdengar suara seorang pria.
"Maumu apa, Lee Daesuk?", tanya pria itu. Dada Nara sesak saat mengetahui siapa pria yang Daesuk hubungi.
"Ayah!", panggil Nara.
"Nara? Di mana kamu sekarang, nak?"
"To-tolongin Nara, ayah... Nara takut..."
"Ayah pasti nolongin kamu, sayang. Kasih tahu posisi kamu, di mana kamu sekarang?"
Rasanya tidak mungkin kalau Nara langsung menyebutkan ia sedang berada di pelabuhan. Ia takut tiga pria di depannya ini akan langsung membunuhnya begitu ia memberi tahu Taeil. Nara memutar otaknya secepat mungkin, mencari cara bagaimana ia memberi kode pada Taeil tanpa tiga pria itu sadari. Sebuah bohlam seakan muncul di atas kepala Nara.
"Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir!"
Tepat setelah Nara berseru, Daesuk menjauhkan ponsel itu.
"Apa? Halo, Na---"
"Kau pasti ingin tetap mendengar suaranya dan melihat wajahnya, kan? Temukanlah ia secepatnya kalau kau ingin ia bernasib lebih baik dari Yumi.", tantang Daesuk.
"Jangan main-main denganku. Jika aku yang kau inginkan, tidak usah melibatkan orang lain."
Daesuk tertawa sinis, "Hidup adalah sebuah permainan, Kim Taeil. Permainan yang harus melibatkan banyak orang."
"Jangan berani macam-macam padanya! Kalau aku menemukan satu luka pada tubuhnya, nyawamu akan kuhabisi."
Daesuk mendengus kasar. Ia merebut tongkat baseball dari tangan si pria besar. Ponselnya ia jepit di antara telinga dan bahunya. Ia memungut kaleng soda bekas yang berada di dekat kakinya. "Maksudmu, seperti ini?". Ia melempar kaleng ke atas dan memukulnya dengan tongkat, hingga kaleng itu terlempar dengan keras tepat di samping Nara. Nara menjerit ketakutan dan menangis tersedu-sedu.
"Waktumu tinggal tiga belas jam lagi. Kuharap kau datang tepat waktu, karena aku sangat membenci orang yang datang terlambat.". Daesuk memutus sambungan begitu saja dan menaruh ponselnya di saku. Ia kembalikan tongkat baseball pada pria besar itu.
"Pukul saja sekeras mungkin kalau dia berbuat hal yang macam-macam.", titah Daesuk. Pria itu mengangguk. Daesuk menoleh pada Nara dan menyeringai, "Tidurlah. Jangan lupa berdoa, semoga kamu masih bisa lihat matahari besok.", ucapnya diakhiri dengan kekehan, lalu pergi meninggalkan Nara dan pria besar itu.

Tujuh Belas

Otak Taeil benar-benar kacau sekarang. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit mendoakan keselamatan Nara, namun ia selingi dengan umpatan pada Daesuk. Kalau saja situasinya sedang tidak semenegangkan ini, Wooseok pasti sudah menyebutnya 'orang gila' yang sedikit-sedikit berdoa, sedikit-sedikit mengumpat. Tetapi tanpa Wooseok beri tahu pun, Taeil mengakui dirinya memang gila sekarang, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan Nara dan membunuh Daesuk.
Aran sudah sadar, meskipun tubuhnya masih terkulai lemas di sofa ruang timnya. Badannya terus menggigil ketakutan, meskipun Hayeol sudah menyelimutinya dengan lima lapis selimut tebal. Wooseok dan Kihyun sibuk melacak keberadaan Daesuk. Awalnya, mereka melacak nomor-nomor telepon yang pernah Daesuk gunakan untuk menelepon Taeil. Sialnya, nomor-nomor itu sudah tidak aktif. Mereka mulai menganalisa kertas yang ditinggalkan Daesuk di tas kecil Nara.
"Nggak ada yang aneh dari kertas ini, kalo kata aku.", ujar Wooseok. "Kertasnya dirobek dari sketch book, ditulis pake spidol papan tulis permanen warna merah, tulisannya cuma '24 jam dari sekarang, permainan dimulai'."
"Petunjuk-petunjuk besar terdiri dari petunjuk-petunjuk kecil, kak. Pasti ada sesuatu di kertas ini.", sanggah Kihyun.
"Bisa aja dia cuma ninggalin bukti palsu, kan? Bisa aja itu cuma pengecoh dan pengalih perhatian dari bukti yang sebenernya."
"Mereka emang mau main-main sama kita dulu, kak. Lihat tulisannya, 'permainan dimulai'. Dia ingin tahu apa kita bisa nemuin Nara sebelum waktunya habis. Pasti dia ninggalin suatu petunjuk."
"Yang harus kamu inget, Daesuk sama pintarnya sama kita. Dia juga udah bisa prediksi kalo kita bakal ngira kertas itu satu-satunya petunjuk."
Tangan kanan Kihyun mengusap-usap lututnya, sementara tangan kirinya membolak-balik kertas itu berkali-kali. Matanya menyapu setiap milimeter kertas itu. Kihyun masih yakin ada sesuatu yang tersembunyi dari kertas itu, namun sebagian kecil hatinya mulai terpengaruh ucapan Wooseok. Pergelangan tangan kirinya yang masih memegang kertas kini bergerak hendak menggosok matanya yang gatal.
"Ya, kayaknya kakak---", Kihyun seketika membeku kala kertas kecil itu menyentuh cuping hidungnya. Rasa gatal di matanya hilang seketika. Dengan cepat Kihyun mengendus kertas itu, membuat Wooseok bergidik.
"Ngapain sih, kamu?", tanyanya heran. Kihyun mengendus kertas itu agak lama sebelum ia menatap Wooseok tajam.
"Aroma laut."
Wooseok merebut kertas itu dan ikut mengendusnya. Indra penciumannya samar-samar menangkap bau asin dari angin laut dan sedikit amis ikan. Kepalanya mendongak perlahan dan mengangguk. Wooseok beranjak dari kursi dan menghampiri Taeil yang masih berjalan mondar-mandir di ruangan sejak satu jam yang lalu.
"Ada aroma asin dan amis di kertas ini, kak.". Seketika Taeil menghentikan langkahnya, merebut kertas itu dan mengendusnya.
Detik berikutnya, ponsel Taeil berbunyi. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
"Lacak sinyalnya.", titah Taeil pada Kihyun. Wooseok, Hayeol dan Aran langsung memusatkan fokusnya pada ponsel Taeil. Ia mengangkat telepon itu dan mengaktifkan mode loudspeaker, lalu meletakkan ponselnya di meja.
"Maumu apa, Lee Daesuk?", tanya Taeil.
"Ayah!". Rasanya Taeil hampir menangis kala mendengar suara gadis kecilnya.
"Nara? Di mana kamu sekarang, nak?"
"To-tolongin Nara, ayah... Nara takut..."
"Ayah pasti nolongin kamu, sayang. Kasih tahu posisi kamu, di mana kamu sekarang?"
Terjadi keheningan selama tiga detik. Taeil kira sambungannya terputus, namun kemudian Nara berseru, "Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir!"
"Apa? Halo, Na---"
"Kau pasti ingin tetap mendengar suaranya dan melihat wajahnya, kan? Temukanlah ia secepatnya kalau kau ingin ia bernasib lebih baik dari Yumi."
Rahang Taeil mengeras dan tangannya mengepal. "Jangan main-main denganku. Jika aku yang kau inginkan, tidak usah melibatkan orang lain."
Daesuk tertawa sinis, "Hidup adalah sebuah permainan, Kim Taeil. Permainan yang harus melibatkan banyak orang."
Gebrakan meja yang disebabkan Taeil membuat semua orang berjengit. "Jangan berani macam-macam padanya! Kalau aku menemukan satu luka pada tubuhnya, nyawamu akan kuhabisi."
Terdengar dengusan dari seberang telepon, kemudian hening sekejap sebelum Daesuk bertanya, "Maksudmu, seperti ini?". Detik berikutnya, terdengar suara benda yang dibanting bersamaan dengan jeritan Nara. "Waktumu tinggal tiga belas jam lagi. Kuharap kau datang tepat waktu, karena aku sangat membenci orang yang datang terlambat.", lanjutnya, kemudian sambungan terputus.
Taeil menghela nafas kasar dan menendang tas yang berada di dekat kakinya hingga terbentur ke tembok. Wooseok hanya meringis menatap isi tasnya yang sudah berserakan. Ini menjadi pelajaran untuknya agar jangan menyimpan tas di sembarang tempat kalau tidak mau menjadi sasaran kemarahan orang.
"Udah ketemu?"
Kihyun yang tengah sibuk mengotak-atik komputer menggeleng. "Lagi diproses, paman. Udah jalan dua puluh persen."
"Nggak bisa dipercepat?", tanya Taeil tak sabar. "Waktu yang kita punya tinggal sedikit."
"Ini lagi aku coba.". Lagi-lagi Taeil berjalan mondar-mandir.
Aran yang sedari tadi terbaring di sofa perlahan bangun. Matanya menerawang langit-langit, sementara mulutnya menggumamkan sesuatu tak jelas. Wooseok sudah berpikir Aran kesurupan, hingga ia buka suara. "Tadi, kalimat terakhir Nara apa? Strong Woman Do Bongsoon?", tanyanya.
Taeil mengangguk, "Katanya, 'Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir'."
"Episode lima belas... menit-menit terakhir...", Aran mencoba mengingat-ingat. "Di bagian itu, Do Bongsoon berhasil nangkep Kim Janghyun, penculik berantai, di pelabuhan. Tepatnya, di bagian kontainer."
Taeil menghentikan langkahnya dan menoleh, "Pelabuhan? Kontainer?". Aran mengangguk. Taeil menatap kertas beraroma laut yang sejak tadi ia remas. Tepat saat itu juga, bunyi bip-bip terdengar dari komputer.
"Pelabuhan Incheon, kontainer nomor 1487, milik PT. Sungkwang.", jelas Kihyun.
Segera Taeil mengambil kunci mobil dan jaketnya. "Kihyun, ikut aku. Wooseok, tetap pantau keberadaan mereka dan segera kasih tahu aku kalau ada pergerakan dari sana. Hayeol jaga Aran, kalian jangan pergi ke mana-mana. Panggil anggota Divisi Keamanan kalo ada sesuatu. Aku bakal hubungi kalian setelah sampai di sana dan segera kirim pasukan."

Delapan Belas

Pedal rem Kihyun injak sepenuhnya menyebabkan badan mereka tersentak ke depan. Kalau saja keadaan tidak sedang genting, Taeil pasti akan memarahinya karena membuat kepalanya terantuk dashboard mobil. Seraya mengusap-usap keningnya, Taeil buru-buru keluar dari mobil dan berjalan menuju gerbang pelabuhan. Kihyun menyusulnya setelah menyimpan pistol di balik jaket dan membawa beberapa peluru cadangan.
Dengan lincah mata Taeil menyapu setiap kontainer hingga akhirnya menemukan nomor yang tepat sepuluh meter di depannya. Langkahnya langsung terhenti ketika melihat tiga orang pria berbadan besar yang berdiri di dekat pintu kontainer. Taeil menoleh pada Kihyun dan memberi isyarat untuk mengikutinya menuju bagian belakang kontainer.
"Aku bakal pancing mereka biar paman bisa menyelinap masuk.", kata Kihyun. Taeil terdiam sesaat, lalu mengangguk.
"Hati-hati."
Kihyun mengangguk, "Paman juga."
**
Kihyun berjalan santai menghampiri mereka. Salah satu pria itu memicing ke arahnya tajam dengan sikunya yang sibuk menyodok pinggang pria lain dan dagunya menunjuk ke arah Kihyun.
"Permisi, paman-paman yang tampan.", sapa Kihyun sambil tersenyum. "Aku ingin bertemu dengan temanku."
"Tidak ada temanmu di sini. Cepat pergi!"
Kihyun terkekeh, "Ada, paman. Namanya Kim Nara, usianya tujuh belas tahun. Kemarin dia dipaksa dibawa ke sini."
"Ah, ternyata bocah ingusan ini salah satu dari mereka.", pria dengan tato bulan di pelipisnya berkata dengan nada yang meremehkan. "Jika kamu ingin bertemu dengan temanmu, kamu harus membayar dengan nyawamu."
"Dengan senang hati.", ucap Kihyun, masih dengan senyuman lebar terpampang di wajahnya.
Kemudian, satu persatu pria itu mulai menyerang Kihyun. Dengan mudahnya Kihyun menghindari serangan mereka dan menyerang balik hingga ketiga pria itu jatuh tersungkur. Seakan tak mengenal kata menyerah, satu persatu pria itu bangkit lagi dan kembali menyerang.
Bahkan ada yang sempat membawa kayu untuk dipukulkan pada Kihyun. Namun niatnya terhenti kala Kihyun berkata, "Bocah ingusan sama sekali nggak pake senjata, masa paman pake?", sembari melempar pistolnya ke sembarang arah.
Sementara Kihyun tengah sibuk dengan urusannya, Taeil mengendap-endap pergi ke pintu kontainer yang rupanya tidak terkunci. Ia membuka pintunya perlahan dan mendapati Nara yang terkulai lemas di pojok ruangan, dengan tangan dan kaki yang terikat kencang. Setengah berlari ia menghampirinya dan segera melepas ikatan di tangan dan kaki Nara. Mata Nara perlahan terbuka karena gerakan Taeil itu.
"A...yah...?". Taeil sontak mendongak kala indra pendengarannya menangkap lirihan itu. Ia tersenyum miris.
"Sebentar ya, sayang. Ayah lepasin ini dulu dari tubuh kamu.". Nara mengangguk perlahan. Setelah ikatan tali itu terlepas sempurna, tangan Taeil bergerak membenamkan kepala Nara dalam dadanya dan Nara menangis sejadi-jadinya.
"Na-Nara takut...", ucap Nara diantara isakannya. Dengan lembut Taeil mengusap kepala Nara.
"Jangan takut, ayah udah di sini. Ayah udah datang.", Taeil mencoba menenangkannya, meskipun sebenarnya dirinya juga bergetar hebat.
Sebuah tepukan tangan menggema di ruangan itu, menginterupsi momen kebahagiaan Nara dan Taeil. Daesuk yang sedari tadi bersembunyi di balik tumpukan peti kemas bertepuk tangan dengan sebuah seringaian di wajahnya. Ia melirik jam tangannya.
"Tepat dua belas jam! Sungguh peningkatan yang luar biasa dibandingkan tujuh belas tahun yang lalu.", pujinya sarkas. Perlahan pelukan Taeil mengendur dan ia beranjak dari duduknya.
"Lain kali, jika yang kau inginkan adalah aku, langsung saja tangkap aku. Tidak perlu bertele-tele seperti ini."
Daesuk memberi tatapan iba, "Kau pasti tidak pernah bermain game, ya? Apakah ada di sebuah game, kau langsung melawan raja musuhmu saat masuk level 1? Tidak, kau harus melawan musuh-musuh kecil---"
"Kau pikir ini sebuah game?!". Taeil yang menyadari emosinya telah terpancing langsung mendengus keras. "Lagipula, aku tidak suka hal-hal yang bertele-tele. Ayo, langsung mulai saja. Perlukan aku menyiapkan senjata?"
"Nanti saja, senjata digunakan saat mencapai klimaks."
Nara sontak berdiri dan menahan tangan Taeil saat ia hendak maju dan menggeleng kuat-kuat. "Jangan... ayah, jangan...", pintanya lirih. Taeil hanya tersenyum tipis dan berkata, "Nggak apa-apa.", tanpa suara. Tangannya bergerak menyentuh earpiece yang tersangkut di telinganya.
"Kalo kamu udah selesai, cepat masuk dan bawa Nara pergi.", ucapnya. Beberapa saat kemudian, Kihyun masuk ruangan dan menghampiri mereka.
"Kamu pulang duluan sama Kihyun, ya. Nanti ayah nyusul."
Cengkeraman Nara semakin kuat. "Nggak, ayah harus pulang sama aku. Kita harus pulang bareng-bareng."
"Ayah masih ada urusan di sini. Sebentar lagi beres, kok. Ayah bakal langsung nyusul kamu.", Taeil melepas cengkeraman Nara lalu mengaitkan keliling mereka, "Ayah janji.". Taeil mengalihkan tatapannya pada Kihyun, "Tolong jaga Nara."
Bibir Nara mengulum menahan tangisnya. Ia bergerak maju untuk memeluk Taeil. "Ayah hati-hati. Pokoknya ayah harus pulang.". Taeil tersenyum dan mengangguk.
"Oh, ayolah! Aku tidak punya banyak waktu untuk menonton drama ini!", Daesuk berseru kesal. Taeil melepas pelukannya dan sedikit mengibaskan tangannya agar Nara dan Kihyun cepat pergi. Kihyun pun menuntun Nara keluar dan menghilang di balik pintu.
"Baik, ayo mulai."
**
"Masih belum ada kabar?", tanya Kihyun. Wooseok yang masih mencoba melacak keberadaan Taeil menggeleng.
Karena Nara tidak mau pulang ke rumah jika tidak bersama Taeil, Kihyun pun memutuskan untuk membawa Nara ke kantor. Sekalian Nara juga bisa memantau keaadaan ayahnya. Mereka sudah sampai di kantor setengah jam yang lalu, namun belum ada kabar dari Taeil. Padahal, Kihyun sudah menelepon pasukan agen untuk segera pergi ke pelabuhan saat Kihyun dan Nara hendak pergi dari sana.
"Ayah bakal selamat kan, kak?", Nara bertanya khawatir. Kihyun tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Nara tenang dulu, ya. Kita lagi berusaha semaksimal mungkin.", ucap Wooseok.
Selang beberapa menit, telepon di ruangan itu berbunyi. Kihyun berlari untuk mengangkatnya. "Halo?"
Wajah Kihyun terlihat menegang ketika ia mendengarkan seseorang di seberang telepon menjelaskan sesuatu. Matanya mendelik ke sana kemari, rahangnya mengeras, dan tangannya gemetaran. Kihyun menyimpan kembali gagang telepon dengan perlahan, lalu mengusap wajahnya kasar.
"Gimana, Yun?", tanya Hayeol. Kihyun menoleh perlahan, membalas satu persatu tatapan yang mengarah padanya.
"Waktu pasukan sampai di sana, kedenger ledakan keras dari kontainer tempat Nara disekap. Mereka datang ke sana, tapi Paman Taeil dan Lee Daesuk nggak ada. Para agen mencar buat nyari Paman Taeil, mereka yakin paman belum terlalu jauh pergi. Sekitar tiga puluh kilometer dari lokasi, salah satu agen ngelihat pembatas jalan yang koyak, kayak habis ditabrak sesuatu. Mereka ngelihat ke bawah, dan ternyata ada dua mobil yang jatuh ke sungai. Rupanya itu mobil Lee Daesuk dan salah satu anak buahnya. Tapi, di mobil itu nggak ada Paman Taeil maupun Lee Daesuk."
Badan Nara gemetaran, "Ja-jadi, ayah ke-ke mana?"
Kihyun menggeleng pelan, "Kemungkinan mereka tenggelam ke dasar sungai, soalnya mereka udah nyisirin sepanjang sungai, nggak ada tubuh mereka. Mereka cuma nemuin jas yang dipake paman di sisi sungai."
Nara sudah tak dapat membendung air matanya lagi.
"Tapi tenang, Nara. Selama tubuh mereka belum ketemu, baik masih hidup atau nggak, mereka masih dinyatakan hilang.", imbuh Kihyun. "Kita bakal berusaha semaksimal mungkin buat nemuin paman dan Lee Daesuk."
"Kita sama-sama berdoa buat keselamatan Kak Taeil, ya.", ucap Hayeol seraya mengelus punggung Nara. Nara hanya mengangguk.

Sembilan Belas

"AKU TELAT!"
Dentuman pintu kamar Nara yang menghantam dinding membuat Hyemi hampir menjatuhkan cangkir yang tengah ia bawa. Suara hentakan kaki Nara menuruni tangga sambil berlari menggema di rumahnya.
"Astaga Nara, jangan lari-lari di tangga!", peringat Hyemi. Tak menggubris Hyemi, Nara melesat menuju kamar mandi yang berada di samping dapur.
"Nara udah telat! Dosennya galaaaaak!". Suara dentuman pintu kembali terdengar. Kali ini disebabkan oleh pintu kamar mandi yang ditutup terlalu keras. Hyemi hanya bisa geleng-geleng kepala.
Nara tidak tahu mandinya bersih atau tidak, yang penting ia bersiap-siap secepat yang ia bisa dan segera berlari ke kampus. Untunglah rumah Hyemi jaraknya cukup dekat dengan kampus, sehingga tidak perlu naik angkutan apapun. Ia lupa membawa bekal sarapan yang tadi disiapkan Hyemi, tapi ia masih ingat memakai pelembab wajah dan sedikit mengoleskan lipbalm. Duh, dasar wanita.
Nara resmi menjadi mahasiswi baru salah satu universitas negeri di Seoul sejak tiga bulan yang lalu. Ia diterima menjadi salah satu mahasiswi jurusan Kimia. Nara merasa sangat bersyukur kuliah di sana. Selain karena kampusnya sekarang telah ia idam-idamkan sejak dulu, jaraknya sangat dekat dengan rumah Hyemi sehingga ia tak perlu menyewa kamar, dan ia satu kampus dengan Kihyun yang sekarang sudah masuk ke semester lima, meskipun berbeda fakultas karena ia kuliah di jurusan Teknik Mesin. Jarak gedung fakultas mereka pun tidak begitu jauh.
Omong-omong soal Kihyun, ia kembali menjadi mahasiswa di kampusnya setelah kejadian Nara diculik. Karena para komplotan Lee Daesuk sudah tertangkap dan petinggi organisasi kasihan melihat Kihyun yang baru masuk kuliah malah kembali menjadi murid SMA, tugas Kihyun untuk menjaga Nara pun selesai dan digantikan oleh agen lain. Tapi Nara hanya dijaga sampai ia lulus SMA, karena saat kuliah ia tinggal dengan bibinya.
Meskipun begitu, Kihyun terkadang masih menengok Nara ke Daegu. Tidak, sebenarnya hampir setiap hari ia ke sana. Bahkan sampai bolos kuliah. Agen yang menjaga Nara sempat tersinggung oleh sikapnya ini, kesannya Kihyun tidak memercayainya dalam menjaga Nara. Memang benar sih, Kihyun masih khawatir akan keselamatan Nara, ditambah lagi pesan terakhir dari Taeil sebelum ia menghilang adalah menyuruhnya untuk menjaga Nara. Tapi setelah ia ditegur dengan keras oleh Wooseok, akhirnya ia hanya mengunjungi Nara di akhir pekan saja.
Kihyun dinyatakan pindah sekolah ke Jepang dalam data siswa SMA Nara, sehingga tidak ada yang curiga ia kembali ke kampusnya. Namun akhirnya, Seonghun dan Bona tahu identitas Kihyun yang sebenarnya, karena mereka memergoki Kihyun yang saat itu tengah mengunjungi rumah Nara. Padahal yang mereka tahu, Kihyun sudah pindah ke Jepang. Setelah mengetahui usia Kihyun yang sebenarnya lebih tua dua tahun, Seonghun pun langsung meminta maaf karena sebelumnya ia pernah memukul kepala Kihyun menggunakan kamus Bahasa Inggris yang tebalnya seperti bantal saat ia tertidur di kelas.
**
Helaan nafas lega terdengar dari Nara saat ia tahu ia datang ke kelas lima menit sebelum jam masuk. Namun kebingungan melanda dirinya kala ia tidak mendengar suara kegaduhan teman-temannya. Perlahan ia membuka pintu dan sedikit mengintip. Betapa terkejutnya ia kala mengetahui kelasnya kosong. Buru-buru Nara mengecek grup obrolan di ponselnya, dan ia sontak jengkel kala mengetahui ternyata kelas paginya dibatalkan karena dosennya mendadak pergi ke Spanyol.
Dengan langkah yang dihentak kesal, Nara pun pergi ke kantin kampus. Menyesal ia buru-buru mandi dan tidak sempat sarapan. Ia bahkan tak tahu apakah masih ada sabun yang menempel di tengkuknya atau tidak. Tapi salah dia juga sih, tidak mengecek ponsel dulu sesudah bangun tidur.
"Nara!". Nara menoleh dengan wajah kusut pada Kihyun saat ia melewati taman kampus. "Lah, kenapa mukanya gitu? Eh, kok kamu udah keluar kelas aja? Udah beres kelasnya?"
Nara mendengus, "Beres apanya? Kelasnya tetiba dibatalin, dosennya ngedadak pergi ke Spanyol. Harusnya hari ini aku libur, soalnya hari ini nggak ada kelas lagi selain kelas dosen itu."
Kihyun tertawa dan sedikit mengacak poni Nara. "Mau jalan-jalan nggak? Biar kamunya nggak bad mood."
"Emang kakak hari ini nggak ada kelas?"
Kihyun menggeleng, "Tadi juga cuma ngurusin proposal buat lomba futsal bulan depan.", sahutnya. "Ada kafe baru di deket SMA aku dulu. Mau cobain ke sana?"
"Boleh, deh. Tapi aku mau pulang dulu, ya? Tadi aku mandinya nggak bener, serasa masih ada sabun di tengkuk."
"Mana?". Kihyun menjulurkan kepala untuk melihat tengkuk Nara. "Nggak, kok. Udah bersih, wangi, cantik pula.". Kihyun meraih tangan Nara, "Ayo, takutnya keburu penuh terus nggak dapet tempat."
Nara hanya mengangguk sambil menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang memanas.
**
"Kak, masa kemarin Doyoon bilang suka sama aku, terus minta aku buat jadi pacarnya. Kaget banget aku. Ngobrol aja jarang, paling cuma pas sekelompok di matkul Kimia Industri doang.", cerita Nara. Kihyun yang tengah mengunyah kue hanya mengangguk-angguk.
"Terus, kamu terima?", tanya Kihyun setelah memastikan tak ada kue lagi di mulutnya.
"Ya nggak, lah. Deket aja nggak. Terus, aku denger dari temen-temen, katanya dia udah punya pacar di kampus lain.". Nara menghabiskan sepotong macaroon di tangannya. "Lagian, nanti kakak gimana?"
"Gimana apanya?". Kihyun kembali menyendokkan kue ke mulutnya.
"Nggak bakal cemburu kalo aku jadian sama Doyoon?"
Detik itu juga Kihyun tersedak.
"Astaga, maaf kak! Ini minum, minum.". Nara menyodorkan minuman Kihyun yang langsung disambar oleh si empunya.
"Kamu sih, nanya yang aneh-aneh!"
"Ya maaf.", Nara cengar-cengir. "Tapi aku ngomong kenyataan, kan?". Kihyun tidak menjawab dan kembali memakan kuenya, sementara Nara sudah terkikik melihat telinga Kihyun yang memerah.
Soal perasaan, Kihyun dan Nara sudah tahu kalau mereka saling menyukai. Awalnya, Kihyun mengutuk mulut besar Wooseok yang sudah membocorkan segala curhatannya tentang Nara pada para wanita---Nara, Hayeol, dan Aran---hanya karena ia kesal pada Kihyun yang sudah curang saat bermain game. Tetapi, setelah terungkap kalau Nara membalas perasaannya, Kihyun jadi berterima kasih pada Wooseok.
Meskipun begitu, keduanya belum menjalin hubungan spesial layaknya orang lain. Ada dua alasan. Pertama, Kihyun tidak seperti remaja lain yang menjalin hubungan dengan cara berpacaran. Menurut Kihyun, pacaran hanya untuk main-main, dan Kihyun tidak mau menjalin hubungan untuk main-main.
Kedua, Kihyun belum mengantungi izin dari Taeil untuk menyukai Nara. Kihyun sangat tahu betul sensitifnya Taeil perihal Nara-dan-lelaki. Mengobrol berdua saja, keduanya masih dipelototi. Nara juga tidak berani menerima Kihyun jika ia ingin menjalin hubungan, sebelum Taeil mengizinkannya. Oleh sebab itu, keduanya masih berinteraksi seperti biasa, seperti sebelum ada perasaan berlebih diantara mereka.
"Kak, udah ada kabar dari ayah?", Nara melontarkan pertanyaan yang selalu ia tanyakan jika mengobrol dengan Kihyun. Kihyun terdiam sejenak sebelum menggeleng pelan.
"Masih belum ada tanda-tanda yang jelas.", sahutnya.
Sudah dua tahun berlalu, Taeil dan Daesuk masih dinyatakan hilang. Sebagian orang bahkan sudah menganggap mereka meninggal, dan jasad mereka sudah terkubur di dasar sungai. Sebagian orang lain membantah pendapat itu dan yakin kalau keduanya masih hidup, karena kalau memang benar mereka meninggal karena tenggelam, jasadnya pasti sudah terapung ke permukaan sungai beberapa hari setelah mereka jatuh ke sungai. Nara sendiri tentu saja memercayai pendapat kedua. Ia yakin ayahnya sedang berada di suatu tempat, tengah menunggu waktu yang tepat untuk pulang.
"Tapi, kemarin ada kabar baru dari salah satu agen yang lagi ambil cuti karena isterinya melahirkan.", sambung Kihyun. Nara berhenti menusuk-nusuk macaroon dan sedikit mencondongkan tubuhnya. "Agen itu tinggal di Gangwon. Waktu dia lagi di supermarket buat beli popok bayi, dia ngelihat orang mirip paman. Dia emang cuma lihat dari pinggir, tapi dia yakin banget kalo itu Paman Taeil. Postur tubuhnya nunjukkin banget kalo itu paman."
"Terus, dia nyamperin ayah?"
"Iya, dia langsung nyamperin. Tapi, paman langsung keluar dari sana. Pas agen itu ngejar, paman udah hilang.", jawab Kihyun. "Sekarang, Kak Aran sama beberapa agen lagi perjalanan ke sana. Nanti malem, aku nyusul sama Kak Hayeol dan Kak Wooseok. Jadi, nanti malem kamu jangan pergi ke mana-mana, ya."
Nara mengangguk. "Kalo beneran itu ayah, tolong bawa ayah pulang ya, kak."
"Pasti, Ra."
Tanpa mereka tahu, seseorang tengah memperhatikan mereka sejak mereka datang di kafe itu dari seberang jalan.

Dua Puluh

Karena jadwal kuliah Nara dan Kihyun pada hari Jumat tidak sama, Nara tidak bertemu dengannya seharian. Saat Nara masuk kelas, Kihyun sedang istirahat, begitu pula sebaliknya. Alhasil, setiap Jumat Nara selalu pergi dan pulang sendirian.
Untuk Jumat ini, Nara tidak langsung pulang ke rumah Hyemi karena ia harus ke toko buku. Ada kelas pengganti di hari Sabtu, dan dosen mata kuliah itu menyuruh mahasiswa untuk membawa buku referensi. Sebenarnya buku yang dimaksud tersedia di perpustakaan, namun hanya sekitar lima belas sampai dua puluh buku saja, sementara mahasiswa kelas Nara berjumlah hampir empat puluh orang. Nara pun memutuskan untuk membelinya agar bebas kalau mau dicorat-coret catatan penting.
Jarak kampus dan toko bukunya masih bisa dibilang dekat, kalau naik bus pun tinggal turun di halte berikutnya. Nara pun memutuskan untuk berjalan kaki saja, sekalian jalan-jalan.
Nara tengah berdiri menunggu lampu merah, bersama kerumunan orang yang juga hendak menyeberang jalan raya. Sebuah layar besar yang berisi cuplikan drama serial terbaru di televisi menarik perhatiannya. Saat cuplikan tersebut berakhir, ia kembali menatap seberang jalan. Dengan iseng ia perhatikan satu persatu wajah orang yang hendak menyeberang ke arah yang berlawanan dengannya, siapa tahu dia menemukan wajah yang tak asing. Tidak ada wajah yang ia kenal, sampai salah satu wanita yang berada di barisan depan berjongkok untuk membenarkan tali sepatu anaknya yang lepas.
Mata Nara membulat keltika melihat pria berkacamata yang berdiri persis di belakang wanita itu, yang tengah memainkan ponsel. Sepertinya pria itu merasa Nara menatapnya lekat-lekat, sehingga ia mendongakkan kepalanya dan bersitatap dengan Nara.
"A-ayah...?", gumam Nara lirih.
Sebuah bus kota melintas tepat setelah Nara menyadari kalau pria yang ia lihat adalah Taeil. Saat bus sudah hilang dari pandangan, pria tersebut juga hilang. Nara sangat ingin menyeberang, tapi lampu hijau untuk menyeberang masih saja menyala merah.
Beberapa saat kemudian, lampu hijau pun menyala, Nara pun mencari celah di antara orang-orang dan mencoba menyusul mereka, meskipun ia mendapat lontaran protes karena seenaknya menyenggol. Ia hanya meminta maaf sekenanya dan kembali menyelip di antara orang-orang.
Mata Nara dengan sibuk menyapu setiap sudut jalan, mencari-cari sosok yang ia yakini sebagai ayahnya. Ia berlarian di sepanjang trotoar dan bahkan ia masuki toko-toko yang berada di dekatnya satu persatu. Ia yakin, Taeil masih berada di lingkungan itu.
"Apa tadi cuma orang yang mirip sama ayah, ya? Atau jangan-jangan, itu cuma bayangan dari pikiran aku aja?", Nara bertanya-tanya dalam hati. Tangannya segera merogoh ponsel dan menghubungi kontak Kihyun. Namun, Kihyun tak kunjung mengangkat teleponnya.
"Masih di kelas, ya?", lirih Nara. Ia mengirimkan pesan singkat pada Kihyun untuk segera meneleponnya jika kelasnya telah usai.
Nara menghela nafas, "Itu ayah, aku yakin..."
**
Stok buku yang Nara butuhkan di toko buku terdekat rupanya sudah habis, menyebabkan Nara terpaksa pergi ke toko buku lain yang letaknya agak jauh. Nafas lega terhembus dari Nara saat mengetahui buku tersebut tinggal sisa satu stok lagi. Segera Nara berlari ke halte bus untuk mengejar bus menuju rumah Hyemi.
Meskipun rumah Hyemi masih berada di sekitar sebuah kampus, keadaan lingkungan tetaplah sepi saat malam tiba. Dengan pandangan menunduk, Nara berjalan secepat mungkin keluar dari halte. Ia bahkan berlari melewati kerumunan lelaki yang tengah menongkrong di depan minimarket.
Saat berbelok ke jalan kecil menuju rumah Hyemi, Nara merasakan hawa aneh. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria bertudung hitam yang berjalan lumayan jauh di belakangnya. Meskipun keadaan tidak begitu terang, dapat Nara lihat matanya yang memicing pada Nara.
"Astaga, kenapa aku selalu dibuntutin orang, sih?", gerutu Nara. Ia pun berlari dan sedikit menengok ke belakang. Pria tadi juga ikut berlari mengejarnya.
Dengan lihai, Nara berbelok-belok di jalanan sempit itu. Nampaknya, pria tersebut juga sama lihainya. Langkahnya yang lebar membawanya semakin mendekat pada Nara. Sesaat Nara merutuki kakinya yang tidak sejenjang wanita lain, membuatnya harus secepat mungkin melangkahkan kakinya.
Tepat saat Nara berbelok ke kanan, sebuah tangan dari dalam pagar rumah yang terletak di ujung jalan menariknya masuk dan memeluknya dari belakang sambil membekap mulutnya. Nara tentu saja meronta-ronta, mengira dirinya sudah tertangkap oleh si pengejar. Namun, sebuah suara dari seseorang yang menariknya berhasil membuatnya bungkam.
"Diam."
Dalam seketika, Nara berhenti meronta. Bukan, bukan karena si pembekap ini menyeramkan hingga membuat Nara mengira ia akan dibunuh jika tidak menuruti perkataannya. Suara si pembekap begitu familiar di telinga Nara, bahkan sangat familiar hingga Nara sendiri tak memercayai indra pendengarannya.
Nara ingat kalau tadi pagi ia baru saja membersihkan kupingnya, dan sekarang sangat jelas terdengar kalau suara itu milik Taeil.
Nara sebenarnya ingin mendongak untuk melihat wajah si empunya suara, namun tangan lain orang itu menahan belakang kepalanya sehingga ingin menoleh sedikit pun Nara kesusahan. Yang sedikit terlihat dari ekor matanya adalah si pembekap memakai kain hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
"Sial! Dia lari ke mana, sih?!", terdengar rutukan si pengejar dari luar pagar. Nara berjengit dan semakin menenggelamkan badannya dibalik lengan besar si pembekap. Masih terdengar suara langkah si pengejar yang terus-terusan bolak-balik di depan pagar, seakan-akan mengendus aroma daun mint dari shampoo Nara dan memastikan kalau Nara masih di sana. Hampir lima menit keadaan itu berlangsung, hingga akhirnya keadaan sangat sepi.
Nara kira, si pembekap akan langsung melepaskannya saat si pengejar sudah pergi. Nyatanya, ia belum melepaskan bekapannya sama sekali. Kepanikan mendatangi Nara lagi. Bagaimana kalau sebenarnya, si pembekap berpura-pura menyelamatkan Nara, tapi sebenarnya ia merupakan salah satu kaki tangan si pengejar?
Rupanya, tidak seburuk yang Nara pikirkan. Tangan si pembekap masih berada di mulut Nara, namun tangan yang satunya mendorong pagar kayu itu pelan. Masih dengan posisi membekap, mereka berdua keluar dengan perlahan. Setelah menutup kembali pagar, tangannya yang bebas itu meraih tudung jaket Nara dan memasangkannya hingga kepala Nara tertutup setengahnya.
"Tunggu waktu yang tepat ya, Nara.", ucap si pembekap. Dengan cepat ia melepas bekapannya. Nara membuka tudung jaketnya dan segera berbalik badan. Namun, ia kalah cepat dengan si pembekap yang sudah menghilang begitu saja, seakan-akan tidak pernah ada di sana, membuat Nara celingukan kebingungan.
"Kim Nara!". Nara menoleh ke ujung jalan dan mendapati Kihyun yang tengah berlari ke arahnya. "Kenapa nggak ngangkat telepon aku daritadi? Padahal kamu sendiri yang bilang ke aku buat nelepon kamu secepatnya kelas aku beres."
Nara tidak menjawab apa-apa. Matanya masih jelalatan mencari sosok yang tadi menolongnya.
"Nara? Kamu nggak apa-apa?". Nara masih tidak fokus, membuat Kihyun memegang kedua bahunya dan menatapnya lekat-lekat. "Kamu kenapa?"
"Kak-kak Kihyun... aku tadi dikejar, nggak tahu sama siapa. Terus, aku ditarik. Terus, aku---eh, dia nolong aku. Suaranya... suara ayah..."
Kihyun terdiam mendengar cerita Nara yang putus-putus itu. Kepalanya ia tolehkan ke sekitar, lalu kembali menatap Nara. "Kamu lebih baik cerita pas udah di rumah aja, ya. Mending sekarang kamu pulang dulu, nanti cerita ke aku lewat telepon aja. Udah malem, Bibi Hyemi pasti khawatir."
Nara hanya mengangguk, dan membiarkan tubuhnya dituntun Kihyun menuju rumah Hyemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun