Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Geheim

7 Mei 2019   07:02 Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua Puluh Satu

Sejak kejadian yang menimpanya Jumat malam, Nara benar-benar menjadi pendiam selama tiga hari esoknya. Teman-temannya bingung harus mengajak ngobrol Nara dengan cara apa. Biasanya, Nara yang paling banyak bercerita diantara teman-temannya yang lain. Hyemi bahkan mengira Nara kesurupan dan memanggil kenalannya yang---katanya---merupakan seorang paranormal.
Di mana pun tempat yang Nara datangi di kampus, ia pasti tidak melakukan apapun selain melamun. Ia pun sudah berkali-kali ditegur dosen yang mendapatinya memandang dinding dengan tatapan kosong. Untunglah, Nara masih bisa menjawabnya. Kalau tidak, ia harus menghabiskan sisa jamnya di luar kelas. Terdengar menyenangkan, namun sebenarnya mengerikan.
"Heh, ngelamun melulu.", teguran Kihyun yang lembut saja membuat Nara berjengit. Kihyun mendudukkan dirinya di samping Nara, kemudian melirik semakuk ramen pesanan Nara yang sudah mengembang dan kuahnya sudah menguap entah ke mana. "Ngapain dipesen kalo dianggurin?"
Nara menoleh pada Kihyun sekejap sebelum melihat ramennya. Raut terkejut terpampang jelas di wajah Nara ketika mengangkat mie ramennya yang sudah berubah seperti karet itu dengan sumpit. Nafsu makannya hilang seketika.
"Kak, kok aku yakin banget ya, kalo yang nolong aku waktu itu tuh, ayah?", tanya Nara. "Wajahnya nggak kelihatan, sih. Tapi suaranya itu, loh."
Sesuai sarannya, Nara bercerita pada Kihyun mengenai kejadian dirinya dikejar seseorang saat ia dan Kihyun sudah sampai di tempat istirahat mereka masing-masing. Meskipun cerita Nara sedikit tak jelas karena ceritanya terputus-putus akibat keterkejutannya akan kejadian itu, Kihyun benar-benar mengerti inti ceritanya.
Tepat setelah sambungan telepon mereka terputus, Kihyun segera mengotak-atik laptopnya dan mencoba melacak keberadaan Taeil saat ini. Ia juga menelepon Wooseok untuk menanyakan kabar terbaru dari Gangwon. Belum ada hasil apa-apa, begitu jawaban Wooseok. Kihyun pun menceritakan hal yang baru saja dialami Nara dan meminta agar dilakukan penyelidikan juga di Seoul. Hayeol selaku wakil ketua tim pun setuju dan malam itu juga sebagian tim kembali ke Seoul.
"Suara emang nggak mudah ditiru, sih. Jadi, bisa aja yang kamu denger itu bener.", komentar Kihyun. "Tim emang belum nemuin paman, tapi pagi ini, ada salah satu agen yang ngelihat Daesuk lagi keliaran di sekitar distrik ini. Berarti, bisa dipastiin kalo yang ngejar kamu Jumat lalu itu dia."
"Tapi belum bisa dipastiin kalo yang nyelamatin aku itu ayah, ya?". Kihyun mengangguk pelan. Nara menghela nafas pasrah. Ramennya semakin terlihat aneh karena ia mengaduk-aduknya acak. Sebuah panggilan masuk menghentikan aktivitas tak jelasnya itu.
"Halo?"
"Seberapa sayang sih, kamu sama bibimu?", sebuah suara berat dari seberang telepon bertanya.
Nara mengernyit, "Ini siapa?", tanyanya, membuat Kihyun yang tengah menyeruput teh manis menoleh.
"Mau tahu aku siapa? Coba cari di rumah Hyemi."
Seketika Nara sadar ia tengah berbicara dengan siapa. Ia menatap Kihyun panik, sementara Kihyun menatapnya bingung.
"Kalo sampai lima belas menit kamu nggak datang, siapin ucapan selamat tinggal buat bibimu tersayang ini, ya.". Telepon terputus begitu saja.
Masih dengan panik, Nara cepat-cepat beranjak dari duduknya. "Kak, kita harus ke rumah bibi sekarang. Lee Dae-Daesuk ada di sana. Aku takut bibi kenapa-napa."
Tanpa pertanyaan atau anggukan kepala, Kihyun juga beranjak dan menarik Nara berlari menuju rumah Hyemi.
**
Suasana hening memang sudah biasa terjadi di rumah Hyemi, mengingat Hyemi seorang ibu tunggal karena suaminya sudah meninggal bertahun-tahun lalu dan Yongguk yang sudah lulus kuliah tahun lalu dan bekerja di luar kota. Namun kali ini, bukan hening seperti biasanya, hening saat ini begitu mencekam.
Perlahan Nara memutar kunci dan mendorong pintu. Dengan langkah sesunyi mungkin, Nara dan Kihyun memasuki rumah. Kihyun berjalan di belakang Nara dengan menghadap ke belakang, berjaga-jaga kalau ada serangan tak terduga.
"Bibi Hyemi?", Nara memanggil pelan. "Bibi di ma---", ucapannya menggantung, ketika hendak masuk ruang makan dan melihat bibinya duduk di kursi makan dengan raut wajah ketakutan. Sorot matanya seakan-akan menyuruh Nara agar tidak mendekat.
Tapi Nara sama sekali tidak menangkap sinyal itu. Ia malah masuk ke ruang makan, dan ia terkesiap begitu menyadari Daesuk berdiri di samping lemari dapur sembari menyeringai padanya. Dengan sigap Kihyun mengeluarkan pistol yang tersembunyi dibalik jaketnya dan mengarahkannya pada Daesuk.
"Kamu bener-bener sayang sama bibimu ini, ya?", Daesuk bertanya.
Nara mengepalkan tangannya, mencoba menahan ketakutannya. "Lepasin Bibi Hyemi!", serunya.
Daesuk berdecih, "Nggak segampang itu. Kalo kamu mau satu nyawa selamat, harus ada satu nyawa yang dikorbankan.". Hyemi lantas menjerit saat lengannya dicengkeram dan ditarik paksa untuk berdiri. Pekikannya tertahan ketika ia merasakan sebuah pistol menempel di pelipisnya. "Kamu mau biarin Hyemi mati kayak gini, atau kamu mau gantiin posisi dia?"
"Lebih baik kamu aja yang mati!"
"Pilihannya cuma ada dua, sayangku. Kamu atau dia?"
Nara tidak menjawab apapun. Tubuhnya bergetar hebat sampai ia merasa kakinya tak dapat menopangnya lagi. Jeritannya tertahan saat melihat Daesuk yang semakin menekan pistolnya ketika Hyemi berusaha melepas cengkeramannya.
"Cepat pilih! Waktu itu sangat berharga!". Daesuk mengalihkan tatapannya pada Kihyun. "Oh, atau kamu aja yang pilih?"
"Aku sudah memilih daritadi.", kata Kihyun.
"Dan aku sudah bilang kalau pilihannya hanya dua wanita ini, kan? Berhentilah mengarahkannya padaku. Arahkan pada salah satu dari mereka, dan permainan selesai."
"Ke aku aja, kak.", lirih Nara. Kihyun menatapnya tak percaya.
"Kamu gila?! Jangan terpengaruh sama omongan dia, itu cuma gertakan.", desis Kihyun.
"Tapi aku takut dia ngelukain bibi!"
"Apa cuma itu caranya biar bibi selamat? Nggak usah dengerin apa kata dia, Nara. Tolong, jangan terpengaruh!"
"Oh, ayolah! Ini bukan waktunya berdikusi!", bentak Daejung. "Akan kuhitung sampai tiga. Kalau masih belum ada keputusan, pistol ini bakal ngeledakkin isi kepala Hyemi. Satu..."
"Kak, biarin aku aja!"
"Nggak, Nara!"
"Dua..."
Belum habis hitungan Daesuk, terdengar bunyi letusan pistol yang disusul dengan erangan seseorang. Bukan pistol Daesuk atau Kihyun yang meledak, dan erangan itu bukan berasal dari Hyemi atau Nara. Daesuk merintih kesakitan dengan darah yang mengucur deras dari robekan di lengannya.
"Kan sudah kubilang, jangan pernah macam-macam denganku, apalagi kalau menyangkut dua wanitaku ini.", ucapan seseorang yang masuk lewat pintu belakang dapur mengalihkan fokus para individu yang masih terkejut menatap Daesuk. Hyemi berpegangan pada kursi saking terkejutnya ia melihat orang itu, sementara Nara dan Kihyun sama-sama mematung.
"Kihyun, segera hubungi kantor untuk mengirim orang ke sini. Hama ini,", orang itu melirik Daejung yang masih menahan sakitnya di lantai dapur, "harus segera dimusnahkan."
Kihyun mengerjapkan matanya, "I-iya, Paman Tae-Taeil...", ucapnya sembari merogoh ponselnya dengan tangan yang bergetar.
Taeil tersenyum pada Nara dan Hyemi. Tangannya terbuka lebar, "Adik tercintanya Kim Hyemi dan ayah tertampannya Kim Nara nggak bakal disambut, nih?"
Detik berikutnya, kedua wanita Kim itu menghambur ke pelukan Taeil. Membanjiri kaus lengan panjang birunya dengan bulir-bulir mutiara yang mengucur deras dari matanya.
Yes, Kim Taeil is officially back.

Dua Puluh Dua

Rumah Hyemi kembali sepi, namun tidak mencekam seperti tadi. Hyemi tengah menyiapkan sedikit makanan untuk Taeil, Nara yang tengah heboh menceritakan apa yang terjadi padanya selama dua tahun Taeil pergi, sementara Kihyun sudah pergi bersama agen lain yang sibuk 'mengurus' Daesuk. Taeil akan menyusul mereka satu jam lagi.
"Jadi, bisa ceritain ke mana aja kamu selama dua tahun ini?", tanya Hyemi seraya menaruh tiga gelas cangkir teh dan dua toples kue kering dan biskuit di meja makan.
"Aku sembunyi.", jawab Taeil sebelum menyesap tehnya. "Sehabis Nara dibawa sama Kihyun, aku ada 'obrolan' dikit sama Daesuk. Eh, ternyata 'obrolan' kita nggak semudah biasanya. Dia berusaha kabur pakai mobil, dan untunglah ada mobil nganggur punya anak buahnya, jadi aku kejar di---"
Nara mengacungkan tangannya, "Bentar Yah, 'ngobrol' di sini tuh, maksudnya gimana, sih?"
"'Ngobrol' maksud ayah kamu tuh, saling adu keahlian tembak-tembakan.", jelas Hyemi. Bibir Nara sontak membentuk ringisan, dan mengangguk pelan.
"Terus, kenapa ayah sama Lee Daesuk bisa masuk ke sungai?", tanya Nara.
"Waktu kejar-kejaran itu, kita masuk ke jalan di pinggir tebing yang di bawahnya ada sungai. Karena jalanan itu belokannya tajam, kita nggak lihat di depan ada truk pengangkut pasir yang datang dari arah berlawanan. Daesuk banting setir buat ngehindar dari truk itu, tapi malah nabrak pembatas jalan dan mobilnya jatuh terguling-guling sampai sungai.
"Daripada ayah ngejar pake kaki dan dia udah keburu kabur, mending ayah kejar pake mobil, kan? Akhirnya, ayah kemudiin mobilnya ke arah sungai, tapi bagian depannya malah nabrak pohon yang tumbang dan mobil yang ayah kemudiin juga keguling-guling dan masuk sungai."
"Bodoh.", komentar Hyemi.
"Cari mati banget.", tambah Nara.
Taeil malah tertawa, "Iya, emang bodoh banget. Orang lain ngehindarin kematian, aku malah ngejemput kematian.", kelakarnya. "Tapi ya, namanya juga orang kalap. Untung aku langsung lompat keluar sebelum mobilnya tenggelam. Aku segera ngejar Daesuk yang udah lari lumayan jauh. Sengaja aku lepas jas yang udah basah, biar larinya enteng. Tapi tetep aja, Daesuk berhasil kabur."
"Kalo kamu selamat, kenapa nggak langsung pulang aja?"
"Asalnya sih, maunya gitu. Cuma, Daesuk lagi-lagi jadi buron dan pasti dia nggak bakal berhenti buat ngejar aku, kakak, Nara, dan orang-orang terdekat aku, jadi kayaknya bahaya kalo dia tahu aku masih hidup. Jadi, aku putusin buat sembunyi sementara waktu sampai aku berhasil nemuin keberadaannya. Baru, setelah itu aku bakal muncul lagi di waktu yang tepat."
"Selama ini kamu sembunyi di mana?"
"Di mana-mana, pokoknya selama nggak ada yang tahu identitas aku, aku sembunyi di situ selama mungkin. Tempat pertama yang jadi tempat persembunyian aku tuh, Pulau Jeju. Aku tinggal di sana selama enam bulan, sampai salah satu anak buah Daesuk nemuin aku. Habis itu, aku kabur ke Busan selama lima bulan. Aku nggak sengaja ketemu Yongguk waktu pergi ke kafe dan kayaknya dia ngenalin aku, makanya aku pergi dari sana. Setelah itu aku balik ke Daegu selama enam bulan, terus pindah ke Gangwon sampai dua minggu yang lalu."
"Pasti gegara salah satu agen yang ngenalin ayah, ya?"
Taeil terkekeh, "Pasti dikasih tahu Kihyun, ya? Iya, dia manggil-manggil dan bahkan sampai ngejar. Yah, mungkin udah waktunya aku buat nggak sembunyi lagi, akhirnya aku pindah ke Seoul, yang secara kebetulan Daesuk juga lagi sembunyi di sini."
Dering ponsel Taeil menginterupsi pembicaraan mereka. Wajah Taeil berubah serius ketika mengangkat telepon itu.
"Baik, sekarang saya ke sana.". Taeil mengakhiri pembicaraan. "Aku harus ke kantor sekarang. Lee Daesuk ini, banyak banget hal yang harus diurus tentang dia."
"Nara mau ikut, boleh nggak?", pinta Nara.
Taeil mengangguk, "Kakak juga, sekalian mau ikut?"
"Nggak, makasih. Kejadian tadi bikin aku capek, aku mending tidur sampai tengah malem nanti."
"Oke, kalo gitu, kita pergi dulu ya, kak. Jangan lupa kunci pintu dan jendela."
**
Taeil memasuki ruangan serba putih yang dikelilingi oleh kaca satu arah. Terdapat satu meja dan dua kursi yang berhadapan di tengah ruangan. Salah satu kursi telah diisi oleh Daesuk yang lengan kanannya dibalut perban, dan kedua pergelangan tangannya terbelenggu borgol. Taeil menarik kursi dan duduk dengan perlahan, diiringi dengan tatapan tajam Daesuk padanya.
Taeil membolak-balik berkas yang ada di meja. Setelah puas matanya meneliti setiap kata dalam berkas itu, ia menatap Daesuk lekat-lekat. "Sebenarnya, sudah tidak ada lagi yang harus diurus olehku.", buka Taeil. "Para anak buahmu juga sedang menyusulmu ke sini. Jadi, urusanku denganmu sudah selesai. Kau tidak perlu repot-repot lagi mencoba untuk membunuhku, dan aku juga tak perlu repot-repot lagi untuk berusaha menangkapmu. Permusuhan turun temurun antara Organisasi Intelejen Nasional dan Perusahaan Ilegal Lee Wonri dinyatakan selesai."
Tangan Taeil bergerak menandatangani kertas terakhir berkas. Setelah membereskan berkas dengan sekenanya, ia beranjak dari kursi. "Sekarang, kau hanya perlu menunggu balasan apa yang setimpal dengan perbuatanmu. Melihat perbuatanmu yang tergolong luar biasa, aku harap kau akan berakhir di tiang gantung.". Taeil membungkukkan badannya dan berjalan menuju pintu.
"Tiang gantung tidak akan pernah membuatku berhenti untuk mengejarmu.", ancaman Daesuk menghentikan gerakan tangan Taeil di kenop pintu. Taeil menoleh perlahan pada Daesuk yang tersenyum miring padanya. "Tidak ada yang bisa menghentikan aku, catat itu baik-baik."
Taeil terkekeh pelan, "Kalau begitu, aku juga tidak akan berhenti untuk menghentikanmu. Catat itu baik-baik.". Taeil membuka pintu dan menutupnya kasar.
Setelah membereskan berkas bersama para petinggi, Taeil berjalan menuju ruangannya. Dirinya langsung dikejutkan oleh Wooseok yang menyalakan confetti tepat saat ia membuka pintu.
"Selamat datang kembali!", ucap Wooseok, Aran, dan Hayeol berbarengan. Taeil tertawa dan mengucapkan terima kasih, kemudian memeluk singkat satu persatu anggota timnya.
"Eh, mana Nara sama Kihyun?", tanya Taeil.
"Di sini, ayah. Kita baru balik dari kafetaria.". Taeil bergidik ketika Nara berbisik di belakang telinganya. Ia langsung memeluk lengan Taeil erat. "Kata kakak-kakak, mereka mau ayah traktir mereka makan, buat ngerayain kembalinya ayah."
"Lah, kok bawa kakak-kakak?! Itu ide kamu, ih!", protes Wooseok. Nara hanya cengengesan.
"Boleh. Mau kapan kita makan-makan? Sabtu ini?", tanya Taeil yang langsung disambut sorakan Wooseok dan Aran. "Kamu sama Kihyun ada kuliah nggak?". Nara dan Kihyun kompak menggeleng. "Oke, berarti Sabtu ini kita pergi.", Taeil memutuskan. "Hayeol kalo mau bawa Sihyun juga boleh, aku udah lama nggak ketemu dia."
"Sihyun siapa, bi?", tanya Nara.
"Anak bibi yang masih TK.", jawab Hayeol.
Nara melompat-lompat kecil, "Nanti harus main sama aku! Pokoknya Sihyun harus main sama aku!"
"Halah, ngesok banget ngajak main. Anak kecil aja langsung nangis pas disamperin---aduh! Nggak usah nyubit!", Taeil mengelus-ngelus lengannya. Nara menjulurkan lidah dan berlari ke meja Aran untuk mengobrol tentang serial drama terbaru.
Sepertinya, meskipun Taeil menghilang hingga satu abad lamanya, hubungan ayah dan anak itu tidak akan pernah mulus dari pertengkaran kecil.

Epilog

Salah satu area perkemahan yang tidak terlau ramai itu kini didirikan empat tenda berukuran sedang dengan dua buah alat pemanggang daging yang masing mengepulkan asap tipis, karena pesta barbekyu baru saja berakhir. Taeil terduduk di kursi kecil dengan kaleng soda ditangannya, sembari memperhatikan kesibukan masing-masing orang.
Para ibu---Hyemi dan Hayeol---tengah sibuk membicarakan sekolah dasar yang akan dimasuki Sihyun tahun depan, sementara yang akan masuk sekolah dasar malah tertidur di pangkuan Hayeol. Aran, Wooseok, dan Yongguk pergi ke toko yang jaraknya satu kilometer dari tempat kemah untuk membeli makanan ringan dan minuman. Nara dan Kihyun bermain-main di pinggir sungai, sesekali mereka mengambil potret diri masing-masing.
Beberapa menit kemudian, terlihat Nara berlari tergopoh-gopoh ke arah tenda, meninggalkan Kihyun yang masih asyik memandangi sungai.
"Ke mana?", tanya Taeil.
"Pipis!", sahut Nara. Dengan cepat ia melesat menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh di belakang Taeil.
Melihat Kihyun yang sendirian, merupakan sebuah kesempatan yang bagus untuk Taeil. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Kihyun.
"Ngelihatin sungai terus, nggak sekalian nyebur aja?", gurau Taeil. Kihyun sedikit berjengit, lalu tertawa.
"Inginnya sih gitu, paman. Sekalian mandi lagi.", Kihyun berkelakar. Kini giliran Taeil yang tertawa.
Ada keheningan selama beberapa detik, sebelum Taeil menghela nafas pendek dan bertanya, "Nara pasti banyak ngerepotin kamu ya, selama paman sembunyi?"
Kihyun tersenyum seraya menggeleng pelan, "Nggak kok, paman. Aku nggak ngerasa direpotin sama sekali. Lagian, aku emang ngejalanin tugas yang paman suruh, kan?"
Kening Taeil agak berkerut sekejap, hingga ia ingat permintaannya pada Kihyun sebelum ia menghilang dua tahun yang lalu. Senyuman terukir di wajahnya, "Kalo paman minta kamu buat ngejagain Nara selamanya, kamu bersedia, nggak?"
Raut wajah bingung bercampur kaget sangat jelas terlihat pada Kihyun, "Maksud paman?"
Taeil terkekeh, "Ah, jangan pura-pura gitu. Paman udah tahu jelas ada apa diantara kalian, dari dulu malahan. Tapi, kamu takut sama paman kan, gegara paman overprotektif banget ke Nara?"
Kihyun tidak bisa melakukan apa-apa selain menunduk dan menggigiti bibir bawahnya pelan. Tangannya ia masukkan ke saku jaket agar Taeil tak melihat gemetarannya yang hebat.
"Nara itu sesuatu yang paling berharga di hidup paman, setelah Yumi meninggal. Paman cuman takut dia disakiti siapapun, termasuk sakit hati gegara cinta. Dari dulu emang banyak temen cowoknya yang nyoba buat ngedeketin dia, tapi paman galakkin semuanya. Soalnya, menurut paman cowok-cowok itu nggak baik buat Nara.
"Sampai akhirnya, Nara ketemu sama kamu. Ngelihat kalian berdua tuh, ngingetin waktu dulu paman sama Yumi. Anak gadisnya agen saling jatuh cinta sama anak buahnya agen. Karena itu, paman sempet takut kalian bakal bernasib yang sama kayak kami. Tapi, dengan ngelihat sikap kamu ke Nara, lama-lama keraguan itu hilang."
Taeil menyampirkan lengannya di pundak Kihyun. "Paman percayain Nara sama kamu. Paman udah yakin banget kalo kamu itu orang yang terbaik buat Nara. Karena paman nggak mungkin jagain Nara terus, paman ingin kamu ngegantiin posisi paman. Tapi, kamunya mau nggak?"
Kihyun menoleh perlahan untuk membalas tatapan Taeil. "Paman betulan ngasih aku izin?", ia bertanya dengan hati-hati.
Taeil mengangguk. Ia melepas rangkulannya dan mengacak-acak rambut Kihyun. "Jagain Nara baik-baik, ya. Kalo kamu nyakitin dia, paman nggak bakal sungkan buat bunuh kamu. Bahkan kalo paman udah mati, paman bakal gentayangin kamu seumur hidup."
Senyum sumringah terpampang jelas di wajah Kihyun. Ia mengangguk, "Makasih, paman."
"Ayah! Kak Kihyun!", Nara berseru, membuat keduanya menoleh dan mendapati Aran, Wooseok, dan Yongguk telah kembali dari toko dan tengah sibuk membagi-bagikan camilan pesanan setiap orang. Taeil memberi isyarat mata pada Kihyun dan keduanya berjalan menghampiri tenda.
"Ayah sama kakak ngapain di sana tadi?", tanya Nara begitu keduanya sampai di tenda. Taeil dan Kihyun serempak saling melempar pandangan, kemudian keduanya tertawa kecil.
"Rahasia cowok.", jawab Taeil singkat, membuat Nara memicing sebal dan kembali sibuk membuka camilan, yang segera Kihyun ambil alih karena Nara kesulitan membukanya.
Taeil baru saja hendak mencomot keripik kentang, saat ponselnya tetiba berbunyi karena ada pesan masuk. Keningnya seketika berkerut kala melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Kemudian ia berdecak sebal ketika membuka pesannya. Wooseok menyenggol pelan lengannya untuk bertanya ada apa, yang dijawab dengan Taeil menunjukkan layar ponselnya.
"Ah! Kenapa dia nggak ngebiarin kita hidup tenang, sih?!", Wooseok berseru kesal, membuat semua orang menoleh padanya sekarang.
Taeil tersenyum tipis, "Kayaknya aku harus pamit duluan.". Semua orang memandangnya penasaran. "Lee Daesuk kabur waktu keamanan kantor diretas seseorang. Emang nggak akan mudah bikin dia diam barang sejenak.", jelasnya. Ia menghela nafas dan beranjak dari duduknya untuk mengambil jaketnya yang berada di dalam tenda. "Lanjutin aja acaranya, semoga besok pagi aku masih bisa ke sini.". Taeil melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan mereka.
"Ayah semangat! Hati-hati! Jangan biarin dia kabur lagi!", Nara berseru sembari melompat-lompat dan melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi. Taeil berbalik dan tersenyum, lalu membalas lambaiannya sebelum ia kembali berjalan.
Mari beri semangat untuk Kim Taeil yang sepertinya tak akan pernah mendapat 'hari tenang' jika Lee Daesuk masih berkeliaran di muka bumi

PermataCimahi, Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun