Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Geheim

7 Mei 2019   07:02 Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sepuluh

Ketakutan Nara pada tatapan Kiyoung semakin bertambah setelah ia mengetahui identitas aslinya yang ternyata bernama Lee Daesuk. Sebelumnya ia memang selalu menghindari tatapan Daesuk dan baru berani mendongak saat ia sudah berbalik menghadap papan tulis. Tapi sekarang, saat Daesuk tengah sibuk menulis rumus di papan tulis pun, Nara tak berani mendongak.
Kihyun meliriknya dan berdeham, memberi tanda agar Nara tidak terlalu menampakkan ketakutannya. Sayangnya, sinyal itu tidak tertangkap oleh Nara. Ia masih asyik menunduk sambil mencorat-coret bagian belakang buku catatannya. Kihyun pun mengambil secarik kertas kecil, menuliskan sesuatu dan menyodorkan pada Nara. Atensi gadis itu langsung teralihkan.
'Jangan terlalu ditunjukkin kalo kamu takut. Makin bahaya kalo dia curiga sama kamu.', begitu isi kertas kecil tersebut berbunyi.
Nara menoleh pada Kihyun yang hanya mengangguk, dengan matanya yang tak beralih dari papan tulis. Ia menghembuskan nafas perlahan. Saat ia menoleh ke depan, matanya langsung bersirobok dengan mata Daesuk. Nara hampir menunduk lagi, kalau saja Kihyun tidak langsung menggenggam tangan kanannya.
Nara tidak tahu kalau energi positif dari seseorang bisa ditularkan atau tidak, namun setelah Kihyun menggenggam tangannya, dapat ia rasakan kalau hatinya menjadi tenang. Perasaan takutnya seakan-akan hilang berangsur-angsur.
"Tenang, tenang. Ada aku, jangan takut.", Kihyun berbisik sangat pelan, bahkan bibirnya nyaris tidak bergerak sama sekali, dan pandangannya tidak beralih dari papan tulis. Jempol tangannya yang mengenggam Nara sibuk mengusap punggung tangan Nara.
 "Makasih, kak.", ucap Nara pelan. Kihyun hanya mengangguk kecil---masih dengan mata menatap papan tulis, seakan-akan mengangguk karena paham akan penjelasan Daesuk.
Sekali lagi, Nara menghembuskan nafasnya sebelum menatap ke depan. Daesuk juga tengah memperhatikannya, dan ia nampak terkejut melihat Nara yang biasanya mengalihkan pandangan, sekarang terang-terangan menatapnya balik.
Tidak, Nara tidak akan pernah mengalihkan pandangan lagi. Sekarang, Nara harus bisa menghadapinya. Ini memang risiko menjadi seorang anaknya agen rahasia, mau tak mau Nara harus menerimanya. Tidak bisa terus-terusan berlari, Nara harus mulai menghadapinya, seperti yang ayahnya lakukan.
Untuk mengganti 'mengalihkan pandangan' sebagai penyalur rasa takutnya jika bertatapan dengan Daesuk, ia akan mengeratkan genggamannya pada Kihyun. Terkadang genggamannya terlalu keras, hingga Kihyun sedikit meringis. Namun ia hanya mengangguk kecil, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa. Genggamannya pada Nara juga semakin erat, seakan mencoba memberi Nara kekuatan.
Detik itu juga, telah muncul rasa ingin melindungi dan ingin terus dilindungi dalam hati mereka.
**
"Aih, minum aku ketinggalan.", gerutu Nara saat baru keluar dari ruang ganti. "Kamu duluan aja ke lapangan, Bon. Aku mau ke kelas lagi, ambil minum.". Belum sempat Bona mengangguk, Nara sudah berlari ke kelas meninggalkannya.
Baru saja Nara hendak keluar kelas setelah mengambil botol minumnya, seseorang masuk ke kelasnya, membuat Nara membeku di tempat.
"Oh, Kim Nara. Kok masih di kelas? Bukannya kelas kalian sekarang pelajaran olahraga?", tanya Daesuk sambil tersenyum---yang menurut Nara sangat menakutkan.
"I-iya pak, minum saya tadi ketinggalan, jadi saya ba-balik lagi ke kelas.". Daesuk manggut-manggut. "Ba-bapak kenapa balik lagi ke kelas ini, pak? Ada yang ketinggalan?"
"Iya, kacamata saya ketinggalan di sini, kayaknya. Saya udah cari di tas, tapi nggak ada. Kamu lihat, nggak?"
Nara menggeleng cepat. "Nggak pak, maaf."
"Kamu bisa bantu sa---"
"Nara, cepetan ke ged---". Obrolan keduanya terhenti saat Kihyun tetiba masuk ke kelas. Ia pun sedikit terkesiap saat menyadari ada Daesuk juga di situ. "Oh, halo, Pak Kiyoung. Sedang apa?", tanyanya setelah membungkuk hormat.
"Saya lagi cari kacamata saya, takutnya ketinggalan di sini."
"Tadi saya nemu kacamata jatuh di deket perpustakaan.", Kihyun merogoh sakunya dan mengeluarkan kacamata dengan bingkai cokelat, "Yang ini, punya bapak bukan?"
Daesuk sedikit terbelalak, "Oh iya, betul ini punya saya."
Tidak, tentu saja kacamata itu tidak terjatuh begitu saja. Setelah mendengar dari Bona kalau Nara kembali lagi ke kelas, Kihyun langsung berlari menyusulnya. Ia memperlambat langkahnya saat melihat Daesuk tengah menaruh kacamatanya di pot bunga dekat perpustakaan. Curiga kalau Daesuk hendak mencoba mendekati Nara lagi, ia membuntutinya. Benar sesuai dugaan, Daesuk masuk ke kelas Nara.
Kihyun menyerahkan kacamata itu, lalu menghampiri Nara dan menariknya ke pintu. "Kalau begitu, kami permisi dulu ya, pak.". Punggung mereka pun menghilang di balik pintu, diiringi dengan tatapan tajam Daesuk.
"Nara! Masuk tim aku!", Bona memanggilnya sesaat ia dan Kihyun memasuki gedung olahraga.
"Kak, aku ke sana, ya.", pamit Nara sambil melepas genggamannya perlahan.
Kihyun mengangguk, "Hati-hati mainnya.", ucapnya, lalu ia bergabung ke kerumunan lelaki.
Tatapan curiga Seonghun mengiringi langkah Kihyun sampai ia duduk di sebelahnya. Kihyun menatapnya heran, "Kenapa, sih?", tanyanya. Matanya segera fokus menonton siswi perempuan yang bertanding voli.
Seonghun menyikut lengan Kihyun, "Kamu suka sama Nara, ya?", tanyanya.
Kihyun menoleh perlahan, "Kok bisa mikir kayak gitu?"
"Kalian lengket banget, sih. Ke mana-mana sering berdua. Pasti timbul rasa suka, dong?"
Kihyun tertegun, lalu terkekeh, "Nggak usah sok nebak-nebak, ah.". Ia kembali fokus menonton pertandingan.
"Tapi beneran, kamu nggak suka sama dia? Minimal rasa kagum, deh. Pasti ada lah, walaupun sedikit."
"Kalo suka, kenapa? Kamu takut ada saingannya?"
Seonghun memutar bola matanya, "Ya kali aku berpaling dari Bona.", ucapnya. "Aku denger dari anak-anak kelas sebelah, banyak cowok yang naksir Nara. Kakak kelas, seangkatan, bahkan adik kelas juga banyak. Cuma, mereka belum berani ngedeketin Nara, soalnya dia sering sama kamu."
"Terus?"
Jitakan keras mendarat di kepala Kihyun. "Ya kamu harus cepet-cepet nyatain perasaan kamu, lah! Nanti Nara malah ngerasa digantungin, terus keburu diambil orang. Aku, sebagai teman yang baik, nggak pengen kamu menyesal di kemudian hari."
Kihyun menghela nafas, "Iya, nanti. Sekarang belum waktunya."
"Kenapa? Mau fokus belajar dulu sampe ujian masuk universitas?". Kihyun hanya tersenyum. Seonghun berdecak, "Ah, alasan basi.". Seonghun pun mengalihkan pandangan pada pertandingan.
Kihyun melirik Seonghun sekejap dan kembali menonton. Senyuman tipis terukir di wajahnya kala melihat Nara yang memekik kegirangan setelah berhasil mencetak skor.
"Nanti, setelah aku berhasil dapet izin dari ayahnya.", ucapnya dalam hati.

Sebelas

"Yakin udah nggak ada barang yang ketinggalan? Minyak angin, obat anti mabuk, makanan, udah dibawa semuanya, kan?", tanya Taeil sebelum menghidupkan mobilnya.
"Udah, ayah. Nih, yang di list udah aku contreng semua.", Nara menunjukkan daftar barang bawaannya di ponsel.
Taeil melirik Kihyun dari kaca spion tengah, "Kihyun juga udah komplit semua?", tanyanya yang langsung dibalas anggukan Kihyun. Setelah memastikan semuanya sudah siap, Taeil pun melajukan mobilnya menuju sekolah Nara.
Hari itu merupakan hari study tour sekolah Nara. Mereka akan pergi ke Taman Nasional Ibu Kota. Melakukan perjalanan sejauh itu sungguh membuat Taeil khawatir. Daesuk untungnya tidak ikut, namun Taeil tetap mewanti-wanti Kihyun agar jangan pernah meninggalkan Nara sendirian, meskipun sebenarnya ia tahu, tanpa ia minta pun Kihyun akan tetap menjaga Nara.
Para murid sudah berbaris rapi sesuai dengan kelasnya saat mereka sampai. Nara dan Kihyun langsung berlari mencari kelas mereka, sementara Taeil berbincang dengan orang tua murid lain.
Selang beberapa menit, para murid mulai mengisi bus yang sesuai dengan kelas mereka. Setelah semua murid lengkap dan sudah berada di bus, mereka pun mulai berangkat. Nara yang duduk di dekat jendela melambaikan tangannya pada Taeil yang masih menunggu di sana sampai bus benar-benar berangkat.
Menempuh perjalanan sekitar hampir dua jam, bus-bus yang mengangkut para murid dari sekolah Nara pun sampai di tujuan. Para murid langsung dibariskan sebelum memasuki gerbang. Setelah memastikan anggota kelasnya sudah berbaris semua, ketua kelas pun diberi tiket untuk anggota kelasnya dan dipersilakan masuk.
Dengan semangat, Nara hendak berlari kecil memasuki gerbang taman. Namun, tangannya yang langsung digenggam Kihyun menghambat langkahnya.
"Kata Paman Taeil, nggak boleh pergi sendirian.", ucapnya. Nara mendecih, namun kemudian tertawa.
"Harus banget ya, pegangan tangan?", celetuk Seonghun.
"Kenapa? Mau juga?", tanya Kihyun dengan nada gurauan.
Seonghun melirik Bona yang tepat berada di sampingnya, "Mau, nggak?"
Bona memicingkan mata dan berjalan menjauh sambil bergidik.
**
Penat mengikuti tur yang diberikan dan memang sudah diberikan free time, mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah toko oleh-oleh.
 "Makanannya sama aja kayak di Daegu, ah.", ujar Seonghun sambil membolak-balik sebungkus roti.
"Kita kan, cuma keluar kota, bukan keluar negeri. Ya pasti sama, lah!", sahut Bona. Nara hanya tertawa melihat tingkah mereka. Ia menoleh ke kanan untuk bertanya pada Kihyun apakah ia mau membeli sesuatu. Namun, ia malah mendapati Kihyun tengah terpaku menatap ke luar jendela. Nara mencoba mencari apa yang tengah ditatap Kihyun, tapi ia hanya mendapati gerombolan orang. Nara menyikut lengannya pelan hingga ia terkesiap.
"A-apa?", tanyanya.
"Mau beli sesuatu, nggak?". Kihyun mengangguk. "Beli apa?". Nara melihat Kihyun menatap sebuah jam dinding yang tergantung. "Mau beli itu?", tanyanya lagi. Kihyun tidak menjawab. Nara mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Kihyun, dan lagi-lagi ia terkesiap.
Nara mendengus saat mengetahui kalau Kihyun tadi melamun. "Kakak kenapa, sih? Ngelamun aja."
"A-apa? Ng-nggak apa-apa, kok.", jawabnya. Kihyun kembali menatap ke luar jendela dan ia celingukan, terlihat seperti tengah mencari sesuatu---atau seseorang. "Kamu bisa tunggu dulu di sini sama Seonghun dan Bona? Aku harus keluar sebentar."
"Mau ke mana?"
"Tunggu sebentar aja, ya. Sebentar banget kok, aku janji.", Kihyun pun melangkah menuju pintu. Belum sempat membuka pintu, Nara sedikit menarik tangannya.
"Aku ikut.", kata Nara. "Kakak udah janji sama ayah, nggak bakal ninggalin aku sendirian."
Kihyun diam, namun sedetik kemudian ia mengangguk. Sambil menggandeng Nara, mereka keluar dari toko itu.
Tangan Kihyun yang lain merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan topi hitam serta kacamata yang berlensa netral. "Nih, pake.", titah Kihyun sambil menyodorkan kacamata itu. Ia sendiri memakai topi itu terlalu bawah, hingga menutupi sebagian wajahnya. "Karena kamu sendiri yang pengen ikut aku nyamar, jadi kamu juga harus nyamar.", jelasnya, seakan-akan tahu Nara hendak bertanya padanya. Nara hanya manggut-manggut dan memakai kacamata itu.
Nara baru mengerti kalau Kihyun tengah membuntuti seseorang saat Kihyun menariknya ke sebuah tembok dan mengintip dua orang pria yang berbeda tinggi itu memasuki sebuah restoran. Setelah dua pria itu masuk, Kihyun menarik Nara untuk masuk juga ke restoran itu. Dua pria tersebut duduk di pojok kanan restoran, sementara Nara dan Kihyun duduk di meja yang berjarak dua meja dari sana. Kihyun menyuruh Nara untuk duduk membelakangi mereka, agar Kihyun tertutupi badan Nara dan bisa dengan mudah memata-matai.
Ia memperhatikan Kihyun yang menatap dua pria di belakangnya dengan fokus. Keadaan restoran memang tidak terlalu ramai, namun Nara tetap saja tidak bisa menangkap pembicaraan dua pria yang tengah Kihyun buntuti itu. Sepertinya mereka berbicara dengan sangat pelan. Nara menyimpulkan kalau Kihyun tengah membaca gerak bibir mereka.
"Selamat siang, kak. Mau pesan apa?", seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menyodorkan buku menu. Nara menatap Kihyun bingung. Mereka kan, datang ke sini untuk memata-matai, bukan untuk makan.
"Pesen apa aja. Punyaku samain sama kamu.", kata Kihyun, dengan mata yang masih terpaku pada meja belakang. Nara pun memesan dua porsi tiramisu dan dua gelas cappucino.
Sambil menunggu pesanan, Nara ingin sekali bertanya pada Kihyun mengenai siapa dua pria yang sedang ia ikuti. Kihyun melirik Nara sebentar, "Nanti bakal aku jelasin mereka siapa. Sabar, ya.", kata Kihyun. Nara terperangah. Apakah Kihyun punya kemampuan membaca pikiran seseorang? Nara hanya mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Sesekali ia menatap wajah Kihyun, dan terlihat raut wajahnya yang sesekali terkejut karena pembicaraan dua pria itu.
Pesanan mereka pun datang. Kihyun mulai memakan makanannya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari dua pria itu. Beberapa menit kemudian, sepertinya pembicaraan rahasia dua pria itu sudah selesai, karena ia dapat mendengar gelak tawa mereka dan obrolan tentang hasil pertandingan dua klub sepak bola di Liga Eropa. Kihyun juga sudah tidak lagi menatap mereka dan mulai mengalihkan pandangannya pada tiramisu yang sedari tadi ia tusuk-tusuk dengan garpu hingga bentuknya sudah tak karuan.
Dua pria itu pergi terlebih dahulu sebelum Kihyun dan Nara menghabiskan makanan mereka. Nara menoleh pada Kihyun, hendak bertanya apakah ia akan membuntuti mereka lagi, namun Kihyun menggeleng pelan.
"Udah cukup.", ucapnya lirih. Ia menghela nafas, lalu tersenyum tipis. "Cepet habisin, yuk. Aku yakin Seonghun sama Bona nyariin kita.". Nara hendak bertanya lagi mengapa Kihyun terlihat sedih, namun Kihyun langsung menggeleng. "Aku nggak apa-apa.", ucapnya. Karena Nara tipe orang yang tidak mau memaksa seseorang untuk bercerita padanya, ia pun hanya mengangguk dan cepat-cepat menghabiskan tiramisunya.
Wajah gembira Kihyun kembali setelah ia mengetahui kalau pesanan mereka mendapat diskon 30% karena restoran tersebut sedang merayakan hari jadi yang kelima dan memberi diskon untuk pasangan kekasih yang datang ke sana. Ia tertawa geli dan mulai bercanda memanggil Nara dengan sebutan 'kekasihku', yang tentu saja langsung Nara hadiahi dengan pukulan di lengannya.
Nara dan Kihyun langsung berjalan menuju tempat parkir, karena Bona mengirim pesan pada Nara bahwa lima menit lagi waktunya untuk pulang. Seonghun langsung protes pada Kihyun saat mereka datang, bertanya mengapa mereka meninggalkan Seonghun dan Bona. Kihyun hanya menjawab mereka melihat sebuah restoran yang menyediakan diskon untuk pasangan kekasih dan mereka makan di sana untuk memanfaatkan diskon itu. Seonghun lagi-lagi protes mengapa ia dan Bona tidak diajak, padahal ia juga ingin mendapatkan diskon.
Saat sudah nyaman duduk di bus, Kihyun langsung bersedekap dan memejamkan matanya. Mengira kalau Kihyun kelelahan, Nara mengurungkan niatnya untuk menawarkan permen padanya. Nara mengambil ponselnya untuk mengabari Taeil kalau mereka sudah dalam perjalanan pulang.
Keadaan bus sudah sepi, nampaknya murid-murid kelas Nara sebagian besar sudah tertidur. Karena tidak bisa tidur meski sedari tadi sudah memejamkan matanya, Nara pun hanya diam sambil memandang ke luar jendela. Ia menoleh pada Kihyun, siapa tahu ia sudah terbangun dan Nara bisa mengajaknya ngobrol. Rupanya, kedua mata Kihyun masih menutup rapat, menandakan dirinya masih terlelap.
Nara baru saja hendak menoleh ke jendela lagi, saat netranya menangkap sebulir air mata yang menetes ke pipi Kihyun, yang detik itu juga langsung diusap oleh sang pemilik air mata itu. Tangan Kihyun kembali bersedekap, terbatuk kecil, berlagak seperti dirinya masih terlelap.
Kihyun benar-benar pandai berakting. Meskipun Nara tak tahu apa yang membuat Kihyun sampai menangis, hatinya juga ikut teriris.

Dua Belas

Nara mencari Kangjoon sesaat setelah ia menginjakkan kakinya di kelas. Ia menyodorkan sebuah amplop berisi surat, "Ki---eh, Jinwoo izin nggak masuk seminggu, ada acara keluarga.", jelasnya. Kangjoon mengangguk paham dan menerima surat itu.
"Ada acara apa sampe dia izin seminggu gitu?", tanya Bona saat Nara sudah sampai di bangku.
Nara mengangkat bahu, "Dia cuma bilang acara keluarga, udah gitu aja."
Tepat hari kelima setelah terlaksanakannya study tour, Kihyun berkata kalau ia harus pergi ke suatu tempat dalam waktu yang cukup lama, entah sampai kapan. Taeil pun menyuruhnya untuk membuat surat izin tidak masuk sekolah untuk seminggu dulu, dan jika dalam seminggu urusannya belum beres, ia bisa membuat surat izin lagi.
Tentu saja Nara bertanya pada Kihyun, urusan apa yang membuatnya harus izin dari sekolah hingga waktu yang cukup lama. Bukannya mendapat jawaban yang diinginkan, Kihyun malah tersenyum dan berkata, "Pokoknya, ini urusan yang penting buat aku. Mungkin nanti kamu bakal tahu, mungkin juga nggak."
Taeil yang Nara kira sudah tahu Kihyun hendak pergi ke mana, rupanya juga terkejut saat mendengar keputusan Kihyun. Bahkan Hayeol, 'sang ibu' pun tidak tahu apa-apa. Kihyun tetap menolak memberi tahu saat keduanya menanyakan alasannya. Kihyun hanya berkata mungkin suatu saat Taeil dan Hayeol akan tahu, tapi sepertinya tidak saat ini.
Taeil bahkan sampai menelepon Wooseok dan Aran yang berada di kantor pusat untuk mencari tahu apakah Kihyun sudah meminta izin pada pimpinan organisasi perihal ini. Mereka bilang sudah, namun para petinggi tidak mau memberi tahu alasannya. Para petinggi bilang, Kihyun yang meminta mereka untuk tidak berkata apa-apa, biar ia saja sendiri yang memberi tahu jika sudah waktunya.
Kihyun berangkat dari Daegu kemarin sore. Awalnya, ia menolak tawaran Taeil yang hendak mengantarkannya ke bandara. Setelah Taeil mengancamnya akan memindahkan ke divisi lain di organisasi jika ia menolak, akhirnya Kihyun luluh. Itu juga hanya mengantarkannya sampai pintu masuk bandara, tidak sampai dalam, karena Kihyun yang keukeuh ingin diantar sampai disitu saja.
"Kira-kira kenapa ya, Kihyun kayak gini?", Taeil membuka diskusi kecil-kecilan di mobil sepulang mereka mengantar Kihyun ke bandara. "Ada yang aneh akhir-akhir ini sama Kihyun nggak, Yeol?"
"Kalo sekarang dipikir-pikir, iya sih... dia akhir-akhir ini aneh. Aku lupa sejak kapan, Kihyun jadi pendiem banget. Ya emang dia orangnya nggak sebawel kakak atau Wooseok, tapi diemnya dia sekarang lebih parah dari sebelumnya.". Taeil hanya menatap Hayeol jengah lewat kaca spion tengah saat dirinya menyebut Taeil seorang yang bawel.
"Kamu gimana, Ra? Ngerasa Kihyun aneh, nggak?"
Nara diam, mencoba mengingat-ingat. "Iya, sih. Jadi agak beda sejak---oh! Aku inget!". Taeil menoleh sekejap pada Nara dan Hayeol memajukan badannya. "Kak Kihyun jadi beda semenjak waktu di study tour, setelah kita ngebuntutin bapak-bapak di restoran."
"Hah? Ngapain ngebuntutin bapak-bapak?", Hayeol keheranan. Nara pun mulai menceritakan saat ia dan Kihyun memata-matai dua pria di Taman Nasional Ibu Kota.
"Kamu lihat wajah bapak-bapak itu gimana, nggak?", tanya Taeil.
Nara mengangguk, "Tapi cuma sekilas, sih. Seorang tingginya kira-kira sama kayak ayah, satunya lagi lebih pendek sedikit. Bapak yang pendek itu, punya tahi lalat di bawah mata kirinya. Tangan kirinya bapak yang tinggi ada bekas codetan."
Taeil tertegun. Ia menengok ke belakang saat mobil benar-benar berhenti karena lampu merah. "Hayeol, kamu masih punya fotonya Dohyun sebelum dia hilang?", tanyanya. Hayeol mengangguk dan cepat-cepat mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar foto. Dalam foto tersebut, ada lima orang sedang berpose di depan air mancur. Ada Taeil, Hayeol, Wooseok, Aran, dan satu pria, entah siapa.
Taeil menunjuk salah satu pria, "Yang punya tahi lalat, kayak gini bukan mukanya?". Nara memicingkan mata, mencoba mencocokkan wajah pria bertahi lalat dengan pria di foto ini.
"Iya, bener dia!". Taeil dan Hayeol sama-sama membelalakkan matanya. "Emangnya dia siapa, Yah?"
Terdengar helaan nafas dari Taeil. "Dia Choi Dohyun, ayahnya Kihyun. Dia wakil ketua tim ayah sebelum Hayeol. Enam tahun yang lalu, dia dinyatakan hilang waktu tim ayah lagi ngejar komplotannya Lee Wonri, dan sampai sekarang belum ketemu.". Nara menahan nafasnya.
"Kayaknya, sekarang aku tahu Kihyun mau ngapain.", ucap Taeil. "Tapi, lebih baik kita jangan cepet-cepet nyimpulin. Kita tunggu aja Kihyun sendiri yang cerita."
**
Sudah dua minggu Kihyun pergi, dan dua minggu itu juga Nara seperti kehilangan semangatnya. Datang ke kelas, lesu. Pergi ke kantin, lesu. Saat pulang pun ia lesu. Kalau kata Seonghun, Nara sudah kehilangan separuh jiwanya, makanya terlihat seperti mayat hidup.
"Hei, mau ke mana?", Taeil menjulurkan kepalanya dari dapur saat memergoki Nara yang berjalan menuju pintu.
"Mau ke atap, ayah. Izin, ya.". Punggung Nara menghilang di balik pintu.
Nara menapaki anak tangga dengan langkah yang gontai. Biasanya, saat ia ke atap, Kihyun sudah berada di sana, sedang tiduran di bangku taman atau tengah menyusun kardus yang tertumpuk di sudut atap menjadi menara yang langsung ambruk saat angin menghempaskannya. Memang nampak seperti orang yang kurang kerjaan, tapi hal itu selalu sukses membuat Nara tertawa.
Nara sudah sampai di depan pintu masuk menuju atap. Ia masih berdiri di depannya, belum menyentuh gagang pintunya sama sekali. Menghela nafas perlahan, berharap saat ia membuka pintu, ia akan menemukan sosok Kihyun. Ia pun membuka pintu perlahan. Dalam hatinya, ia sudah siap-siap untuk kecewa kalau lagi-lagi tak ada Kihyun di sana.
Sungguh hari yang beruntung untuk Nara, karena saat pintunya terbuka dengan lebar, ia mendapati sosok yang ia rindukan tengah berdiri di sisi atap sambil membelakangi pintu, menatap pemandangan kota yang biasa Nara lihat.
"Kak Kihyun!", Nara berlari menghampirinya. Kihyun menoleh dan memberinya tatapan sendu. Ia memutar badannya menghadap Nara yang berdiri di sampingnya.
"Kakak dari mana aja? Kenapa baru pulang sekarang? Kakak nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang luka, kan? Aku khawatir kakak kenapa-napa, tahu!", Nara mengomel. Biasanya, kalau Nara sudah begini, Kihyun akan menekan pipi Nara hingga bibirnya mencuat keluar. Tapi, sekarang Kihyun hanya diam, masih menatap Nara dengan sendu.
"Kak? Kok diem aja, sih?", Nara melambaikan tangannya di depan wajah Kihyun. "Eh, ini beneran Kak Kihyun, kan? Kakak... kamu bukan hantunya Kak Kihyun, kan?", Nara meringis sambil mengusap lengannya. Apalagi, hari sudah hampir petang, dan biasanya kan, 'mereka' muncul di waktu petang....
"Ini beneran aku, Nara.". Sebuah suara muncul dari sosok di hadapannya, membuat Nara menghela nafas lega.
"Ah, kirain hantu!". Nara mengusap dadanya. "Kakak ke mana aja, sih?"
Lagi-lagi Kihyun diam. Ia malah memejamkan mata lalu menengadahkan kepala. Setelah menghembuskan nafas, ia kembali menatap Nara, "Aku mau minta tolong. Boleh?", pintanya.
"Boleh, dong. Minta tolong apa?"
Kihyun selangkah mendekat padanya, membuat nafas Nara tercekat. Sedetik kemudian, Kihyun menopangkan dagunya di pundak Nara dan melingkarkan tangan di bahu Nara.
"Kakak kenapa...?", tanya Nara. Tak lama kemudian, dapat ia rasakan badan Kihyun yang berguncang. "Loh, kakak nangis?!". Nara hendak melepaskan pelukan Kihyun untuk melihat wajahnya, namun tangan Kihyun langsung mencegatnya.
"Jangan. Jangan lihat aku sekarang.", ucapnya lirih.
Nara diam, kemudian mengangguk. Tangannya sekarang berpindah mengusap punggung Kihyun perlahan. "Nangis aja kak, nggak apa-apa. Nangis emang nggak bikin masalah selesai, tapi seenggaknya perasaan kakak jadi lega.". Tidak ada jawaban apapun dari Kihyun, hanya terdengar isakan yang berusaha ia tahan.
Selang beberapa menit, ujung mata Nara menangkap seseorang tengah berdiri di ambang pintu. Saat ia menoleh, ia mendapati Taeil menatap mereka. Nara terkejut, mengira Taeil hendak menghampiri mereka dan memarahi Kihyun yang seenaknya memeluk Nara.
Ajaibnya, Taeil malah bertanya tanpa suara, "Kihyun kenapa?". Nara sedikit mengangkat bahunya. Taeil mengangguk paham, lalu berkata tanpa suara lagi, "Tenangin dia dulu, ya. Nanti ayah mau nanya sesuatu sama dia.", setelah itu ia pergi sebelum Nara sempat mengangguk.

Tiga Belas

Degup jantung Kihyun berderu kencang. Padahal, ia hanya sedang berada di ruang tengah unit apartemen Taeil dan Nara. Berada di sarang musuh berhari-hari tidak pernah membuat ia segugup ini.
Dalam hati ia menyesali keputusannya memeluk Nara di atap satu jam yang lalu. Ia akui, hatinya memang menjadi lebih tenang dibanding sebelumnya saat ia meluapkan tangisannya di pundak Nara, ditambah usapan yang Nara berikan di punggungnya. Sayangnya, ketenangan itu langsung lenyap saat Nara mengajaknya pulang dan berkata,
"Kakak ke unit aku dulu, yuk. Ayah katanya mau nanya sesuatu sama kakak."
Taeil duduk di hadapan Kihyun dan menyodorkan secangkir teh, "Minum ini dulu, biar tenggorokanmu nggak seret.". Kihyun mengangguk, lalu mengangkat cangkir teh dengan tangan yang gemetaran. Taeil tertawa pelan.
"Kamu pasti takut paman bakal marahin kamu gegara kamu meluk Nara di atap?". Tanpa keraguan, Kihyun mengangguk. Membuat Taeil tertawa semakin keras. "Itu diurus kapan-kapan aja. Sekarang, paman mau nanya sesuatu yang lebih penting."
Kihyun sedikit lega, meskipun ia masih harus berhati-hati. Taeil bukan memberikan izin untuk menyukai Nara, ia hanya menunda waktu untuk membicarakan hal itu.
Baru saja Taeil membuka mulutnya untuk bertanya, Nara keluar dari kamar dan langsung duduk di sebelah Taeil. Taeil menatapnya datar.
"Kenapa, sih? Aku juga ingin tahu Kak Kihyun selama ini ke mana aja.", protes Nara. Taeil hanya memutar bola matanya.
"Paman tahu, kamu pergi ketemu sama Dohyun, kan?", tanya Taeil. Kihyun terbelalak, lalu perlahan mengangguk. "Untung Nara lihat pria yang kamu buntutin, walaupun seki---heh, jangan senyum-senyum. Ini lagi serius."
Senyuman bangga Nara berganti menjadi kecut saat Taeil menegurnya.
"Jadi, kamu bisa cerita apa yang udah terjadi?", Taeil kembali fokus pada Kihyun. "Paman sebenernya nggak mau maksa, sih. Cuma, ngelihat tadi kamu nangis sampai segitunya, paman nggak tega ngebiarin kamu nyimpen semuanya sendirian. Paman udah bilang kalo paman anggap kamu kayak anak paman sendiri, supaya kamu nggak ada sungkan sama paman kalo butuh sesuatu."
Kihyun mengulum bibirnya dan mengerjapkan mata, sekuat tenaga menahan tangisnya.
Taeil maju dan mengusap bahu Kihyun, "Nggak apa-apa kalo kamu mau nangis."
Setetes air mata mengalir di pipi Kihyun tepat setelah Taeil berkata begitu.
"Pertama kali aku lihat ayah di Taman Nasional, waktu study tour kemarin. Aku pikir, aku cuma salah lihat, mungkin aja dia cuma orang yang mirip sama ayah. Tapi paman sendiri tahu kan, kalo tahi lalat di bawah mata ayah itu khas banget. Bentuknya hati, bukan lingkaran kayak punya kebanyakan orang. Dari situ aku yakin kalo itu betulan ayah yang selama ini hilang.
"Baru aja aku niat mau nyamperin, ada pria tinggi yang lebih dulu nyamperin dia dan ngajak dia pergi dari tempat dia nunggu. Aku pun buntutin mereka---bareng Nara yang maksa ikut---sampai mereka masuk ke sebuah restoran. Mereka ngobrol dengan sangat pelan, bahkan hampir nggak kedengeran."
"Tapi, kamu berhasil nangkep mereka ngobrolin apa?"
Kihyun mengangguk, "Meskipun pelan, mereka nggak berusaha nutupin gerak bibir mereka.". Ia menarik nafas panjang, "Pria itu nanya ke ayah, apa persiapan ayah udah matang. Ayah bilang, semuanya udah siap, tinggal tunggu waktu yang tepat buat ngelaksanain rencana mereka. Terus, mereka ngomongin senjata-senjata yang bakal mereka pakai buat tempur. Setelahnya, pria itu nanya lagi, apa ayah udah punya nomor telepon aku. Ayah udah punya, katanya, dan berniat buat nelepon aku tiga hari lagi. Terus, pria itu bilang, 'Aku yakin kamu pasti bisa ngeyakinin anakmu itu. Dia pasti masih rindu sama kamu, kan? Selain itu, dia anak yang penurut. Pasti mudah buat kamu untuk ngebujuk dia pindah haluan.'. Ayah ketawa dan bilang kalo itu masalah yang mudah, dan ia juga bilang kalo aku belum sepenuhnya dewasa, sehingga masih mudah dibodohi."
Nara berlari ke dapur untuk mengambil persediaan tisu, karena tisu di ruang tengah hampir habis untuk menguras air mata Kihyun. Kihyun pasti masih akan mengeluarkan air mata yang lebih banyak, begitu pikir Nara.
"Sesuai rencana dia, bener Dohyun nelepon kamu tiga hari setelahnya?". Kihyun mengangguk. "Apa yang dia bilang?"
"Ayah minta buat ketemu di Osaka, dua hari setelah ayah nelepon. Ayah bilang aku harus datang sendirian ke bandara dan aku bakal ditemenin sama salah satu temennya sampai tujuan. Benar aja, tepat setelah aku masuk ke bandara, aku langsung diseret sama pria yang badannya jauh lebih besar dariku sampai kami masuk pesawat. Saat sampai di bandara tujuan, mataku ditutup kain hitam dan lagi-lagi aku diseret sama pria itu untuk masuk ke mobil. Mataku baru dibuka saat aku udah sampai di sebuah ruangan di gedung tua, dan ayah ada tepat di depan aku. Dia tersenyum lebar dan memelukku erat, bilang kalo dia rindu aku, dan basa-basi lainnya.
"Ayah cerita, selama ini ayah menghilang demi kebahagiaannya dan kebahagiaan aku. Dia pergi karena dia muak sama organisasi dan berusaha untuk mencari kebebasannya. Awalnya aku nggak paham apa 'kebebasan' yang dia maksud. Sampai dia nawarin aku 'kebebasan' itu, yang ternyata dia minta aku buat ngekhianatin organisasi, sama kayak yang dia lakuin enam tahun lalu. Dia minta aku buat gabung sama komplotannya Lee Wonri. Katanya, kalo aku gabung, aku bakal berperan jadi double agent dan menguras informasi dari organisasi sebanyak-banyaknya, supaya Lee Wonri dengan mudah ngehancurin organisasi---"
Nara mengacungkan tangan, "Maaf nyela, tapi double agent itu apa?", potongnya.
"Agen yang pura-pura mata-matain pihak target, tapi sebenernya dia lebih setia sama pihak target. Atau, agen yang asalnya ngebela satu pihak, tapi pindah ke pihak lain dengan sukarela atau dibawah paksaan.", jelas Taeil.
Nara menggaruk pipinya, tanda tak paham. "Ah, nanti aja ayah jelasin lagi. Kasihan Kihyun mau cerita malah dipotong sama kamu.". Nara mengerucutkan bibirnya, lalu mengangguk. Taeil mengangkat tangannya untuk menyuruh Kihyun melanjutkan kisahnya lagi.
"Ayah ngasih aku kesempatan buat mikirin ini selama tiga hari, biar keputusan aku matang dan nggak bakal berubah lagi. Tapi aku langsung nolak tawaran dari ayah saat itu juga, tanpa ngambil kesempatan berpikir itu. Ayah tentu aja marah. Dia bilang, aku anak durhaka yang udah ngebangkang dan lebih milih buat ngelawan ayah. Aku nggak peduli sama cap itu, tapi ayah udah bener-bener salah sekarang, dengan putar haluan jadi pihaknya Lee Wonri. Tanpa keraguan, aku langsung pergi dari gedung itu dan balik lagi ke bandara."
"Tapi, tadi mata kakak ditutup. Gimana caranya kakak tahu jalan pulang dari situ?", tanya Nara.
"Mataku emang ketutup, tapi telingaku nggak, Ra. Aku udah kenal Osaka sebaik aku kenal Seoul dan Daegu. Aku bisa tahu ke mana aku di bawa dari suara-suara yang ada di sekitar."
Lagi-lagi Nara tak paham maksud pembicaraan mereka. Ini gegara Taeil dan Kihyun yang kelewat pintar, atau otak Nara yang terlalu lambat berpikir?
"Kayak di film Sherlock Holmes itu loh, Ra. Yang dia dibawa ke Kuil Empat Orde sambil ditutup matanya, tapi dia tetep tahu ke mana dia dibawa gegara dia nyium harum Daun Brittany dari toko roti di Saffron Hill.", kata Taeil. Nara menjentikkan jarinya, lalu bertepuk tangan pelan.
"Wah, keren! Aku pikir cuma Sherlock yang bisa gitu.", pujinya.
"Ayah juga bisa gitu, kok nggak pernah dipuji sama kamu.", cibir Taeil.
Nara mendengus. "Ya aku mana tahu, ayah nggak pernah praktekin itu di depan aku.". Taeil mendecak sebal.
"Terus kalo kamu langsung pergi dari Dohyun, selama dua minggu kemarin kamu ke mana?", tanya Taeil.
"Karena aku yakin mereka bakal ngebuntutin aku kalo aku langsung pulang ke Korea, aku pergi dulu ke Indonesia dan nginep selama sehari. Setelah itu, aku pergi ke Australia. Sorenya, aku langsung ke Spanyol, dan besoknya aku nyebrang ke Prancis buat terbang ke Korea. Aku pulang dulu ke rumah dan jalan-jalan ke kampus buat nenangin diri, dan baru hari ini aku balik ke sini."
Dua reaksi yang bertolak belakang ditunjukkan oleh Keluarga Kim ini. Taeil yang sudah biasa mendengar hal ini hanya manggut-manggut, sementara Nara terperangah mendengar Kihyun yang dengan mudahnya berpindah ke berbagai negara, layaknya hanya berpindah dari ruangan satu ke ruangan lain.
"Besok kamu harus laporan ke kantor tentang semua ini.", pungkas Taeil. "Kebetulan besok paman juga harus ke kantor, jadi kamu bareng paman aja."
"Nara ikut boleh nggak?", tanya Nara.
Taeil mengernyit, "Ngapain?"
"Pengen tahu kantor ayah. Boleh ya? Please....", Nara memohon sambil menggoyang-goyangkan lengan Taeil dan memasang wajah sememelas mungkin. Taeil menatapnya jengah, lalu telunjuknya bergerak mendorong kening Nara agar wajahnya menjauh.
"Iya deh, iya.", jawabnya, membuat Nara melonjak kegirangan di kursinya.
"Lebih baik sekarang kamu pulang, istirahat yang cukup. Paman besok bakal pergi jam 7 pagi.", beri tahu Taeil. Kihyun mengangguk. Setelah pamit, ia pun pulang ke unitnya.

Empat Belas

"Oh, ternyata ini?!", pekik Nara saat mobil Taeil memasuki area parkir sebuah gedung dengan plang 'OIN' di atasnya. "Kalo gedung ini sih, aku juga tahu! Padahal setiap pulang sekolah waktu SMP, aku lewat ke sini. Tapi, baru tahu kalo ini gedung intel."
Taeil menarik tuas rem saat mobilnya terparkir sempurna, "Baru tahu juga kalo ini kantor ayah yang sebenernya, kan?". Ia melepas sabuk pengaman dan menekan tombol pelepas sabuk pengaman Nara. "Ayo turun, Nara, Kihyun."
Mereka langsung berjalan menuju lift saat memasuki gedung. Nara kira, ia akan melihat banyak orang yang berpakaian seperti Pasukan SWAT atau berseragam khas. Nyatanya, semua orang di sini berpenampilan seperti pegawai kantor yang lain, dengan setelan jas atau kemeja. Taeil dan Kihyun juga berpakaian serupa.
Melihat Kihyun memakai setelan jas hitam merupakan hal yang baru bagi Nara. Biasanya, ia hanya melihat Kihyun memakai seragam saat di sekolah dan kaos oblong atau jaket saat di rumah. Penampilannya hari ini membuat Kihyun semakin terlihat dewasa dan lebih tampan dari sebelumnya. Nara sampai berkali-kali memukul dadanya pelan karena ritme degup jantungnya tetiba meningkat saat melihat Kihyun memakai setelan jas.
Mereka keluar saat pintu lift terbuka di lantai 6 dan berjalan menuju ruangan di ujung lorong. Tepat saat tangan Taeil hendak meraih gagang pintu, pintu sudah terbuka duluan dari dalam.
"Astaga!", Aran memekik saat hampir menabrak Taeil yang berdiri di ambang pintu. "Eh, kakak. Kirain siapa. Sama siapa ke si---eh, Nara ikut!", serunya saat melihat kepala Nara yang tersembul dari balik punggung Taeil. Nara tersenyum sambil melambai kecil. Aran melirik pada Kihyun yang berdiri di belakang Nara, "Heh! Kamu ke mana aja?!". Yang ditanya hanya 'haha-hehe'.
"Aku mau ke ruangan Ketua dulu, nitip Nara di sini, ya.", kata Taeil. Ia menoleh pada Kihyun, "Paman bakal telepon kamu kalo para petinggi udah siap. Nanti, kamu langsung ke atas aja, ya.". Kihyun mengangguk. Taeil pun berlalu bersama Aran yang kebetulan mau ke ruangan lain, sementara Nara dan Kihyun masuk ke ruangan.
"Duduk di situ aja, itu mejanya Paman Taeil.", Kihyun menunjuk meja di pojok ruangan. Alih-alih langsung duduk, Nara malah berkeliling ruangan sambil melihat-lihat.
"Bibi Hayeol sama Kak Wooseok ke mana, kak?", Nara membolak-balik sebuah majalah yang tersimpan di meja Hayeol.
"Bibi Hayeol suka datang agak siang, nganterin anaknya dulu ke TK. Kalo Kak Wooseok, kayaknya lagi---ah, udah waktunya.", ujar Kihyun saat melihat ponselnya berdering. "Nara, aku tinggal dulu, ya. Sebentar lagi Kak Aran bakal balik, kok.". Nara hanya mengangguk dan menatap Kihyun hingga punggungnya menghilang di balik pintu.
Sudah hampir satu jam Nara sendirian di ruangan itu. Merasa bosan, Nara pun memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kantor. Sekalian mencari kafetaria karena ia sudah merasa lapar.
"Ih, kenapa ruangan ayah ditempatin di lantai yang sepi gini, ya? Kalo malem-malem horor banget, kayaknya." gumamnya sambil berjalan perlahan menyusuri setiap ruangan di lantai tersebut. Tidak menemukan sesuatu yang menarik, Nara berjalan menuju lift.
"Heh! Siapa kamu?!". Seruan dari seorang pria mengejutkan Nara hingga ia tak jadi menekan tombol turun. Pria itu menghampirinya dengan tergesa-gesa. "Kamu jelas bukan pegawai. Ngapain kamu di sini?"
"Saya lagi ngunjungin ayah saya yang kerja di sini, pak."
"Mana kartu kunjungannya?", pria itu menengadahkan tangannya.
"Kartu kunjungan? Tadi saya nggak pake yang kayak gitu, pak. Langsung aja diajak masuk sama ayah saya."
"Nah!", suara melengking pria itu lagi-lagi membuat Nara melonjak. "Berarti, kamu penyusup! Ayo, ikut saya ke pos satpam!", pria itu menarik tangan Nara paksa.
"Loh?! Lepasin tangan saya, pak! Ayah saya betulan kerja di sini!". Nara meronta, mencoba melepas cengkeraman tangan pria itu yang begitu kuat.
"Kamu nggak bisa nunjukkin kartu kunjungan, berarti kamu penyusup! Jangan ngebantah, ikut saya aja!"
Adegan tarik menarik itu berlanjut selama beberapa detik, hingga pintu lift terbuka dan keluar Taeil dan Kihyun dari sana.
"Ayah!", Nara berseru. Ia menarik tangannya hingga lepas dari cengkeraman pria itu dan bersembunyi di balik punggung ayahnya.
"Loh, ada apa ini?", tanya Taeil.
"Dia penyusup, pak! Masuk ke sini tapi nggak bisa nunjukkin kartu kunjungan!", pria itu menunjuk-nunjuk Nara. Taeil menatap pria itu tak percaya, sementara Kihyun mengulum bibirnya untuk menahan tawa.
"Ah, kartu kunjungan?". Taeil merogoh saku dalam jasnya, mengeluarkan sebuah kartu berwarna merah dan memberikannya pada Nara. "Nih, ayah lupa ngasih ini tadi ke kamu."
Pria itu yang tadinya berang, langsung tertegun. "Loh, dia anak bapak?"
Taeil tertawa, "Iya, ini anak saya, namanya Nara.", jawabnya. "Nara, ini Paman Changkyun, petugas kedisiplinan. Dia emang jeli dan sensitif banget kalo lihat ada orang selain pegawai kantor ini.". Taeil maju untuk menepuk pundaknya, "Kerja kamu bagus. Tapi, lain kali tanya dulu baik-baik, setelah itu hubungi karyawan yang mau dikunjungi orang itu. Kalo ternyata karyawannya nggak ngerasa nerima tamu, baru kamu seret ke pos satpam. Lain kali saya juga bakal ngasih kartu kunjungan ke Nara."
Changkyun terkekeh pelan sambil mengusap tengkuknya, "Saya juga minta maaf, pak. Lain kali saya bakal lebih teliti.". Ia tersenyum pada Nara yang menatapnya jengah. "Kalau begitu, saya permisi.". Ia membungkuk hormat lalu segera pergi dari sana. Tawa Kihyun langsung meledak.
"Astaga, ada penyusup secantik ini?", goda Taeil sambil mengelus kepala Nara. Nara hanya mencebik. Taeil tertawa, lalu merangkul Nara. "Lagian kamu ngapain keliaran, sih?"
Nara mengangkat bahu, "Bosen aja di ruangan. Nungguin Kak Aran tapi nggak balik-balik. Pengen tahu juga ruangan-ruangannya, siapa tahu ketemu kafetaria."
"Kafetaria ada di lantai tiga. Mau ke sana?". Nara mengangguk antusias. "Ayo, bareng ayah turunnya. Ayah juga mau ke ruangan lain di lantai tiga.". Taeil menoleh pada Kihyun. "Kalo nemenin Nara ke kafetaria, nggak apa-apa?"
Kihyun mengangguk, "Nggak apa-apa, paman."
Mereka pun segera memasuki lift dan turun menuju lantai tiga. Saat pintu lift terbuka, Taeil berbelok ke kiri, sementara Nara dan Kihyun berbelok ke kanan. Ruangan yang dituju Taeil tepat berada di samping lift, namun Taeil tidak langsung masuk. Matanya masih terpaku pada gadis kecilnya yang tengah sibuk bersenda gurau dengan pemuda kepercayaannya itu sambil berjalan menuju kafetaria. Seulas senyum tersungging di wajah Taeil.
"Ah, Nara udah besar aja."

Lima Belas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun