Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Geheim

7 Mei 2019   07:02 Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Ayah ngapain?", tanya Nara saat melihat Taeil tengah berjalan bolak-balik di ruang tengah sambil menatap ponselnya.
"Temen ayah ada yang mau pindahan ke sini. Lagi nunggu teleponnya."
Nara manggut-manggut. "Aku izin ke atap, ya.", pamitnya sambil berjalan menuju pintu. Taeil awalnya hanya mengangguk, namun ia melirik pakaian yang dikenakan Nara.
"Eh, tunggu!", cegat Taeil. "Kok pake rok? Kalo ada angin gede, terus rok kamu terbang gimana?"
"Aku udah pake celana pendek, kok. Lagian, nggak ada yang suka ke atap selain aku. Udah ya, aku pergi!"
**
Seperti biasanya, Nara akan pergi ke pinggir atap untuk melihat pemandangan kota. Tidak ada yang berubah sama sekali dari kotanya, namun ia tidak pernah bosan. Sesekali ia jahil memanggil orang-orang yang tengah berjalan di bawah hingga mereka celingukan, sementara Nara langsung berjongkok dibalik tembok untuk menyembunyikan dirinya.
Selang beberapa menit, angin berhembus sangat kencang dan menghempaskan rok Nara, seperti dugaan Taeil. Nara terkejut dan langsung menahan roknya agar tidak terlalu terbuka. Ia tertawa pelan dan melihat sekeliling.
Matanya langsung membulat saat melihat lelaki yang sepantaran dengannya tengah diam di pintu masuk ke atap.
"HEI! DASAR TUKANG INTIP!", teriak Nara.
Lelaki itu mengerjapkan matanya, "A-apa? Ngintip apa?"
Nara berjalan menghampirinya, "Kamu tadi ngintip, kan, waktu rok aku terbang?! Dasar mesum!". Nara memukul lelaki itu bertubi-tubi hingga lelaki itu merintih kesakitan. Meskipun punya tubuh yang mungil, kekuatan Nara bisa disejajarkan dengan lelaki.
"Aku nggak ngintip, kok! Aku baru---aw!---aku baru aja dateng! Beneran!", sanggah lelaki itu.
"Bohong! Kamu bohong! Aku aduin ke ayah aku!", Nara berlari lewat tangga darurat dan menemukan Taeil saat hendak turun ke lantai 18.
"Ayaaaaaah!". Nara menghampiri Taeil yang tengah mengobrol dengan seorang wanita.
"Kenapa, Nara? Kok lari-lari?"
"Tadi ada cowok yang ngintipin aku!"
Taeil mengernyit, "Di mana?"
"Nggak, paman! Aku nggak ngintip!". Lelaki yang tadi dipukuli Nara menghampiri mereka.
"Nih! Dia yang ngintip, nih!", seru Nara sambil menunjuk-nunjuk wajah lelaki itu.
"Aku nggak ngintip dia, paman, beneran! Aku baru aja dateng, kok!"
"Aduh, sebentar anak-anakku. Jangan teriak-teriak gini.", wanita yang tadi mengobrol dengan Taeil menengahi. "Coba jelasin pelan-pelan, deh."
"Cowok ini tadi ngintip waktu rok aku terbang."
"Nggak, paman. Aku baru datang pas angin gedenya berhenti.". Lelaki itu menatap wanita itu, "Jinwoo nggak ngintip kok ma, serius!"
Wanita itu tersenyum, "Iya, kamu nggak sengaja, iya."
"Ah, kalian. Belum juga kenalan udah berantem aja.", kata Taeil. "Coba kenalan dulu. Nara, ini Minha, temen kerja ayah yang baru pindah ke unit 1903, persis di atas unit kita". Minha tersenyum padanya.
Nara membungkuk hormat pada Minha, "Halo, bibi. Aku Nara."
"Cowok yang tadi 'katanya' ngintip kamu ini, anaknya Minha. Namanya Jinwoo."
Nara dan Jinwoo malah saling melempar tatapan sinis. Taeil dan Minha sama-sama tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Lama kelamaan mereka bakal akur kali, ya.", ujar Minha pada Taeil. "Jinwoo, mama mau ke minimarket depan. Mau ikut, nggak? Atau mau nitip aja?"
"Ikut aja. Aku bosen."
"Ya udah, kita juga mau pulang, kok.", pamit Taeil. Ia dan Nara menuruni tangga karena tinggal turun satu lantai lagi, sementara Minha dan Jinwoo memakai lift.
**
"Hari ini kamu pulang naik bus, ya. Nggak apa-apa?", tanya Taeil. Nara terperangah.
"Beneran ngebolehin?". Taeil mengangguk. Nara sumringah, "Kok tumben ngebolehin?"
"Eh, tapi nggak sendiri, ya. Bareng sama Jinwoo."
Wajah Nara mendadak kusut.
"Ayah ada urusan pekerjaan, nggak tahu bakal beres kapan. Ayah khawatir nggak bisa antar jemput kamu. Kebetulan Jinwoo juga sekolah di sini, jadi kalian pulang pergi bareng aja, ya. Ayah juga udah bilang ke Minha, dan Jinwoo juga udah setuju."
Nara menghela nafas. "Ya udah, deh. Mau gimana lagi.", gumamnya. "Aku pergi dulu ya, Yah."
**
"Katanya, bakal ada murid baru cowok ke kelas kita, loh.", kata Seonghun. Nara yang menelungkupkan wajahnya tidak bereaksi apa-apa. Sudah pasti anak baru yang dimaksud Seonghun adalah Jinwoo.
"Iya, aku juga denger.", jawab Bona. "Kayaknya bakal sebangku sama kamu deh, Ra."
Nara langsung mendongak, "Kok aku?"
"Cuma kamu yang nggak punya temen sebangku di sini."
Nara menghela nafas dan kembali menelungkupkan wajahnya. Sudah bertetangga, satu sekolah, dan sekarang harus sebangku? Sepertinya Nara sudah berbuat kesalahan besar di kehidupan sebelumnya hingga harus menderita seperti ini.
Bel masuk pun berbunyi. Selang beberapa menit, wali kelas Nara memasuki ruang kelas dengan diikuti oleh seorang siswa.
"Kelas kita kedatangan murid baru lagi.". Wali kelas memberi isyarat pada siswa itu untuk memperkenalkan dirinya.
"Namaku Lee Jinwoo, pindahan dari Seoul."
"Jinwoo, kamu duduk di bangku belakang, sebelah Kim Nara."
Nara memberi tatapan tajam seiring Jinwoo berjalan menuju bangkunya, sementara Jinwoo menatapnya datar. Nara sedikit menggeser bangkunya ke arah jendela.
"Jangan deket-deket. Nanti aku aduin ke ayah.", ancam Nara. Jinwoo hanya memutar bola matanya.

Lima

Sudah seminggu ini hati Nara terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ia senang karena akhirnya bisa berangkat dan pulang menggunakan bus kota lagi. Ia jadi bisa tahu banyak tempat dan jalan lain yang tidak akan ia lewati jika ia diantar jemput oleh Taeil. Namun di sisi lain, ia juga mengeluh karena harus terus bersama Jinwoo.
Nara tidak akan begitu mempermasalahkannya apabila ia dan Jinwoo hanya bertemu di waktu berangkat dan pulang. Toh itu masih hal yang wajar, mengingat rumah mereka yang hanya berbeda satu lantai. Lagipula, Nara masih agak ketakutan berangkat dan pulang sendiri sejak kejadian itu. Kebetulan dari semua teman sekelasnya, hanya Jinwoo yang rumahnya searah dengannya, jadi ia merasa sedikit aman.
Yang membuat Nara menjadi dongkol ialah Jinwoo yang tidak hanya bersamanya saat berangkat dan pulang, namun juga setiap saat. Setiap Nara hendak ke kantin, perpustakaan, atau taman sekolah, Jinwoo akan selalu berjalan di belakangnya, dengan dalih belum-kenal-lingkungan-sekolah. Mulanya sih, Nara biarkan. Namun, setelah berjalan hampir dua minggu, Jinwoo masih melakukan hal yang sama.
"Ngapain ngikutin terus, sih?! Kamu mau aku laporin ke guru kalo kamu penguntit?!", bentak Nara suatu hari, jengah melihat Jinwoo yang terus mengikutinya menuju perpustakaan.
"Hah? Siapa yang ngikutin? Orang aku juga mau ke perpustakaan, kok.". Jinwoo mengangkat buku tebal yang tengah ia pegang lalu melengos melewati Nara masuk ke perpustakaan.
Ini, yang membuat Nara terkadang merasa tidak masuk akal untuk memarahi Jinwoo. Meskipun ia yakin Jinwoo membuntutinya, Jinwoo pasti punya alasan yang logis yang membuat Jinwoo dan ia pergi ke tujuan yang sama. Entah alasan betulan atau dibuat-buat, Nara tak tahu. Yang jelas, Nara jadi tidak bisa menyuruhnya untuk menjauh. Ia jadi terpaksa membiarkan Jinwoo berada di sekitarnya, layaknya bulan yang mengorbit ke bumi.
**
Nara beserta seisi kelasnya tidak mengerti, mengapa staf kurikulum sekolahnya menempatkan jadwal pelajaran Sejarah untuk kelasnya di jam pelajaran terakhir, bukan pertama. Apa mereka tidak mengerti kalau pelajaran Sejarah bisa membuat para murid mengalami efek seperti habis meminum obat flu? Suasana kelas yang diharapkan penuh dengan tanya jawab, malah diisi dengan para murid yang sekuat tenaga menahan matanya agar tidak tertarik gravitasi.
Nara pun awalnya begitu. Ia bahkan sampai diam-diam berbagi permen dengan Jiho, yang duduk di bangku sebelahnya. Tetap saja, efek dari permen itu hanya bertahan selama lima menit. Nara hendak memutuskan untuk tidur saja, hingga ia melihat Jinwoo yang sudah pulas tertidur. Ia bahkan tidak terusik oleh benturan kursi Seonghun dengan mejanya karena si empunya kursi tengah menghindar dari pukulan tempat minum Bona.
Wajah Nara langsung cerah ketika sebuah ide terlintas di pikirannya.
Bel pulang berdering dengan kencang. Seperti yang Nara perkirakan, Jinwoo belum terbangun. Nara mengepalkan tangannya dengan bangga. Ia membereskan barang-barangnya dengan perlahan lalu bangkit dari kursi dengan hati-hati, mencoba bergerak sehening mungkin.
"Lah, Jinwoo nggak bakal dibangunin?", tanya Seonghun. Tangannya bergerak hendak menggoyang pundak Jinwoo, namun ia tarik kembali karena Nara memukulnya.
"Biarin aja. Biar nginep di sini sekalian.", ucap Nara ketus. "Ayo ih, keluar.". Nara menarik paksa Bona dan Seonghun.
Karena perut Nara sedang tidak bersahabat dengannya, Nara pun berpisah dengan Bona dan Seonghun untuk pergi ke kamar mandi. Beres dengan urusannya, ia pun cepat-cepat keluar, karena takut Jinwoo sudah terbangun dan menyadari Nara sudah pulang, lalu mencarinya.
Tepat saat keluar dari kamar mandi, ia berpapasan dengan Kiyoung.
"Selamat sore, pak.", sapa Nara sambil membungkukkan badan, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Kiyoung yang sedang fokus pada ponselnya hanya mengangguk. Sepersekian detik kemudian, ia memanggil Nara.
"Ada apa, pak?", tanya Nara.
"Kamu... bisa bantu saya sebentar, nggak? Saya mau masukkin nilai hasil ulangan, tapi saya juga harus ke ATM. Kamu bisa tolong bantu masukkin nilanya?"
Nara diam sejenak. Awalnya ia ingin menolak karena malas, namun ini bisa dijadikan alasan jika Taeil bertanya mengapa ia tidak pulang bersama Jinwoo.
"Oh, iya boleh---"
"Kim Nara!"
Wajah Nara langsung masam tatkala ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia menolehkan ke belakang perlahan, dan mendapati Jinwoo yang berlari ke arahnya.
"Kok ninggalin? Katanya tadi mau nganterin ke toko buku?", tanya Jinwoo. Nara mengernyit. Sejak kapan ia bersedia menemani Jinwoo ke toko buku? Sejak kapan pula Jinwoo memintanya?
"Hah? Ngomong a---"
"Oh, kamu ternyata udah ada janji. Bilang dong, daritadi.", ucap Kiyoung seraya terkekeh pelan.
"Eh, ada bapak. Selamat sore, pak.", Jinwoo yang baru sadar ada Kiyoung langsung membungkukkan badan.
"Ya sudah, saya minta tolong ke yang lain saja. Kalian hati-hati di jalan, ya.", Kiyoung tersenyum, lalu berlalu.
Jinwoo membungkukkan badannya lagi, "Selamat jalan, pak!", serunya. Ia melirik Nara yang tengah menatapnya tajam, "Kenapa lihat-lihat?"
"Kamu yang kenapa! Sejak kapan kamu minta ditemenin ke toko buku?"
"Aku bukannya bilang tadi pagi?"
Nara mendecak, "Ingatan kamu emang bermasalah, ya?"
"Oh, aku belum bilang, ya?", Jinwoo menggaruk kepalanya. "Ya udah, sekarang aja bilangnya. Ayo temenin aku ke toko buku. Aku belum hafal daerah sini."
"Nggak mau, ah. Males. Cari aja sendiri. Aku mau pulang aja."
"Ih, jangan pulang sendiri. Nanti aku dimarahin Paman Taeil. Kamu juga bakalan dimarahin Paman Taeil karena nggak nurut."
Nyali Nara yang tadi sudah ia kumpulkan setinggi gunung, langsung mengempis tatkala mendengar ayahnya disebut. Kalau ia bandel akan amanat Taeil, ia takut celaka lagi.
Nara menghela nafas, "Ya udah, ayo."
**
Jinwoo langsung merapat ke bagian komik-komik Jepang, sementara Nara menepi ke bagian novel. Awalnya, Nara ingin membeli sebuah novel, kalau saja ia tidak ingat di kamarnya masih ada sekitar sepuluh novel yang belum selesai ia baca, bahkan ada yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Nara pun mengurungkan niatnya dan keluar dari toko buku. Tidak, ia tidak akan meninggalkan Jinwoo. Ia hanya ingin melihat-lihat bunga yang terpajang di toko sebelah.
Nara terlalu asyik mencium bunga satu persatu, hingga ia tak sadar sebuah pot bunga yang berada di balkon atas toko bergeser dari tempatnya. Tidak mungkin pot bunga itu bergeser sendiri, karena angin sedang berhembus pelan dan pot itu pasti sangat berat.
Lama kelamaan, Nara menyadari ada kerikil-kerikil kecil yang berjatuhan mengenai kepalanya. Ia mendongak dan terpaku melihat pot bunga yang sudah berada di pinggir balkon dan bersiap untuk terjatuh.
"Nara, awas!"
Seseorang mendorong tubuh Nara ke sisi lain hingga ia terjatuh. Detik itu juga, Nara mendengar suara benda yang pecah. Ia menoleh dan mendapati Jinwoo terduduk sambil memegang kepalanya. Di sekitarnya terdapat pecahan pot bunga dan tanah yang berserakan.
Keterkejutan Nara semakin bertambah saat melihat cairan merah mengalir melewati pelipis Jinwoo.
"Jinwoo!"

Enam

"Udah ih, aku nggak apa-apa."
Entah untuk keberapa kalinya Jinwoo mengucapkan itu agar Nara berhenti menangis. Bukannya menjadi reda, tangisannya malah semakin meraung-raung, hingga mereka menjadi pusat perhatian seisi ruang UGD.
"Ma-afin.", Nara sesegukan. Sisi kasur yang ditempati Jinwoo sampai basah karena tangisannya. "Harusnya a-ku yang kena itu---"
"Heh! Jangan asal ngomong gitu! Harusnya kamu bersyukur bukan kamu yang kena.". Jinwoo memegang perban yang mengelilingi kepalanya, "Ini masih luka kecil, kok. Belum seberapa sama yang pernah aku alamin."
Nara terbelalak, "Kamu pernah punya luka lebih dari ini?"
Jinwoo tersentak. "Eh, ma-maksud aku---"
"Jinwoo! Kamu nggak apa-apa, nak?". Minha tetiba datang dan memeluk Jinwoo. Taeil berada di belakangnya dan langsung menghampiri Nara.
"Iya, ma. Aku nggak apa-apa.". Jinwoo meringis, "Ini, aduh---mama jangan kenceng banget meluknya, dong.". Minha melepas pelukannya dan terkekeh.
"Kamu kenapa nangis? Kamu luka di sebelah mana?", tanya Taeil sambil mencengkeram bahu Nara.
"Nara nggak luka kok, paman. Dia emang nangis terus daritadi, panik kayaknya.", sahut Jinwoo.
"Ih, cengeng banget, sih.", celetuk Taeil yang dibalas pukulan pada pinggangnya.
"Dokter ngebolehin kamu pulang langsung atau rawat inap?", tanya Minha.
"Boleh langsung pulang, kok. Ini luka luar. Tapi minggu depan harus kontrol lagi ke sini."
"Ya udah, ayo langsung pulang, biar Jinwoo bisa istirahat di rumah.". Taeil hendak mengulurkan tangannya untuk membantu Jinwoo turun dari kasur, namun Nara menepisnya.
"Nara aja yang pegangin. Itung-itung permohonan maaf ke Jinwoo selama ini udah jahat.", ujar Nara. Tangannya dengan sigap melingkar di lengan Jinwoo dan memapahnya pelan keluar ruangan. Jinwoo hanya terkekeh pelan.
Sementara kedua remaja itu berjalan perlahan, Taeil menatap punggung mereka dengan senyuman masam.
**
Jinwoo baru masuk sekolah tiga hari setelah kejadian itu. Ia dan Nara langsung dikerubungi penghuni kelas 11-3 sesaat keduanya melangkahkan kakinya di kelas. Berbagai pertanyaan pun berdatangan keroyokan.
"Heh, Jinwoo jagan dikerubungin! Nanti kehabisan oksigen, terus masuk rumah sakit lagi gimana?", ujar Nara. Kerubungan itu perlahan bubar dan memberikan jalan untuk Nara dan Jinwoo menuju bangkunya.
"Ada apa, nih? Kenapa Nara jadi baik ke Jinwoo?", celetuk Bona.
Nara mendecak, "Jahat salah, baik juga salah. Aku harus gimana?"
"Jadi bingung, yang kejatuhan pot bunga tuh, Jinwoo apa Nara?", Seonghun menambahkan.
"Kepalaku yang kena pot, tapi jiwa Nara yang keguncang. Yang sakit siapa, yang nangis malah siapa.", ujar Jinwoo. Nara memelototinya.
"Oh, tsundere nih, Nara? Ngejudesin Jinwoo melulu, tapi sedih pas Jinwoo luka.". Nara hanya memutar bola matanya.
**
"Nggak, nggak bisa. Aku nyerah aja. Aku mau ngehafalin narasi dan dialog novel-novel yang aku baca aja.", Nara terlentang di ruang tengah dengan buku paket matematika yang ia jadikan bantalan.
"Gimana sih, kamu? Ngehafalin isi buku paket biologi sampe khatam, giliran matematika malah mandet gini. Makanya, kalo guru ngajar itu perhatiin.", ujar Taeil yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur.
"Ih, ayah nggak ngerti sih. Gurunya nyeremin, tahu."
"Siapa gurunya? Nyeremin kayak gimana?"
"Pak Kiyoung, guru baru yang barengan masuknya sama aku, loh. Dia suka natap aku tajem banget, kayak mau nelen aku bulat-bulat. Awalnya sih, aku biarin. Tapi, lama kelaman makin sering. Nggak cuma di kelas, kalo papasan di kantin juga kayak gitu. Serem, kan? Aku sampai nggak berani lihat dia."
Taeil hanya merespon dengan gumaman. "Nggak minta ajarin ke temen kamu aja?", tanyanya.
Nara termenung sejenak sebelum menjentikkan jarinya, "Oh iya!". Ia terduduk, mengambil ponsel yang berada di nakas dan mengirim pesan pada seseorang.
"Minta ajarin ke siapa?"
Baru saja Nara hendak menjawab, bel pintu berbunyi. Nara berjalan menuju pintu dan menyambut si tamu.
"Pagi, paman.", sapa Jinwoo.
"Wah, pilihan Anda sangat tepat, Nara!", Taeil menirukan ucapan pada salah satu iklan alat rumah tangga. "Jinwoo jago banget matematikanya. Dulu juga sering ikut olimpiade."
Mata Nara berbinar, "Beneran? Ayah tahu darimana?"
"Y-ya tahu, lah. Minha sering cerita ke ayah, kan."
Nara menggut-manggut. "Ayo sini, cepet ajarin aku.", pintanya sambil menarik tangan Jinwoo menuju ruang tengah.
"Eh, ngapain itu pake pegangan segala?", tanya Taeil.
Nara mengernyit, "Emangnya kenapa? Cuma narik aja, kok."
"Nggak usah narik-narik. Jinwoo kan, bisa jalan sendiri."
Berbeda dengan Nara yang santai dan bahkan menyuruh Taeil untuk menjalin hubungan dengan wanita, Taeil malah cenderung melarang Nara untuk menjalin hubungan dengan lelaki. Ia bahkan selalu curiga jika Nara membawa teman lelakinya ke rumah untuk mengerjakan tugas. Jika Nara meminta izin untuk pergi bersama teman lelakinya ke suatu tempat---bukan berkencan, mereka kebetulan harus membeli suatu barang di tempat yang sama---Taeil pasti akan menyerangnya dengan berbagai pertanyaan dan bahkan mencari-cari alasan yang dapat membuat Nara batal pergi.
Nara kerap kali jengkel dengan sikap ayahnya ini. Rasanya tidak adil, disaat ia membiarkan Taeil pergi dengan siapapun, Nara malah dilarang-larang. Tapi, hati kecil Nara memaklumi sikap Taeil ini. Mungkin jika ia nanti menikah dan punya anak perempuan, suaminya akan melakukan hal yang sama seperti Taeil.
Sekarang, sikap Taeil itu keluar lagi. Ia ikut duduk di ruang tengah sambil menghabiskan ramennya. Padahal, sangat bertolak belakang dengan kebiasaan Taeil yang anti makan apapun di ruang lain selain dapur. Televisi ia nyalakan, namun matanya malah terus terpaku pada Nara dan Jinwoo yang tengah bersenda gurau disela-sela belajarnya.
Tiap kali Nara meliriknya, Taeil memberikan tatapan yang seakan berkata, 'jangan macem-macem, ayah lihat kamu'. Nara membalasnya dengan tatapan jengah, 'ayah terlalu berlebihan'. Nara juga mendapati ayahnya yang memberikan tatapan yang sama pada Jinwoo tiap kali ia tak sengaja melihat ke arah Taeil.
Nara menghela nafas. Kalau begini terus, bagaimana ia akan tahu rasanya jatuh cinta?

Tujuh

Memang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, seluruh kelas 11 di sekolah Nara wajib mengikuti study tour ke luar kota saat pertengahan semester dua. Akan ada beberapa pilihan kota yang disediakan oleh kepala sekolah, yang harus dipilih oleh siswa. Tapi, tetap saja harus ada pertimbangan dari pihak orang tua. Empat bulan sebelum study tour dilaksanakan, para orang tua akan diundang ke sekolah untuk mengadakan rapat bersama kepala sekolah dan para guru. Surat undangan akan dibagikan lewat para murid.
"Apa ini?", tanya Taeil saat Nara menyodorkan sebuah amplop putih. "Isinya uang, ya?"
Nara mendecih, "Dasar matre.", cibirnya. "Itu surat undangan rapat buat study tour. Ayah bisa dateng, kan?"
Taeil membaca isi surat itu dengan perlahan. Lalu, ia menatap tembok dapur, seakan-akan tengah menerawang. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dapur.
"Hmm... bisa nggak ya...."
Nara mencengkeram mangkoknya yang berisi sereal, gugup kalau Taeil tidak bisa datang. Sejak Nara masih SD, Taeil belum pernah datang ke sekolahnya untuk menghadiri rapat orang tua atau mengambil rapot sekalipun. Semuanya diwakilkan oleh Hyemi, kakaknya Taeil. Karena hal itulah, Nara sangat percaya jika ada orang yang mengatakan 'masalah terjadi setiap detik'. Mungkin Taeil terus menerus menangani kasus, hingga tak bisa mengambil rapot anaknya barang sekali pun.
"Bisa dong, Yah. Sekali ini aja dateng. Masa dari dulu nggak dateng, sih.", pinta Nara dengan muka cemberut. Taeil yang melihat itu terkekeh geli.
"Lusa ayah kasih tahu lagi, ya. Harus minta izin dulu ke atasan.", janji Taeil.
Bukan lusa, tapi besoknya Taeil memberi tahu kalau ia bisa datang ke rapat orang tua yang diadakan pekan depan. Nara langsung jumpalitan---bukan, bukan jiwanya yang jumpalitan saking senangnya. Ini benar-benar Nara yang melompat-lompat kegirangan hingga jungkir balik ke belakang. Nara yang jungkir balik, tapi Taeil yang ngilu.
Hari ini, hari rapat orang tua itu dilaksanakan. Meskipun tahu kalau rapat diadakan pada pukul dua siang nanti, Nara merasa cemas karena sejak pagi, sudah banyak orang tua murid kelas 11 yang datang. Nara takut Taeil terlambat datang, atau malah tidak datang sama sekali.
"Paman Taeil bakal dateng kok, tenang aja. Datengnya juga bareng mama aku, kok.", ucap Jinwoo. "Nggak usah cemas gegara lihat orang tua murid lain. Itu sih, merekanya aja yang kerajinan dateng pagi."
Nara mengangguk. Selang beberapa menit, bel masuk berbunyi, dan seluruh murid melaksanakan pembelajaran seperti biasa.
**
Sekarang sudah pukul satu siang. Nara mengintip ke jendela, dan melihat kerumunan orang tua yang sedang duduk di taman sekolah perlahan bubar untuk pergi ke aula besar, tempat rapat itu dimulai. Ia mencoba mencari-cari sosok ayahnya, namun tidak ketemu. Ia hampir saja mengeluarkan dengusan keras kalau saja tidak ingat guru fisikanya yang terkenal galak itu masih mengajar di kelas. Bisa-bisa ia disuruh menyelesaikan soal materi Impuls dan Momentum di depan, padahal sudah jelas Nara buta pelajaran fisika.
"Ah, kayaknya ayah telat deh, Jin. Berarti bibi Minha juga telat, dong?", tanya Nara sambil berbisik.
"Nggak apa-apa, lah. Daripada nggak dateng?"
Secara sembunyi-sembunyi, Nara membuka loker di bawah mejanya dan menekan tombol di ponsel agar layarnya menyala. Senyuman kecil tersungging di bibirnya kala mendapati pesan dari Taeil.
'Ayah sama Minha udah di parkiran. Rapatnya bener di aula besar, kan?'
**
Bel pulang berbunyi dua jam kemudian. Namun, para murid di kelas Nara tidak langsung keluar. Pelajaran terakhir hari itu adalah Seni, namun gurunya tidak dapat masuk karena ia ikut memandu rapat orang tua. Para murid pun ditugaskan untuk membuat prakarya apapun dari bahan-bahan yang telah disediakan, bersama dengan teman sebangku. Seandainya tugas itu bisa dikerjakan di rumah, tentu mereka akan langsung berhamburan keluar dan langsung pulang atau menunggu orang tuanya selesai rapat. Sayangnya, guru seni mereka menginginkan tugas itu selesai di hari itu juga.
Sontak saja semua murid merasa kesal. Kangjoon---ketua kelas---yang memberi tahu tugas ini saja menggerutu tak henti sambil mengerjakan tugasnya. Ia pun menyarankan agar masing-masing meminjam buku prakarya di perpustakaan, supaya cepat mendapat inspirasi dan lebih hemat waktu agar cepat pulang.
Setengah jam berlalu, beberapa murid sudah ada yang menyelesaikan tugasnya. Ada yang memang benar-benar sudah selesai, ada pula yang sebenarnya tidak tahu membuat apa namun ingin cepat-cepat pulang, sehingga mereka menerapkan prinsip 'nggak peduli bentuknya apa, yang penting beres'.
Lima belas menit kemudian, kelas sudah hampir kosong, menyisakan Nara, Jinwoo, Bona, dan Seonghun. Bona dan Seonghun sedikit lagi menyelesaikan tugasnya, sementara Nara dan Jinwoo baru selesai setengahnya karena keduanya terlalu lama merundingkan bagaimana bentuk prakarya yang akan mereka buat---mereka bahkan sempat berdebat kecil.
Pamitan Bona dan Seonghun hampir tidak dihiraukan, Nara dan Jinwoo terus sibuk dengan prakarya mereka. Selang beberapa menit, akhirnya tugas mereka selesai.
"Ayo cepetan beresin sampahnya. Ayah pasti udah nunggu.", gerutu Nara. Selesai membereskan meja, keduanya berjalan keluar menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan buku, lalu pergi ke ruang guru.
Dari kejauhan, Nara dapat melihat Taeil berdiri di depan ruang guru, membelakangi jendela ruang itu. Ia terlihat tengah berbicara dengan seseorang, namun Nara tak dapat melihat orang yang diajak Taeil bicara karena ia berdiri di balik tembok.
"Ayah!", panggil Nara. Taeil menoleh pada Nara dan tersenyum, lalu menatap orang yang diajaknya bicara dengan wajah yang dingin. Hanya sebentar, setelah itu ia menunduk sambil memijit pelipisnya. Nara berlari kecil menghampirinya, sekaligus ingin tahu dengan siapa ayahnya berbicara. Namun, orang itu sudah berbalik dan pergi memunggungi mereka.
Rasanya percuma orang tersebut langsung berbalik, karena dari posturnya saja, Nara sudah tahu kalau itu guru matematikanya, Kiyoung.
Nara mengernyit melihat Taeil, "Ayah kenapa?", tanyanya.
Taeil tersentak, "Hah? Ng-nggak apa-apa, kok."
"Ayah beneran kenal sama Pak Kiyoung?"
"Pak Kiyoung siapa?"
Nara mendecak, "Yang tadi, ih. Guru matematika aku. Ayah tadi ngobrol sama dia, kan?"
Taeil tertegun. Ia malah melirik Jinwoo yang tengah berjalan ke arah mereka, membuat Nara juga jadi menoleh pada Jinwoo. Jinwoo yang tetiba ditatap hanya mengernyit.
"Kenapa?", tanyanya. Taeil menggeleng, sementara Nara mengangkat bahu.
"Itu apa? Tugas?", tanya Taeil melihat prakarya di tangan Jinwoo, seakan mengalihkan pembicaraan.
"Oh, iya. Mau dikumpulin sekarang. Bentar ya, paman.". Jinwoo menyikut Nara yang masih menatap Taeil heran dan menggelengkan kepalanya sedikit untuk mengajaknya ke ruang guru. Nara pun mengikutinya. Beberapa saat kemudian, keduanya keluar.
"Udah?", tanya Taeil. Nara dan Jinwoo kompak mengangguk. "Ya udah, ayo pulang."
"Paman lihat mama?", tanya Jinwoo.
"Ada, di kantin. Laper, katanya. Kita samperin dulu.". Taeil berjalan duluan meninggalkan mereka. Nara mengernyit heran.
"Ayah kenapa ya? Habis ngobrol sama Pak Kiyoung jadi gitu.", bisik Nara. Jinwoo hanya membuka mulutnya sedikit, mengerjap-ngerjap, lalu mengangkat bahunya.
"Kok jadi pada aneh gini, sih?", batin Nara.

Delapan

Nara menghampiri guru olahraganya sambil meringis memegang pipi kirinya. Bola voli yang hendak ditangkap Nara dari Jia meleset mengenai pipinya tepat saat ia menoleh karena panggilan guru olahraganya.
"Ada apa, pak?"
"Kamu dipanggil sama Bu Mirae, disuruh ke ruang konseling sekarang."
Nara tersentak, mencoba mengingat-ingat apa kesalahan yang ia perbuat, hingga ia dipanggil ke ruang yang sering disebut 'ruang masalah' oleh teman-temannya.
Guru olahraganya yang menyadari hal itu tertawa kecil, "Tenang aja, kamu nggak buat masalah, kok. Ada yang mau ketemu kamu, katanya."
Nara menghela nafas lega. Setelah diizinkan, ia segera berlari ke ruang konseling yang letaknya di ujung koridor lantai dua. Saat ia masuk, ia mendapati Minha yang terduduk dengan wajah yang ditekuk dan masih memakai pakaian kerjanya.
"Loh, Bibi Minha?". Minha mengangkat wajahnya yang terlihat sembab. Nara terkejut dan segera duduk di sebelahnya, "Bibi kenapa?", tanya Nara.
"Nara... Nara sekarang ikut pulang sama bibi, ya.". Nara mengernyit, menunggu Minha menjelaskan apa yang terjadi. Minha mengusap air matanya, "Taeil kecelakaan tadi pagi di wilayah Yeonsu 3, waktu mau berangkat ke Daejeon. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Red Cross dan lagi persiapan buat operasi."
Seakan jiwanya sudah melayang, Nara hanya tertegun saat mendengar penjelasan Minha. Lidahnya seakan kelu, sehingga Minha yang meminta izin pada Mirae agar Nara bisa pulang duluan. Ia menuntun Nara menuju kelasnya untuk mengambil tas, dan pergi menuju mobilnya.
"Mama! Mau ke mana?", Jinwoo yang baru kembali dari gedung olahraga menghampiri Minha yang tengah membantu Nara masuk mobil. "Kok bawa-bawa Nara?"
"Paman Taeil kecelakaan. Mama harus bawa Nara ke rumah sakit, buat persetujuan prosedur operasi. Kamu nanti mama jemput pas pulang sekolah, terus kita langsung ke rumah sakit."
Jinwoo pun terpaku saking terkejutnya. Ia hanya mengangguk dan menatap mobil Minha sampai hilang dari pandangannya.
**
Tangis Nara baru pecah saat ia melihat Taeil memasuki ruang operasi. Hyemi---kakak Taeil---yang juga datang, mencoba menenangkannya, meskipun tangisan mereka sama-sama tak dapat terbendung.
Sambil menenangkan Nara, mulut Hyemi tak berhenti berkomat-kamit, berdoa agar adik satu-satunya itu selamat. Setelah orang tua mereka meninggal 20 tahun yang lalu, Hyemi dan Taeil hanya saling memiliki satu sama lain.
Kelelahan karena menangis selama hampir satu jam, Nara pun tertidur di pangkuan Hyemi. Hyemi tak berhenti menatap pintu ruang operasi, berharap dokter akan keluar dari sana dengan kabar baik di tangannya.
Dua jam kemudian, dokter keluar dari ruang operasi. Hyemi yang tak dapat berdiri karena Nara tertidur pulas hanya menatap dokter itu seiring ia menghampiri Hyemi.
"Anda keluarga Tuan Kim Taeil?"
"Iya, saya kakaknya. Bagaimana hasilnya, dok? Adik saya selamat, kan?"
Dokter mengangguk, "Tuan Kim Taeil selamat. Saat ini, ia masih dibawah pengaruh obat bius, kemungkinan baru sadar nanti sore menjelang malam. Tuan Kim Taeil baru boleh dijenguk dua jam lagi."
Hyemi menghembuskan nafas lega, "Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak.", ucapnya sambil menjabat tangan dokter.
Nara yang terganggu oleh gerakan Hyemi akhirnya terbangun. Ia terduduk tepat saat dokter itu berlalu meninggalkan mereka.
"Operasinya udah selesai, bi?", tanya Nara.
"Baru aja, selesai."
Kesadaran Nara seketika kembali sepenuhnya. Matanya membesar, "Kondisi ayah gimana? Ayah selamat, kan?"
"Iya, Taeil selamat, Ra."
Lagi-lagi Nara menangis. Kali ini, tangisan bahagia yang mengalir dari matanya.
**
Taeil akhirnya siuman, dan Nara adalah orang pertama yang ia lihat saat membuka matanya. Sejak diperbolehkan menjenguk, Nara tidak mau pergi dari sisi Taeil. Ia terus menggenggam tangan Taeil sembari berdoa agar ayahnya benar-benar baik-baik saja.
"Kakak emang kebetulan lagi di Daegu, makanya bisa di sini?", tanya Taeil pada Hyemi.
"Nggak dong, langsung dari Seoul. Kamu bisa bayangin tadi pagi aku ngendarain mobil sengebut apa.", ujar Hyemi. Taeil terkekeh.
"Kak Yongguk mau ke sini, nggak?", tanya Nara.
"Mau. Yongguk malem ini berangkat dari Busan."
Nara memekik kegirangan. Ternyata, ada banyak hikmahnya dibalik kecelakaan Taeil. Pertama, ia bisa pulang sekolah lebih awal---sungguh tipikal anak sekolah---dan yang kedua, bisa bertemu dengan Yongguk---kakak sepupunya---yang sudah setahun lebih tidak bertemu.
Yongguk dan Nara sangat akrab layaknya adik dan kakak kandung karena mereka sama-sama anak tunggal. Sebelum Yongguk lulus SMA, wajib bagi mereka untuk bertemu minimal seminggu sekali. Entah untuk pergi jalan-jalan, bermain game di rumah, atau mereka hanya tiduran di ruang tengah sambil bercerita macam-macam.
Saat Yongguk ikut tes ke perguruan tinggi negeri dan diterima di salah satu universitas nasional di Busan, mereka jadi sangat jarang bertemu. Jarak Seoul dan Busan yang sangat jauh dan kesibukan kuliah Yongguk pun membuat dirinya jarang pulang ke rumah. Bahkan, sejak Yongguk menjadi mahasiswa, Nara baru bertemu dengannya sekali, saat liburan musim panas tahun lalu.
Mereka serentak menoleh saat seseorang mengetuk pintu. Minha dan Jinwoo datang sambil menenteng beberapa plastik berisi makanan. Nara baru tahu kalau Hyemi mengenal Minha, ketika mereka bertemu dan mengobrol layaknya teman yang sudah akrab sejak lama.
"Nara, kamu ikut pulang sama Minha, ya. Ikut nginep dulu aja di rumah Minha, jangan sendirian di rumah.", titah Taeil. Nara merengut.
"Nggak mau. Nanti siapa yang nungguin ayah?"
"Ada bibi, kan?", sahut Hyemi. "Mending kamu pulang aja. Capek kan, habis olahraga."
Nara melirik pakaian yang melekat pada tubuhnya. Saking paniknya tadi, ia baru sadar kalau sejak tadi siang ia belum mengganti seragam olahraganya.
"Iya ih, belum ganti baju, masih bau keringet.". Taeil mengendus lengannya, "Nih, baunya nempel waktu tadi kamu meluk ayah.". Nara mendelik sebal.
"Ya udah, aku pulang dulu. Besok pagi aku ke sini lagi.". Setelah berpamitan, Nara pun pulang bersama Minha dan Jinwoo.
**
Keesokan paginya, Nara pergi ke rumah sakit bersama Jinwoo untuk bergantian dengan Hyemi menjaga Taeil, karena ia harus menjemput Yongguk yang baru saja sampai di terminal bus Seoul lima belas menit yang lalu. Minha tidak bisa ikut karena harus pergi ke Seoul.
Ketika pintu lift terbuka di lantai lima, Nara terbirit-birit keluar dan berbelok ke kiri.
"Heh, belok kanan.", Jinwoo menarik tangannya.
"Mau pipis dulu. Kamu duluan aja ketemu ayah, ya.". Nara pun segera berlari ke kamar mandi. Sebenarnya ada kamar mandi di kamar Taeil dirawat, namun Nara sudah tidak tahan sejak turun dari bus.
Selang beberapa menit, Nara keluar dari kamar mandi dan segera pergi ke kamar ayahnya. Ia melihat seorang perawat keluar dari kamar ayahnya sambil membawa piring bekas sarapan. Melihat Nara yang hendak masuk, perawat itu tidak menutup pintunya dengan rapat. Nara pun masuk dengan perlahan, takut kalau Taeil tengah tidur karena tirai di sekitar kasur tertutup rapat.
Rupanya, Taeil tidak tidur. Nara dapat mendengar Taeil dan Jinwoo tengah mengobrol. Tangannya hendak bergerak membuka tirai, namun langsung terhenti saat ia mendengar namanya disebut.
"Oh, begitu. Tapi, dia masih suka deketin Nara?"
"Masih, paman. Udah beberapa kali juga aku gagalin. Kadang juga suka digagalin temen Nara yang lain, tanpa sengaja."
"Kamu harus lebih hati-hati. Bisa jadi orang itu curiga sama kamu gegara sering ngegagalin.". Taeil berdeham. "Kalo bisa, alihin perhatian Nara kalo dia mau ngedeketin lagi. Jangan sampe dia ngobrol sama Nara, apalagi sampai berani nyentuh."
"Iya, paman."
Percakapan itu terhenti seketika Nara membuka tirainya. Wajah bingung Nara bertemu dengan wajah terkejut Taeil dan Jinwoo.
"Siapa yang mau deketin aku?"

Sembilan

Sudah hampir setengah jam mereka bertiga saling diam. Nara yang sudah pasti kebingungan akan apa yang terjadi, Taeil yang terkejut, dan Jinwoo yang tidak berani membuka mulut karena memang kebetulan ada diantara mereka.
"Ayah mulai cerita, ya. Dari pekerjaan ayah yang sebenernya.", buka Taeil. "Sebenernya, pekerjaan ayah bukan pengacara. Ayah nggak pernah belajar hukum-hukum negara secara mendalam, cuma hukum-hukum di pelajaran fisika. Pekerjaan ayah---", Taeil menarik nafas, "---adalah agen rahasia."
Nara membelalak, "Kayak CIA gitu? Atau James Bond?"
"Iya, kayak gitu. Ayah kerja di Organisasi Intelijen Nasional. Tugasnya, untuk ngelindungi negara dari ancaman-ancaman musuh. Ayah udah jadi agen sejak masih seumuran kamu, direkrut sama Kakek Dongjun. Kamu tahu kan, kalo Kakek Taegu meninggal waktu ayah masih SMA?". Nara mengangguk. "Ayah waktu itu bilang, Kakek Taegu meninggal karena kecelakaan mobil. Sebenarnya, bukan karena itu. Kakek Taegu meninggal karena dibunuh sama musuh, namanya Lee Wonri.
"Lee Wonri itu salah satu penjahat yang punya bisnis jual beli senjata ilegal. Dia emang udah terkenal sebagai buronan negara, bahkan negara lain pun ngejar dia. Dia nggak pernah segan buat ngebunuh siapapun yang ngehalangin dia dalam ngejalanin pekerjaan kotornya. Dia juga bakal ngincar keluarga si penghalang itu dan dibunuh. Termasuk Kakek Taegu yang emang dari dulu ngejar dia. Kakek Dongjun juga hampir dibunuh, tapi dia masih selamat. Dia cerita ini semua ke ayah, dan ayah langsung minta buat direkrut jadi agen, buat ngejar Lee Wonri dan komplotannya.
"Awalnya, mereka nggak tahu kalo ayah itu anaknya Kakek Taegu. Sampai akhirnya, ayah nikah sama Yumi, temen kuliah sekaligus anaknya Kakek Dongjun. Mereka ngincar Yumi karena dia anaknya Kakek Dongjun, dan ayah juga diincar karena status ayah sebagai suami Yumi, meskipun mereka lebih fokus ngincar Yumi dibandingkan ayah. Entah darimana, mereka akhirnya tahu kalo ayah adalah anaknya Kakek Taegu. Mereka juga jadi fokus ngincar ayah. Mereka udah entah keberapa kalinya nyelakain ayah, termasuk kecelakaan ini.
"Inget kan, ayah pernah bilang kalo Yumi meninggal karena kecelakaan mobil? Sebenarnya, bukan karena itu."
Telinga Nara semakin menegak untuk mendengar penyebab kematian ibunya.
"Waktu kamu masih berumur 9 bulan, Yumi diculik sama komplotan Lee Wonri waktu dia lagi belanja sama Kak Hyemi. Ayah berusaha nyelamatin, tapi sayangnya ayah terlambat."
Taeil mengusap air mata yang jatuh di pipinya, "Yumi dibunuh sama mereka. Sejak saat itu, ayah janji bakal ngejagain kamu sepenuhnya, satu-satunya yang ayah dan Yumi punya. Ayah ingin ngurus kamu sama tangan ayah sendiri, nggak ada campur tangan orang lain. Itulah kenapa, ayah nggak mau nikah lagi.". Taeil menghela nafas, "Jadi, jangan maksa ayah ikut kencan buta lagi, ya."
Nara yang sudah sesegukan menangis karena mendengar penyebab kematian ibunya yang sebenarnya, malah jadi tertawa. "Iya, maaf. Aku kan, baru tahu sekarang.", jawabnya. "Tapi, sekarang ayah masih diincar sama musuh ayah itu?"
"Masih. Kecelakaan mobil yang ayah alamin kemarin juga gegara mereka. Ditambah lagi, sekarang mereka udah tahu kamu.". Nafas Nara tercekat. "Kejadian empat bulan lalu yang kamu diikutin waktu jalan sendirian sampai kamu kecelakaan dan koma, terus sebulan lalu kamu diikutin orang lagi, sampai pot bunga yang hampir jatuh kena kamu, itu semua ulah mereka.". Taeil menghela nafas, "Mereka sekarang ngincar kamu juga. Ayah pikir, dengan kita pindah dari Seoul ke Daegu, mereka bakal kesulitan nemuin kita. Ternyata, mereka sekarang bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
"Lee Wonri sekarang emang udah nggak aktif lagi di dunia kejahatan, tapi bisnis dia diterusin ke anaknya. Guru matematika kamu yang baru itu, yang namanya Im Kiyoung, sebenernya anak dari Lee Wonri. Nama aslinya Lee Daesuk. Kamu pernah bilang kalo dia sering natap kamu tajam, kan? Dia sebenernya lagi mata-matain kamu. Dia juga sering minta tolong ke kamu buat bantu dia, supaya kamu jadi akrab sama dia dan percaya apapun kata-kata dia."
"Tapi, aku nggak pernah jadi bantuin Pak Kiyoung,", Nara melirik pada Jinwoo, "soalnya Jinwoo suka ngehalangin. Tetiba minta anter beli buku, beli alat pancing, atau apapun yang aneh-aneh. Terus, kalo aku mau nyapa Pak Kiyoung, Jinwoo suka tetiba ngajak ngobrol."
"Soalnya, emang itu tugas dia. Ngehindarin kamu dari Lee Daesuk."
Nara mengernyit. Ia menatap Taeil dan Jinwoo bergantian. "Tunggu, tunggu.". Nara menunduk dan memegang kepalanya. Kemudian, ia menatap Jinwoo, "Jadi, kamu juga---"
"Iya, aku agen rahasia juga.", sahut Jinwoo. "Aku ditugasin sama Paman Taeil buat ngelindungin kamu dari Lee Daesuk, sampai Lee Wonri dan komplotannya berhasil kami tangkap. Makanya, aku sering ngikutin kamu. Takut-takut Daesuk tetiba ada di sekitar kamu."
"Nama asli Jinwoo itu Choi Kihyun. Dia anggota tim ayah yang paling muda, makanya ditunjuk buat nyamar jadi anak SMA.", jelas Taeil. "Oh, iya. Kamu harus manggil dia 'kakak', ya. Kihyun lebih tua dua tahun dari kamu."
Nara memijit-mijit pelipisnya. Otaknya masih berusaha mencerna semua yang dikatakan Taeil. Apalagi saat mendengar kalau Jinwoo---yang sekarang ia ketahui bernama Kihyun---berumur dua tahun lebih tua darinya. Masalahnya, sikap Kihyun benar-benar tidak menampakkan ia lebih tua darinya. Wajahnya pun malah terlihat lebih muda dari Nara. Sepertinya, Kihyun akan berhasil menjadi aktor karena aktingnya ini.
"Paman, mereka udah di depan. Kata Kak Wooseok, boleh masuk?", tanya Kihyun seraya menunjukkan pesan dari seseorang bernama Wooseok itu. Taeil mengangguk. Selang beberapa saat, masuklah Minha dan dua orang lainnya---pria dan wanita.
"Nara, ini semua tim ayah. Minha, yang kamu tahunya sebagai ibunya Jinwoo, nama aslinya Geum Hayeol. Dia bukan ibunya Kihyun asli, kok. Anak pertamanya masih TK. Hayeol jago bela dirinya, loh."
Hayeol melambaikan tangannya, "Sekarang panggilnya Bibi Hayeol, ya."
"Yang di sebelah Hayeol,", Taeil menunjuk seorang gadis yang barusan masuk, "namanya Do Aran. Paling ahli kalo nyamar dan bisa niruin suara apapun. Omong-omong, dia seneng banget waktu tahu nama kamu Nara, karena katanya 'Aran' kalo dibalikkin jadi 'Nara'."
Aran cekikikan, "Hai! Panggil aku Kak Aran aja, ya."
"Sok muda banget, minta dipanggil kakak.", cibir lelaki di sebelahnya.
Aran mendecak, "Aku emang lebih muda dari kakak, kan."
Taeil terkekeh, "Yang berantem sama Aran itu, namanya Han Wooseok. Hobinya ngerakit bom dan ngotak-atik barang elektronik apapun dan diubah jadi alat pelacak.". Wooseok hanya tersenyum lebar.
Nara hanya menatap mereka dengan bingung. Belum selesai otaknya mencerna informasi sebelumnya, sekarang ada yang baru lagi.
Aran yang melihat ekspresi bingung Nara langsung tertawa. "Kak Taeil, kayaknya dia masih kaget, deh."
"Jangan terlalu dipikirin, Nara. Lama-lama juga bakal ngerti, kok.", kata Taeil. "Intinya, sekarang kamu harus hati-hati sama guru matematikamu itu, ya.". Nara hanya mengangguk.
Mereka pun melanjutkan obrolan. Mulai dari menanyakan kondisi Taeil saat ini, Aran mengajak ngobrol Nara yang ternyata punya selera musik yang sama, hingga Wooseok yang jahil menjodoh-jodohkan Nara dengan Kihyun lalu mendapat tatapan tajam dari Taeil. Dua jam kemudian, Hayeol, Aran, dan Wooseok pamit pulang karena ada urusan di Seoul sore nanti.
Tepat lima menit setelahnya, Hyemi datang bersama Yongguk. Nara memekik kesenangan saat bertemu dengan Yongguk. Meskipun Yongguk lebih tua empat tahun dari Nara, saat mereka bertemu, mereka tetap akan berpelukan sambil melompat-lompat layaknya kartun Teletubbies.
"Eh, ini siapa?", tanya Yongguk saat melihat Kihyun yang langsung membungkukkan badan pada Yongguk. "Pacar kamu, ya? Ih, Nara udah gede!"
Melihat keterkejutan Kihyun, Nara mencubit pinggang Yongguk. "Bukan, ih! Temen aku, kok. Tetangga aku juga, makanya dia nengok ayah juga.". Yongguk terus menatapnya sambil tersenyum menggodanya, membuat wajah Nara memanas dan ia gelapan sendiri.
"Ayah, Nara lapar. Mau ke kafetaria, ya.", izin Nara. Ia tidak begitu lapar, sebenarnya. Ini sebuah upaya untuk menghindar dari Yongguk yang terus menggodanya.
"Sama siapa? Jangan sendirian."
"Sama Jinwoo, palingan. Eh, bibi udah makan?". Hyemi mengangguk. "Kak Yongguk juga?"
"Belum, sih. Tapi, kamu aja pergi sama pacar kamu. Aku nggak bakal ganggu, ah."
"Dibilangin bukan pacar, ih!", sewot Nara. Ia menyeret Kihyun keluar dari ruangan itu, diiringi dengan tawa puas Yongguk.
"Kak Yongguk ngeselin, ngeselin, ngeselin!", gerutu Nara pelan. Ia sadar wajahnya sudah sangat memerah, makanya ia terus menunduk sepanjang perjalanan menuju kafetaria.
Sementara Kihyun terus tersenyum melihat sikap Nara, sambil menyeimbangkan badan yang terseok-seok karena diseret olehnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun