Mohon tunggu...
Rizka Yusuf
Rizka Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar

Scribo ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Geheim

7 Mei 2019   07:02 Diperbarui: 7 Mei 2019   07:05 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Pria itu bersimpuh, mendekap wanita yang bersimbah darah di lantai dengan erat. Mulutnya tak berhenti memanggil namanya agar wanita itu bangun, meskipun ia tahu itu tak akan berguna. Sekuat apapun ia memeluknya, sekeras apapun ia memanggil namanya, wanita itu telah pergi selamanya, meninggalkan separuh kekosongan dalam jiwa pria itu.

Kini, penyesalan memenuhi pikiran sang pria. Seandainya ia melarang sang wanita untuk pergi ke luar rumah, seandainya ia bisa menjaga sang wanita dengan lebih baik, seandainya ia tidak begitu sibuk, seandainya ia tidak datang terlambat barang semenit pun saat sang wanita diselimuti bahaya...

Sang pria tak peduli apakah ia harus kehilangan hartanya, bahkan jiwanya sekalipun, jika ia harus menukarnya dengan waktu, agar ia bisa kembali ke masa lalu dan mencegah nyawa sang wanita direnggut paksa oleh tangan-tangan setan itu.

Dua hari kemudian, sang pria kini berdiri di pusara makam sang wanita. Benar-benar tidak ada niatan sedikit pun ia meninggalkan tempat itu barang satu senti. Tepukan para kerabat pada pundaknya yang mengajak ia untuk segera pergi pun langsung ia tepis begitu saja. Setelah beberapa orang menyeretnya paksa, ia baru bersedia untuk meninggalkan tempat itu.

Kesedihan itu terus berlanjut hingga berhari-hari setelahnya. Yang ia lakukan hanyalah meratapi segalanya yang sudah berlalu. Kondisi tubuhnya sendiri bahkan ia telantarkan. Biar saja ia mati, pikirnya, supaya ia bisa menemani sang wanita di alam sana. Rasanya lebih baik begitu, daripada ia menderita seumur hidup karena kehilangan separuh jiwanya yang belum genap dua tahun ia miliki sepenuhnya.

Namun, pikiran itu sirna begitu saja, kala ayah sang wanita menghampirinya dengan seorang manusia mungil di dekapannya, hadiah terindah yang diberikan Tuhan lewat sang wanita. Perlahan, ia menggendong duplikat mungil sang wanita dan menatap setiap senti wajah mungilnya. Betapa sempit pikirannya, mengira hidupnya telah berakhir begitu saja. Hampir saja ia melupakan fakta kalau ia masih mempunyai kebahagiaan kecilnya itu.
"Dia adalah kesempatan terakhirmu.", ucap ayah sang wanita.

Benar, Tuhan masih memberikannya kesempatan. Cukup satu kali keburukan menimpa orang yang ia sayang. Cukup satu kali ia terlambat. Kali ini, ia tak akan membiarkan hadiah terindah itu juga mengalami hal yang serupa.

Pria itu mengangguk, "Aku akan benar-benar menjaganya dengan baik.", janjinya.

Satu

"Bangun, Nara. Kita udah sampai."

Nara terbangun ketika ayahnya menepuk pundaknya pelan. Ia menggeliat dan membuka matanya. Ia langsung memicing karena sinar matahari yang tepat mengarah pada wajahnya.

"Hah? Sampai di mana?", Nara celingukan. Matanya membulat sempurna melihat gedung apartemen berlantai dua puluh tepat di depannya. "Ayah, serius kita pindah ke sini?!"

Taeil---sang ayah---memutar bola matanya. "Ya iya, lah. Masa cuma numpang parkir?"

Nara memekik kegirangan, membuat Taeil yang tengah merapikan tali sabuk pengamannya menoleh keheranan. Ia membuka sabuk pengaman dan pintu mobil, lalu berlari menuju gedung. Namun, langkahnya langsung terhenti kala mendengar seruan Taeil.

"Nara! Bawa dulu barang-barang kamu!"

**

Unit apartemen bernomor 1803 itu langsung dipenuhi dengan kardus-kardus barang. Taeil dan Nara pun segera disibukkan oleh kegiatan menata ruangan.

"Udah beres!". Nara meregangkan tubuhnya setelah puas menata kamarnya.

"Makan dulu, sini!", panggil Taeil. Nara berjingkrak keluar kamar dan menghampiri Taeil yang tengah menata piring makanan di meja makan.

Mata Nara berbinar-binar tatkala melihat sup ayam buatan Taeil. Namun, sedetik kemudian, keningnya mengerut. "Ini udah bener sesuai resep dari bibi Hyemi, kan? Nggak dimasukkin gula lagi, kan?"

Taeil mendecak, "Itu kejadian waktu kamu masih 11 tahun, masa ayah nggak ada perkembangan? Makanya, kamu belajar masak juga, biar nggak protes melulu kalo ayah masak."

"Iya, nanti aku mau belajar masak, sama ibu baru."

"Emang ayah pernah bilang kalo ayah mau nikah lagi?"

Nara menggeleng dan menelan makanannya, "Nggak, tapi akunya yang mau punya ibu baru.". Taeil hanya memberi tatapan tajam.

Jika kebanyakan anak yang lain tidak ingin orang tuanya menikah lagi karena takut orang tua tirinya bertindak jahat, lain halnya dengan Nara. Ia betul-betul menginginkan ayahnya menikah, karena kasihan melihat ayahnya yang harus bekerja dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekaligus. 

Meskipun Nara sering membantu---kecuali dalam hal memasak---namun tetap saja Taeil yang sering mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menyuruh Nara agar serius belajar saja.

Nara bahkan pernah mendaftarkan Taeil di situs kencan buta, yang menyebabkan uang saku pertahunnya dipotong oleh Taeil hingga setengahnya.
Selain agar pekerjaan Taeil lebih ringan, ia ingin Taeil punya seseorang yang bisa menemaninya hingga hari tua. Suatu hari nanti, Nara akan punya keluarganya sendiri, dan ia tidak bisa selalu menemani Taeil. Nara tidak mau ayahnya mati kesepian.

Alasan lainnya adalah, Nara ingin punya sosok seorang ibu. Sejak kecil, ia memang hanya tinggal berdua dengan Taeil. Choi Yumi, ibu kandung Nara, sudah meninggal saat Nara masih berusia empat bulan. Taeil bilang, Yumi meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Nara tidak ingat wajah Yumi dan hanya bisa melihat wajahnya lewat foto pernikahan Yumi dan Taeil. Yumi sangat cantik, dan Nara heran mengapa Yumi mau menikah dengan Taeil yang menurutnya bertampang biasa saja.

Sedetik setelah Taeil mendengarnya, kepala Nara sudah terjepit di ketiak Taeil.

Jangan heran jika melihat Nara dan Taeil yang sering bertengkar layaknya teman. Taeil dan Yumi menikah saat masih berumur 20 tahun, dan Nara lahir tepat setahun setelahnya, sehingga jarak umur Taeil dan Nara cukup dekat. Selain itu, Taeil terlihat lebih muda dari usianya. Banyak orang yang mengira Taeil masih berumur 28 tahun, padahal usia sebenarnya 10 tahun lebih tua. Nara malah curiga kalau Taeil merupakan kakaknya, dan mendiang Kakek Taegu---ayah Taeil---adalah ayahnya yang sebenarnya, karena Nara pernah dengar dari kerabat jauh Taeil, kakeknya juga terlihat lebih muda dari usianya kala ia masih hidup.

"Ayah, aku mau ke atap gedung.", izin Nara setelah beres mencuci piring. Taeil yang tengah memindah-mindahkan kanal televisi di ruang tengah mengernyit.

"Ngapain?"

"Mau ngadem.". Nara mengelap tangannya dan berjalan ke arah pintu. "Sejam lagi aku pulang, ya. Dadah!"

**
Angin sepoi-sepoi langsung menyambut Nara sesaat setelah ia melangkahkan kakinya di atap gedung. Atap itu tidak terlalu luas, hanya ada bangku piknik yang terbuat dari kayu dan beberapa kardus yang menumpuk di salah satu sudutnya. Nara berlari ke pinggir atap dan menikmati pemandangan kota Daegu yang nampak seperti miniatur.

Sejak dulu, Nara memang ingin punya rumah yang mempunyai atap terbuka. Sebelum pindah ke rumah barunya, ia sering bermain ke rumah Jihae, sahabatnya, yang berada di gedung apartemen. Ia suka pergi ke atap gedungnya dan betah berlama-lama di sana. Rumah lama Nara tidak punya atap terbuka, karena hanya terdiri dari satu lantai.

Nara selalu membayangkan bagaimana jika ia tinggal di rumah yang punya atap terbuka. Ia akan berbaring sambil menatap bintang-bintang, berteriak sesuka hati ketika kesal tanpa ada yang merasa terganggu, atau kabur jika ia kesal pada Taeil---mungkin?

Setelah puas memandang kota dan berteriak 'Kim Nara cantik!' hingga orang-orang yang tengah berjalan di bawah celingukan mencari sumber suara, Nara berjalan ke bangku taman dan berbaring di sana, menatap awan yang tengah sibuk memayunginya, hingga tanpa sadar ia tertidur.

"Heh, katanya pergi cuma sejam. Ini udah berapa jam?", seseorang menepuk pipi Nara. Nara membuka matanya dan mendapati Taeil berjongkok di sampingnya. Nara mengernyit, sudah berapa lama ia tidur? Langit biru sudah berubah menjadi jingga. Ia terduduk sambil mengucek-ngucek matanya.

"Kamu belum tidur di kasur kamar, malah udah tidur di sini. Sekalian aja kamarnya pindahin ke sini.", cibir Taeil. Nara mencebik. "Turun, yuk. Udah waktunya makan malem.". Taeil berdiri. Bukannya mengikuti, Nara malah merentangkan tangannya ke depan. Taeil mengernyit, "Apa?"

"Gendong, Yah. Aku pusing."

Taeil mendecak, "Badan udah segede anak gajah masih minta gendong. Nanti ayah encok, gimana?". Nara merengut.

Namun, tetap saja Taeil berjongkok di depan Nara. "Cepet, naik."

Setelah Nara sudah benar-benar naik ke punggungnya, Taeil bangkit dan berjalan menuju lift.

Dua

Mobil Taeil perlahan mendarat di depan gerbang sekolah baru Nara. Taeil mengeluarkan secarik kertas dari saku jasnya.

"Kasih kertas ini ke bu Hayi, staf tata usaha. Nanti, kamu dianter ke kelas sama beliau.", titah Taeil. "Nanti sore tunggu ayah di halte bus yang di depan, ya."

Nara mengangguk. "Oh iya, Yah. Kalo besok aku naik bus aja, gimana? Boleh nggak?"

Taeil mengernyit, "Ngapain naik bus? Ayah masih bisa antar jemput kamu, kok."

"Justru itu, aku nggak mau ngerepotin ayah. Rumah sama kantor ayah jaraknya udah jauh banget, loh. Nanti, ayah telat gegara nganterin aku dan harus selalu pulang duluan buat jemput aku."

Dua minggu yang lalu, saat Taeil pertama kalinya menyebutkan kalau mereka akan pindah rumah, Nara kira ia hanya berpindah dari Distrik Eunpyong ke distrik lain di Seoul. Ternyata, Taeil membawanya pindah ke Daegu, yang berjarak sekitar 237 kilometer dari Seoul. Nara juga mengira kalau ayahnya dipindahtugaskan ke kantor cabang Daegu. Namun saat ia menanyakan hal itu, Taeil bilang kantornya tidak punya kantor cabang. Berarti, kantor Taeil tetap berada di Seoul.

Nara tidak bisa membayangkan Taeil setiap hari harus bolak-balik dari Daegu ke Seoul. Taeil pasti akan menggunakan jalan bebas hambatan, namun kemacetan tetap tidak dapat diprediksi. Bisa-bisa, Taeil yang harusnya menepuh waktu hanya 3 jam, malah jadi lebih lama. Taeil bekerja di sebuah kantor pengacara yang terkenal dengan kedisiplinannya. Kalau Taeil terus-terusan terlambat dan buru-buru pulang, Nara takut Taeil bisa dipecat.
Taeil hanya tertegun mendengar permintaan Nara. Ia tersadar saat Nara mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya.

"Ayah kok malah ngelamun? Boleh nggak, nih?"

Taeil terdiam. "Yakin kamu bisa pulang sendiri?"

"Ya iya, lah. Aku janji bakal hati-hati, kok."

Helaan nafas terdengar dari Taeil. "Ya udah, ayah izinin. Tapi mulai besok, ya. Nanti sore tetep ayah jemput. Kalo naik bus, harus langsung pulang ke rumah, nggak boleh pergi ke tempat lain tanpa izin."

Nara mengangguk cepat, "Makasih, ayah! Aku pergi dulu, dadah!"

**
Nara mengetuk pintu ruang tata usaha. Setelah mendengar suara yang menyuruhnya masuk, ia membuka pintu pelan-pelan.

"Permisi bu, ada Bu Hayi?", tanya Nara pada seorang wanita yang tengah berkutat pada komputer.

"Saya sendiri. Ini Kim Nara, ya?", tanya Hayi.

Nara membungkukkan badannya, "Iya bu, saya Kim Nara.". Ia menyodorkan secarik kertas yang tadi diberikan Taeil, "Saya disuruh kasih kertas ini, bu."
Hayi menerimanya. "Ayo, ibu anter ke kelas 11-3, kelas kamu.". Nara pun mengikuti Hayi keluar ruangan dan menelusuri lorong sekolah. Saat melewati ruang kepala sekolah, dua pria keluar.

"Selamat pagi, pak.", sapa Hayi. Nara juga membungkuk padanya.
"Oh, ini anak baru yang dari Seoul itu, kan?", tanya kepala sekolah.
"Iya, pak. Saya mau mengantarnya ke kelas 11-3."
"Saya juga mau ke sana, nganterin guru matematika baru. Ini, namanya pak Im Kiyoung.". Pria yang berdiri di sebelah kepala sekolah membungkuk pada Hayi dan menatap Nara lekat-lekat. "Sekalian sama saya aja, Hayi. Kamu kembali ke ruangan lagi aja."
"Oh, baiklah, pak.", ucap Hayi. "Nara, kamu dianter sama kepala sekolah, ya.". Nara mengangguk.
Kelas 11-3 yang asalnya ribut karena tak ada guru, mendadak hening saat kepala sekolah masuk bersama Nara dan Kiyoung.
"Anak-anak, hari ini kelas kalian kedatangan murid baru. Nara, perkenalkan dirimu.", ucap kepala sekolah.
Nara melambaikan tangannya. "Halo, semuanya. Namaku Kim Nara, pindahan dari Seoul.", sapanya.
"Dan ini, guru matematika baru pengganti Pak Jaehwan."
"Nama saya Im Kiyoung.", sapa Kiyoung.
"Nara, kamu tempati bangku yang masih kosong, ya.". Nara mengangguk dan menempati bangku yang berada di belakang. "Bapak tinggal dulu, ya. Selamat belajar.". Kepala sekolah pun meninggalkan ruang kelas.
Sebelum memulai pelajaran, Kiyoung mengabsen siswa kelas 11-3 satu persatu, agar bisa lebih mengenal. Selama Kiyoung mengabsen, Nara berkenalan dengan Seonghun dan Bona yang duduk tepat di depannya, karena bangku sebelah Nara kosong.
Setelah beres mengabsen, Kiyoung pun mulai berbicara tentang materi ajar. Seperti kebanyakan pengajar lainnya, mata Kiyoung aktif menatap satu persatu muridnya. Namun, Nara sering menangkap Kiyoung tengah terpaku menatapnya. Bahkan saat ia menyuruh para murid untuk diskusi berkelompok, Nara tak jarang melihat Kiyoung yang seperti memperhatikannya---lebih tepatnya, seperti menyelidiki. Jujur, Nara agak risih ditatap seperti itu. Namun, Nara pikir mungkin wajahnya mengingatkan Kiyoung pada seseorang. Entah cinta pertamanya, anaknya yang sudah meninggal, atau anak tetangganya. Karena dasarnya ia orang yang tidak terlalu peduli sekitar, Nara pun perlahan mengabaikannya.

Tiga

Sudah seminggu Nara pergi dan pulang sekolah menggunakan bus. Taeil masih saja khawatir padanya. Ia akan menelepon Nara untuk memastikan ia benar-benar sudah selamat sampai di sekolah atau di rumah. Kadang hal ini membuat Nara jengkel hingga ia tak mau mengangkat telepon dari ayahnya, dan menyebabkan ia kena nasihat panjang saat ayahnya sudah sampai rumah.
Biasanya, Nara akan langsung turun di halte bus depan gedung apartemennya dan langsung masuk ke unitnya. Namun, kali ini ia tidak turun di halte biasa. Saat masih di bus tadi, ia melihat sebuah toko es krim yang baru buka. Karena tergiur oleh foto es krim yang dipajang dan perutnya yang memang lapar, Nara turun di halte bus terdekat dan langsung berlari menuju toko itu.
Setelah puas memakan es krim, Nara pun berjalan pulang. Ia memutuskan untuk tidak naik bus, karena jarak toko es krim dengan gedung apartemennya masih terbilang dekat, tanggung kalau naik bus. Sekalian ia ingin lebih tahu lingkungan sekitar, tidak sebatas rumah-sekolah-rumah-sekolah saja.
Nara tengah berjalan santai melewati taman sembari menatap pohon-pohon yang tengah memekarkan bunganya, saat ia merasa ada yang mengikutinya. Nara pun menoleh ke belakang, dan mendapati seorang pria yang menggunakan jaket bertudung berwarna hitam dan memakai masker yang juga berwarna hitam tengah berdiri di dekat tiang lampu. Matanya memicing ke arah Nara.
Nara menolehkan kepalanya lagi ke depan dan menegak ludahnya. "Kenapa di sini ada yang ngikutin aku juga?", gumam Nara. Ia pun mempercepat langkahnya. Namun, pria bertudung itu juga ikut mempercepat langkahnya. Nara pun berlari sekencang yang ia bisa. Ia menoleh ke belakang sebentar dan melihat pria itu juga mengejarnya.
Nara terus berlari hingga ia menemukan jalan raya. Ia menyebrang tanpa melihat keadaan jalan dan tertabrak oleh sepeda motor pengantar makanan. Untunglah, pengemudi motor itu sempat mengerem, sehingga Nara tidak terlempar jauh.
"Astaga! Hei, siswa, kamu nggak apa-apa?", tanya si pengemudi sambil membantu Nara bangun. Nara bangun sambil memegang kepalanya. Ia melihat sekeliling untuk mencari pria yang tadi mengejarnya, namun pria itu sudah hilang.
"Aku nggak apa-apa, paman.", jawab Nara. Ia meringis saat mencoba berjalan. Lutut dan siku sebelah kirinya berdarah. Untunglah kepalanya tidak langsung membentur jalan, masih tertahan oleh tangannya.
"Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit!". Pengemudi motor itu memapahnya menuju sepeda motornya dan membonceng Nara ke rumah sakit.
**
Nara melambai-lambaikan tangannya saat melihat Taeil memasuki ruang UGD dengan ekspresi panik. Ia menghampiri Nara dengan rusuh, lalu langsung mencengkeram bahu Nara sambil mengecek kondisi badannya.
"Nggak ada luka lain kok, Yah. Cuma ini.", Nara mengangkat tangan kirinya yang diperban. Taeil berhenti mengecek tubuh Nara dan menarik kursi lalu duduk di samping kasur Nara.
"Kenapa bisa kayak gini? Kamu ketabrak di mana? Ketabrak sama apa? Kamu nggak langsung pulang ya, makanya bisa kayak gini?", cerocos Taeil.
Nara menghela nafas, "Satu-satu dong, nanyanya. Pusing kepala Nara."
"Jawab aja, cepet."
"Tadi, waktu aku naik bus, aku lihat ada toko es krim baru. Ya udah, aku turun terus beli es krim dulu. Pulangnya, aku jalan kaki, soalnya nanggung kalo naik bus. Pas lewat taman, ada yang ngikutin aku lagi. Cowok pake jaket item sama masker, serem pokoknya. Aku lari, tapi malah ketabrak motor delivery pas mau nyebrang."
Taeil mengusap wajahnya kasar, "Ayah udah nyuruh kamu buat langsung pulang, nggak kelayapan ke mana dulu! Ini nih, hasilnya kalo bandel sama ayah.", omelnya.
"Ya habisnya aku pengen es krim.", Nara merengut. "Es krimnya enak, loh! Nanti ayah juga harus coba.". Nara malah mengalihkan pembicaraan, yang membuat dahinya disentil Taeil.
"Diomongin tuh jangan malah ngalihin topik! Masih untung nih, kamu cuma lecet siku sama lutut. Masih dikasih selamat sama Tuhan. Gimana kalo nggak? Mau koma lagi kayak dulu?!"
Nara mengerucutkan bibirnya sambil mengusap-usap dahinya, "Iya, maafin Nara. Tapi, kita nggak bakal pindah rumah lagi gegara ini, kan? Aku kan, sekarang nggak koma."
Taeil menghela nafas. Ia terdiam cukup lama sambil menatap Nara tajam. "Iya, kita nggak bakal pindah. Tapi, kamu nggak boleh naik bus lagi. Mending dianter jemput sama ayah lagi. Oke?"
Nara mendesah pelan dan terpaksa mengangguk.
Nara masih ingat betul kejadian dua bulan yang lalu yang hampir merenggut nyawanya dan menyebabkan ia harus pindah ke rumah barunya. Saat itu, Nara tengah menunggu Taeil untuk menjemputnya di depan tempat lesnya. Setelah setengah jam menunggu, Taeil meneleponnya dan bilang kalau ia tidak bisa menjemput karena ada urusan kantor mendadak. Taeil pun menyuruhnya untuk pulang naik bus. Karena kesal, Nara pun memutuskan untuk berjalan kaki---katanya, biar energinya habis karena berjalan kaki, jadi ia tidak perlu marah-marah---tidak peduli kalau rumahnya terletak cukup jauh dari tempat les.
Ia tengah menyusuri jalanan yang sepi saat merasa seperti ada yang mengikutinya. Saat ia menoleh, ada seorang pria yang berjalan ke arahnya. Nara pun langsung berlari, dan pria itupun mengejarnya. Saat ia ke jalan raya dan hendak menyebrang, sebuah mobil menabraknya dan ia terlempar hingga lima meter. Karena kecelakaan itu, Nara koma selama dua minggu. Sebulan setelah ia sadar dari koma, Taeil memutuskan untuk pindah rumah ke Daegu, dan dua minggu setelahnya, mereka sudah benar-benar pindah ke sini.
Nara tidak tahu apa salah Nara, sampai ada yang mengikutinya dan membuatnya celaka. Ia sudah bertanya pada Taeil, mungkin saja itu orang suruhan musuh Taeil. Ia sering mendengar kalau seorang pengacara biasanya punya musuh bebuyutan. Tapi, Taeil tidak menjawab apa-apa dan selalu langsung mengalihkan pembicaraan.
**
Tiga hari kemudian, Nara baru masuk sekolah. Sebenarnya, ia sudah ingin masuk sehari setelah kecelakaan, karena menurutnya luka yang ia dapatkan tidak terlalu parah dan ia masih bisa berjalan, namun Taeil melarangnya.
"Nanti tunggu ayah di halte ya. Kalo laper, boleh ke minimarket seberangnya, deh. Tapi hati-hati nyebrangnya.", ucap Taeil.
"Iya, ayah. Bawel banget sih.", gerutu Nara sambil melepas sabuk pengamannya.
"Eh, itu siapa?", tanya Taeil sambil menunjuk seseorang yang hampir memasuki gerbang sekolah Nara sambil menyapa para murid.
"Guru baru, namanya Pak Kiyoung.", jawab Nara. Ia melihat Taeil yang memperhatikan gurunya Nara itu sambil mengernyit, "Kenapa? Ayah kenal sama Pak Kiyoung?"
Taeil mengerjap, "Ng-nggak tahu, kayak pernah lihat wajahnya. Familiar, gitu."
"Temen ayah, kali?"
"Bukan, bukan temen."
"Terus apaan?"
Taeil menoleh, "Ih, pengen tahu banget, ya? Ini urusan ayah, nggak boleh penasaran!"
Nara mencebik, "Nyebelin banget, sih! Udah ah, aku mau turun aja!"

Empat

"Ayah ngapain?", tanya Nara saat melihat Taeil tengah berjalan bolak-balik di ruang tengah sambil menatap ponselnya.
"Temen ayah ada yang mau pindahan ke sini. Lagi nunggu teleponnya."
Nara manggut-manggut. "Aku izin ke atap, ya.", pamitnya sambil berjalan menuju pintu. Taeil awalnya hanya mengangguk, namun ia melirik pakaian yang dikenakan Nara.
"Eh, tunggu!", cegat Taeil. "Kok pake rok? Kalo ada angin gede, terus rok kamu terbang gimana?"
"Aku udah pake celana pendek, kok. Lagian, nggak ada yang suka ke atap selain aku. Udah ya, aku pergi!"
**
Seperti biasanya, Nara akan pergi ke pinggir atap untuk melihat pemandangan kota. Tidak ada yang berubah sama sekali dari kotanya, namun ia tidak pernah bosan. Sesekali ia jahil memanggil orang-orang yang tengah berjalan di bawah hingga mereka celingukan, sementara Nara langsung berjongkok dibalik tembok untuk menyembunyikan dirinya.
Selang beberapa menit, angin berhembus sangat kencang dan menghempaskan rok Nara, seperti dugaan Taeil. Nara terkejut dan langsung menahan roknya agar tidak terlalu terbuka. Ia tertawa pelan dan melihat sekeliling.
Matanya langsung membulat saat melihat lelaki yang sepantaran dengannya tengah diam di pintu masuk ke atap.
"HEI! DASAR TUKANG INTIP!", teriak Nara.
Lelaki itu mengerjapkan matanya, "A-apa? Ngintip apa?"
Nara berjalan menghampirinya, "Kamu tadi ngintip, kan, waktu rok aku terbang?! Dasar mesum!". Nara memukul lelaki itu bertubi-tubi hingga lelaki itu merintih kesakitan. Meskipun punya tubuh yang mungil, kekuatan Nara bisa disejajarkan dengan lelaki.
"Aku nggak ngintip, kok! Aku baru---aw!---aku baru aja dateng! Beneran!", sanggah lelaki itu.
"Bohong! Kamu bohong! Aku aduin ke ayah aku!", Nara berlari lewat tangga darurat dan menemukan Taeil saat hendak turun ke lantai 18.
"Ayaaaaaah!". Nara menghampiri Taeil yang tengah mengobrol dengan seorang wanita.
"Kenapa, Nara? Kok lari-lari?"
"Tadi ada cowok yang ngintipin aku!"
Taeil mengernyit, "Di mana?"
"Nggak, paman! Aku nggak ngintip!". Lelaki yang tadi dipukuli Nara menghampiri mereka.
"Nih! Dia yang ngintip, nih!", seru Nara sambil menunjuk-nunjuk wajah lelaki itu.
"Aku nggak ngintip dia, paman, beneran! Aku baru aja dateng, kok!"
"Aduh, sebentar anak-anakku. Jangan teriak-teriak gini.", wanita yang tadi mengobrol dengan Taeil menengahi. "Coba jelasin pelan-pelan, deh."
"Cowok ini tadi ngintip waktu rok aku terbang."
"Nggak, paman. Aku baru datang pas angin gedenya berhenti.". Lelaki itu menatap wanita itu, "Jinwoo nggak ngintip kok ma, serius!"
Wanita itu tersenyum, "Iya, kamu nggak sengaja, iya."
"Ah, kalian. Belum juga kenalan udah berantem aja.", kata Taeil. "Coba kenalan dulu. Nara, ini Minha, temen kerja ayah yang baru pindah ke unit 1903, persis di atas unit kita". Minha tersenyum padanya.
Nara membungkuk hormat pada Minha, "Halo, bibi. Aku Nara."
"Cowok yang tadi 'katanya' ngintip kamu ini, anaknya Minha. Namanya Jinwoo."
Nara dan Jinwoo malah saling melempar tatapan sinis. Taeil dan Minha sama-sama tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Lama kelamaan mereka bakal akur kali, ya.", ujar Minha pada Taeil. "Jinwoo, mama mau ke minimarket depan. Mau ikut, nggak? Atau mau nitip aja?"
"Ikut aja. Aku bosen."
"Ya udah, kita juga mau pulang, kok.", pamit Taeil. Ia dan Nara menuruni tangga karena tinggal turun satu lantai lagi, sementara Minha dan Jinwoo memakai lift.
**
"Hari ini kamu pulang naik bus, ya. Nggak apa-apa?", tanya Taeil. Nara terperangah.
"Beneran ngebolehin?". Taeil mengangguk. Nara sumringah, "Kok tumben ngebolehin?"
"Eh, tapi nggak sendiri, ya. Bareng sama Jinwoo."
Wajah Nara mendadak kusut.
"Ayah ada urusan pekerjaan, nggak tahu bakal beres kapan. Ayah khawatir nggak bisa antar jemput kamu. Kebetulan Jinwoo juga sekolah di sini, jadi kalian pulang pergi bareng aja, ya. Ayah juga udah bilang ke Minha, dan Jinwoo juga udah setuju."
Nara menghela nafas. "Ya udah, deh. Mau gimana lagi.", gumamnya. "Aku pergi dulu ya, Yah."
**
"Katanya, bakal ada murid baru cowok ke kelas kita, loh.", kata Seonghun. Nara yang menelungkupkan wajahnya tidak bereaksi apa-apa. Sudah pasti anak baru yang dimaksud Seonghun adalah Jinwoo.
"Iya, aku juga denger.", jawab Bona. "Kayaknya bakal sebangku sama kamu deh, Ra."
Nara langsung mendongak, "Kok aku?"
"Cuma kamu yang nggak punya temen sebangku di sini."
Nara menghela nafas dan kembali menelungkupkan wajahnya. Sudah bertetangga, satu sekolah, dan sekarang harus sebangku? Sepertinya Nara sudah berbuat kesalahan besar di kehidupan sebelumnya hingga harus menderita seperti ini.
Bel masuk pun berbunyi. Selang beberapa menit, wali kelas Nara memasuki ruang kelas dengan diikuti oleh seorang siswa.
"Kelas kita kedatangan murid baru lagi.". Wali kelas memberi isyarat pada siswa itu untuk memperkenalkan dirinya.
"Namaku Lee Jinwoo, pindahan dari Seoul."
"Jinwoo, kamu duduk di bangku belakang, sebelah Kim Nara."
Nara memberi tatapan tajam seiring Jinwoo berjalan menuju bangkunya, sementara Jinwoo menatapnya datar. Nara sedikit menggeser bangkunya ke arah jendela.
"Jangan deket-deket. Nanti aku aduin ke ayah.", ancam Nara. Jinwoo hanya memutar bola matanya.

Lima

Sudah seminggu ini hati Nara terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ia senang karena akhirnya bisa berangkat dan pulang menggunakan bus kota lagi. Ia jadi bisa tahu banyak tempat dan jalan lain yang tidak akan ia lewati jika ia diantar jemput oleh Taeil. Namun di sisi lain, ia juga mengeluh karena harus terus bersama Jinwoo.
Nara tidak akan begitu mempermasalahkannya apabila ia dan Jinwoo hanya bertemu di waktu berangkat dan pulang. Toh itu masih hal yang wajar, mengingat rumah mereka yang hanya berbeda satu lantai. Lagipula, Nara masih agak ketakutan berangkat dan pulang sendiri sejak kejadian itu. Kebetulan dari semua teman sekelasnya, hanya Jinwoo yang rumahnya searah dengannya, jadi ia merasa sedikit aman.
Yang membuat Nara menjadi dongkol ialah Jinwoo yang tidak hanya bersamanya saat berangkat dan pulang, namun juga setiap saat. Setiap Nara hendak ke kantin, perpustakaan, atau taman sekolah, Jinwoo akan selalu berjalan di belakangnya, dengan dalih belum-kenal-lingkungan-sekolah. Mulanya sih, Nara biarkan. Namun, setelah berjalan hampir dua minggu, Jinwoo masih melakukan hal yang sama.
"Ngapain ngikutin terus, sih?! Kamu mau aku laporin ke guru kalo kamu penguntit?!", bentak Nara suatu hari, jengah melihat Jinwoo yang terus mengikutinya menuju perpustakaan.
"Hah? Siapa yang ngikutin? Orang aku juga mau ke perpustakaan, kok.". Jinwoo mengangkat buku tebal yang tengah ia pegang lalu melengos melewati Nara masuk ke perpustakaan.
Ini, yang membuat Nara terkadang merasa tidak masuk akal untuk memarahi Jinwoo. Meskipun ia yakin Jinwoo membuntutinya, Jinwoo pasti punya alasan yang logis yang membuat Jinwoo dan ia pergi ke tujuan yang sama. Entah alasan betulan atau dibuat-buat, Nara tak tahu. Yang jelas, Nara jadi tidak bisa menyuruhnya untuk menjauh. Ia jadi terpaksa membiarkan Jinwoo berada di sekitarnya, layaknya bulan yang mengorbit ke bumi.
**
Nara beserta seisi kelasnya tidak mengerti, mengapa staf kurikulum sekolahnya menempatkan jadwal pelajaran Sejarah untuk kelasnya di jam pelajaran terakhir, bukan pertama. Apa mereka tidak mengerti kalau pelajaran Sejarah bisa membuat para murid mengalami efek seperti habis meminum obat flu? Suasana kelas yang diharapkan penuh dengan tanya jawab, malah diisi dengan para murid yang sekuat tenaga menahan matanya agar tidak tertarik gravitasi.
Nara pun awalnya begitu. Ia bahkan sampai diam-diam berbagi permen dengan Jiho, yang duduk di bangku sebelahnya. Tetap saja, efek dari permen itu hanya bertahan selama lima menit. Nara hendak memutuskan untuk tidur saja, hingga ia melihat Jinwoo yang sudah pulas tertidur. Ia bahkan tidak terusik oleh benturan kursi Seonghun dengan mejanya karena si empunya kursi tengah menghindar dari pukulan tempat minum Bona.
Wajah Nara langsung cerah ketika sebuah ide terlintas di pikirannya.
Bel pulang berdering dengan kencang. Seperti yang Nara perkirakan, Jinwoo belum terbangun. Nara mengepalkan tangannya dengan bangga. Ia membereskan barang-barangnya dengan perlahan lalu bangkit dari kursi dengan hati-hati, mencoba bergerak sehening mungkin.
"Lah, Jinwoo nggak bakal dibangunin?", tanya Seonghun. Tangannya bergerak hendak menggoyang pundak Jinwoo, namun ia tarik kembali karena Nara memukulnya.
"Biarin aja. Biar nginep di sini sekalian.", ucap Nara ketus. "Ayo ih, keluar.". Nara menarik paksa Bona dan Seonghun.
Karena perut Nara sedang tidak bersahabat dengannya, Nara pun berpisah dengan Bona dan Seonghun untuk pergi ke kamar mandi. Beres dengan urusannya, ia pun cepat-cepat keluar, karena takut Jinwoo sudah terbangun dan menyadari Nara sudah pulang, lalu mencarinya.
Tepat saat keluar dari kamar mandi, ia berpapasan dengan Kiyoung.
"Selamat sore, pak.", sapa Nara sambil membungkukkan badan, lalu melanjutkan langkahnya lagi. Kiyoung yang sedang fokus pada ponselnya hanya mengangguk. Sepersekian detik kemudian, ia memanggil Nara.
"Ada apa, pak?", tanya Nara.
"Kamu... bisa bantu saya sebentar, nggak? Saya mau masukkin nilai hasil ulangan, tapi saya juga harus ke ATM. Kamu bisa tolong bantu masukkin nilanya?"
Nara diam sejenak. Awalnya ia ingin menolak karena malas, namun ini bisa dijadikan alasan jika Taeil bertanya mengapa ia tidak pulang bersama Jinwoo.
"Oh, iya boleh---"
"Kim Nara!"
Wajah Nara langsung masam tatkala ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia menolehkan ke belakang perlahan, dan mendapati Jinwoo yang berlari ke arahnya.
"Kok ninggalin? Katanya tadi mau nganterin ke toko buku?", tanya Jinwoo. Nara mengernyit. Sejak kapan ia bersedia menemani Jinwoo ke toko buku? Sejak kapan pula Jinwoo memintanya?
"Hah? Ngomong a---"
"Oh, kamu ternyata udah ada janji. Bilang dong, daritadi.", ucap Kiyoung seraya terkekeh pelan.
"Eh, ada bapak. Selamat sore, pak.", Jinwoo yang baru sadar ada Kiyoung langsung membungkukkan badan.
"Ya sudah, saya minta tolong ke yang lain saja. Kalian hati-hati di jalan, ya.", Kiyoung tersenyum, lalu berlalu.
Jinwoo membungkukkan badannya lagi, "Selamat jalan, pak!", serunya. Ia melirik Nara yang tengah menatapnya tajam, "Kenapa lihat-lihat?"
"Kamu yang kenapa! Sejak kapan kamu minta ditemenin ke toko buku?"
"Aku bukannya bilang tadi pagi?"
Nara mendecak, "Ingatan kamu emang bermasalah, ya?"
"Oh, aku belum bilang, ya?", Jinwoo menggaruk kepalanya. "Ya udah, sekarang aja bilangnya. Ayo temenin aku ke toko buku. Aku belum hafal daerah sini."
"Nggak mau, ah. Males. Cari aja sendiri. Aku mau pulang aja."
"Ih, jangan pulang sendiri. Nanti aku dimarahin Paman Taeil. Kamu juga bakalan dimarahin Paman Taeil karena nggak nurut."
Nyali Nara yang tadi sudah ia kumpulkan setinggi gunung, langsung mengempis tatkala mendengar ayahnya disebut. Kalau ia bandel akan amanat Taeil, ia takut celaka lagi.
Nara menghela nafas, "Ya udah, ayo."
**
Jinwoo langsung merapat ke bagian komik-komik Jepang, sementara Nara menepi ke bagian novel. Awalnya, Nara ingin membeli sebuah novel, kalau saja ia tidak ingat di kamarnya masih ada sekitar sepuluh novel yang belum selesai ia baca, bahkan ada yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Nara pun mengurungkan niatnya dan keluar dari toko buku. Tidak, ia tidak akan meninggalkan Jinwoo. Ia hanya ingin melihat-lihat bunga yang terpajang di toko sebelah.
Nara terlalu asyik mencium bunga satu persatu, hingga ia tak sadar sebuah pot bunga yang berada di balkon atas toko bergeser dari tempatnya. Tidak mungkin pot bunga itu bergeser sendiri, karena angin sedang berhembus pelan dan pot itu pasti sangat berat.
Lama kelamaan, Nara menyadari ada kerikil-kerikil kecil yang berjatuhan mengenai kepalanya. Ia mendongak dan terpaku melihat pot bunga yang sudah berada di pinggir balkon dan bersiap untuk terjatuh.
"Nara, awas!"
Seseorang mendorong tubuh Nara ke sisi lain hingga ia terjatuh. Detik itu juga, Nara mendengar suara benda yang pecah. Ia menoleh dan mendapati Jinwoo terduduk sambil memegang kepalanya. Di sekitarnya terdapat pecahan pot bunga dan tanah yang berserakan.
Keterkejutan Nara semakin bertambah saat melihat cairan merah mengalir melewati pelipis Jinwoo.
"Jinwoo!"

Enam

"Udah ih, aku nggak apa-apa."
Entah untuk keberapa kalinya Jinwoo mengucapkan itu agar Nara berhenti menangis. Bukannya menjadi reda, tangisannya malah semakin meraung-raung, hingga mereka menjadi pusat perhatian seisi ruang UGD.
"Ma-afin.", Nara sesegukan. Sisi kasur yang ditempati Jinwoo sampai basah karena tangisannya. "Harusnya a-ku yang kena itu---"
"Heh! Jangan asal ngomong gitu! Harusnya kamu bersyukur bukan kamu yang kena.". Jinwoo memegang perban yang mengelilingi kepalanya, "Ini masih luka kecil, kok. Belum seberapa sama yang pernah aku alamin."
Nara terbelalak, "Kamu pernah punya luka lebih dari ini?"
Jinwoo tersentak. "Eh, ma-maksud aku---"
"Jinwoo! Kamu nggak apa-apa, nak?". Minha tetiba datang dan memeluk Jinwoo. Taeil berada di belakangnya dan langsung menghampiri Nara.
"Iya, ma. Aku nggak apa-apa.". Jinwoo meringis, "Ini, aduh---mama jangan kenceng banget meluknya, dong.". Minha melepas pelukannya dan terkekeh.
"Kamu kenapa nangis? Kamu luka di sebelah mana?", tanya Taeil sambil mencengkeram bahu Nara.
"Nara nggak luka kok, paman. Dia emang nangis terus daritadi, panik kayaknya.", sahut Jinwoo.
"Ih, cengeng banget, sih.", celetuk Taeil yang dibalas pukulan pada pinggangnya.
"Dokter ngebolehin kamu pulang langsung atau rawat inap?", tanya Minha.
"Boleh langsung pulang, kok. Ini luka luar. Tapi minggu depan harus kontrol lagi ke sini."
"Ya udah, ayo langsung pulang, biar Jinwoo bisa istirahat di rumah.". Taeil hendak mengulurkan tangannya untuk membantu Jinwoo turun dari kasur, namun Nara menepisnya.
"Nara aja yang pegangin. Itung-itung permohonan maaf ke Jinwoo selama ini udah jahat.", ujar Nara. Tangannya dengan sigap melingkar di lengan Jinwoo dan memapahnya pelan keluar ruangan. Jinwoo hanya terkekeh pelan.
Sementara kedua remaja itu berjalan perlahan, Taeil menatap punggung mereka dengan senyuman masam.
**
Jinwoo baru masuk sekolah tiga hari setelah kejadian itu. Ia dan Nara langsung dikerubungi penghuni kelas 11-3 sesaat keduanya melangkahkan kakinya di kelas. Berbagai pertanyaan pun berdatangan keroyokan.
"Heh, Jinwoo jagan dikerubungin! Nanti kehabisan oksigen, terus masuk rumah sakit lagi gimana?", ujar Nara. Kerubungan itu perlahan bubar dan memberikan jalan untuk Nara dan Jinwoo menuju bangkunya.
"Ada apa, nih? Kenapa Nara jadi baik ke Jinwoo?", celetuk Bona.
Nara mendecak, "Jahat salah, baik juga salah. Aku harus gimana?"
"Jadi bingung, yang kejatuhan pot bunga tuh, Jinwoo apa Nara?", Seonghun menambahkan.
"Kepalaku yang kena pot, tapi jiwa Nara yang keguncang. Yang sakit siapa, yang nangis malah siapa.", ujar Jinwoo. Nara memelototinya.
"Oh, tsundere nih, Nara? Ngejudesin Jinwoo melulu, tapi sedih pas Jinwoo luka.". Nara hanya memutar bola matanya.
**
"Nggak, nggak bisa. Aku nyerah aja. Aku mau ngehafalin narasi dan dialog novel-novel yang aku baca aja.", Nara terlentang di ruang tengah dengan buku paket matematika yang ia jadikan bantalan.
"Gimana sih, kamu? Ngehafalin isi buku paket biologi sampe khatam, giliran matematika malah mandet gini. Makanya, kalo guru ngajar itu perhatiin.", ujar Taeil yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur.
"Ih, ayah nggak ngerti sih. Gurunya nyeremin, tahu."
"Siapa gurunya? Nyeremin kayak gimana?"
"Pak Kiyoung, guru baru yang barengan masuknya sama aku, loh. Dia suka natap aku tajem banget, kayak mau nelen aku bulat-bulat. Awalnya sih, aku biarin. Tapi, lama kelaman makin sering. Nggak cuma di kelas, kalo papasan di kantin juga kayak gitu. Serem, kan? Aku sampai nggak berani lihat dia."
Taeil hanya merespon dengan gumaman. "Nggak minta ajarin ke temen kamu aja?", tanyanya.
Nara termenung sejenak sebelum menjentikkan jarinya, "Oh iya!". Ia terduduk, mengambil ponsel yang berada di nakas dan mengirim pesan pada seseorang.
"Minta ajarin ke siapa?"
Baru saja Nara hendak menjawab, bel pintu berbunyi. Nara berjalan menuju pintu dan menyambut si tamu.
"Pagi, paman.", sapa Jinwoo.
"Wah, pilihan Anda sangat tepat, Nara!", Taeil menirukan ucapan pada salah satu iklan alat rumah tangga. "Jinwoo jago banget matematikanya. Dulu juga sering ikut olimpiade."
Mata Nara berbinar, "Beneran? Ayah tahu darimana?"
"Y-ya tahu, lah. Minha sering cerita ke ayah, kan."
Nara menggut-manggut. "Ayo sini, cepet ajarin aku.", pintanya sambil menarik tangan Jinwoo menuju ruang tengah.
"Eh, ngapain itu pake pegangan segala?", tanya Taeil.
Nara mengernyit, "Emangnya kenapa? Cuma narik aja, kok."
"Nggak usah narik-narik. Jinwoo kan, bisa jalan sendiri."
Berbeda dengan Nara yang santai dan bahkan menyuruh Taeil untuk menjalin hubungan dengan wanita, Taeil malah cenderung melarang Nara untuk menjalin hubungan dengan lelaki. Ia bahkan selalu curiga jika Nara membawa teman lelakinya ke rumah untuk mengerjakan tugas. Jika Nara meminta izin untuk pergi bersama teman lelakinya ke suatu tempat---bukan berkencan, mereka kebetulan harus membeli suatu barang di tempat yang sama---Taeil pasti akan menyerangnya dengan berbagai pertanyaan dan bahkan mencari-cari alasan yang dapat membuat Nara batal pergi.
Nara kerap kali jengkel dengan sikap ayahnya ini. Rasanya tidak adil, disaat ia membiarkan Taeil pergi dengan siapapun, Nara malah dilarang-larang. Tapi, hati kecil Nara memaklumi sikap Taeil ini. Mungkin jika ia nanti menikah dan punya anak perempuan, suaminya akan melakukan hal yang sama seperti Taeil.
Sekarang, sikap Taeil itu keluar lagi. Ia ikut duduk di ruang tengah sambil menghabiskan ramennya. Padahal, sangat bertolak belakang dengan kebiasaan Taeil yang anti makan apapun di ruang lain selain dapur. Televisi ia nyalakan, namun matanya malah terus terpaku pada Nara dan Jinwoo yang tengah bersenda gurau disela-sela belajarnya.
Tiap kali Nara meliriknya, Taeil memberikan tatapan yang seakan berkata, 'jangan macem-macem, ayah lihat kamu'. Nara membalasnya dengan tatapan jengah, 'ayah terlalu berlebihan'. Nara juga mendapati ayahnya yang memberikan tatapan yang sama pada Jinwoo tiap kali ia tak sengaja melihat ke arah Taeil.
Nara menghela nafas. Kalau begini terus, bagaimana ia akan tahu rasanya jatuh cinta?

Tujuh

Memang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, seluruh kelas 11 di sekolah Nara wajib mengikuti study tour ke luar kota saat pertengahan semester dua. Akan ada beberapa pilihan kota yang disediakan oleh kepala sekolah, yang harus dipilih oleh siswa. Tapi, tetap saja harus ada pertimbangan dari pihak orang tua. Empat bulan sebelum study tour dilaksanakan, para orang tua akan diundang ke sekolah untuk mengadakan rapat bersama kepala sekolah dan para guru. Surat undangan akan dibagikan lewat para murid.
"Apa ini?", tanya Taeil saat Nara menyodorkan sebuah amplop putih. "Isinya uang, ya?"
Nara mendecih, "Dasar matre.", cibirnya. "Itu surat undangan rapat buat study tour. Ayah bisa dateng, kan?"
Taeil membaca isi surat itu dengan perlahan. Lalu, ia menatap tembok dapur, seakan-akan tengah menerawang. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dapur.
"Hmm... bisa nggak ya...."
Nara mencengkeram mangkoknya yang berisi sereal, gugup kalau Taeil tidak bisa datang. Sejak Nara masih SD, Taeil belum pernah datang ke sekolahnya untuk menghadiri rapat orang tua atau mengambil rapot sekalipun. Semuanya diwakilkan oleh Hyemi, kakaknya Taeil. Karena hal itulah, Nara sangat percaya jika ada orang yang mengatakan 'masalah terjadi setiap detik'. Mungkin Taeil terus menerus menangani kasus, hingga tak bisa mengambil rapot anaknya barang sekali pun.
"Bisa dong, Yah. Sekali ini aja dateng. Masa dari dulu nggak dateng, sih.", pinta Nara dengan muka cemberut. Taeil yang melihat itu terkekeh geli.
"Lusa ayah kasih tahu lagi, ya. Harus minta izin dulu ke atasan.", janji Taeil.
Bukan lusa, tapi besoknya Taeil memberi tahu kalau ia bisa datang ke rapat orang tua yang diadakan pekan depan. Nara langsung jumpalitan---bukan, bukan jiwanya yang jumpalitan saking senangnya. Ini benar-benar Nara yang melompat-lompat kegirangan hingga jungkir balik ke belakang. Nara yang jungkir balik, tapi Taeil yang ngilu.
Hari ini, hari rapat orang tua itu dilaksanakan. Meskipun tahu kalau rapat diadakan pada pukul dua siang nanti, Nara merasa cemas karena sejak pagi, sudah banyak orang tua murid kelas 11 yang datang. Nara takut Taeil terlambat datang, atau malah tidak datang sama sekali.
"Paman Taeil bakal dateng kok, tenang aja. Datengnya juga bareng mama aku, kok.", ucap Jinwoo. "Nggak usah cemas gegara lihat orang tua murid lain. Itu sih, merekanya aja yang kerajinan dateng pagi."
Nara mengangguk. Selang beberapa menit, bel masuk berbunyi, dan seluruh murid melaksanakan pembelajaran seperti biasa.
**
Sekarang sudah pukul satu siang. Nara mengintip ke jendela, dan melihat kerumunan orang tua yang sedang duduk di taman sekolah perlahan bubar untuk pergi ke aula besar, tempat rapat itu dimulai. Ia mencoba mencari-cari sosok ayahnya, namun tidak ketemu. Ia hampir saja mengeluarkan dengusan keras kalau saja tidak ingat guru fisikanya yang terkenal galak itu masih mengajar di kelas. Bisa-bisa ia disuruh menyelesaikan soal materi Impuls dan Momentum di depan, padahal sudah jelas Nara buta pelajaran fisika.
"Ah, kayaknya ayah telat deh, Jin. Berarti bibi Minha juga telat, dong?", tanya Nara sambil berbisik.
"Nggak apa-apa, lah. Daripada nggak dateng?"
Secara sembunyi-sembunyi, Nara membuka loker di bawah mejanya dan menekan tombol di ponsel agar layarnya menyala. Senyuman kecil tersungging di bibirnya kala mendapati pesan dari Taeil.
'Ayah sama Minha udah di parkiran. Rapatnya bener di aula besar, kan?'
**
Bel pulang berbunyi dua jam kemudian. Namun, para murid di kelas Nara tidak langsung keluar. Pelajaran terakhir hari itu adalah Seni, namun gurunya tidak dapat masuk karena ia ikut memandu rapat orang tua. Para murid pun ditugaskan untuk membuat prakarya apapun dari bahan-bahan yang telah disediakan, bersama dengan teman sebangku. Seandainya tugas itu bisa dikerjakan di rumah, tentu mereka akan langsung berhamburan keluar dan langsung pulang atau menunggu orang tuanya selesai rapat. Sayangnya, guru seni mereka menginginkan tugas itu selesai di hari itu juga.
Sontak saja semua murid merasa kesal. Kangjoon---ketua kelas---yang memberi tahu tugas ini saja menggerutu tak henti sambil mengerjakan tugasnya. Ia pun menyarankan agar masing-masing meminjam buku prakarya di perpustakaan, supaya cepat mendapat inspirasi dan lebih hemat waktu agar cepat pulang.
Setengah jam berlalu, beberapa murid sudah ada yang menyelesaikan tugasnya. Ada yang memang benar-benar sudah selesai, ada pula yang sebenarnya tidak tahu membuat apa namun ingin cepat-cepat pulang, sehingga mereka menerapkan prinsip 'nggak peduli bentuknya apa, yang penting beres'.
Lima belas menit kemudian, kelas sudah hampir kosong, menyisakan Nara, Jinwoo, Bona, dan Seonghun. Bona dan Seonghun sedikit lagi menyelesaikan tugasnya, sementara Nara dan Jinwoo baru selesai setengahnya karena keduanya terlalu lama merundingkan bagaimana bentuk prakarya yang akan mereka buat---mereka bahkan sempat berdebat kecil.
Pamitan Bona dan Seonghun hampir tidak dihiraukan, Nara dan Jinwoo terus sibuk dengan prakarya mereka. Selang beberapa menit, akhirnya tugas mereka selesai.
"Ayo cepetan beresin sampahnya. Ayah pasti udah nunggu.", gerutu Nara. Selesai membereskan meja, keduanya berjalan keluar menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan buku, lalu pergi ke ruang guru.
Dari kejauhan, Nara dapat melihat Taeil berdiri di depan ruang guru, membelakangi jendela ruang itu. Ia terlihat tengah berbicara dengan seseorang, namun Nara tak dapat melihat orang yang diajak Taeil bicara karena ia berdiri di balik tembok.
"Ayah!", panggil Nara. Taeil menoleh pada Nara dan tersenyum, lalu menatap orang yang diajaknya bicara dengan wajah yang dingin. Hanya sebentar, setelah itu ia menunduk sambil memijit pelipisnya. Nara berlari kecil menghampirinya, sekaligus ingin tahu dengan siapa ayahnya berbicara. Namun, orang itu sudah berbalik dan pergi memunggungi mereka.
Rasanya percuma orang tersebut langsung berbalik, karena dari posturnya saja, Nara sudah tahu kalau itu guru matematikanya, Kiyoung.
Nara mengernyit melihat Taeil, "Ayah kenapa?", tanyanya.
Taeil tersentak, "Hah? Ng-nggak apa-apa, kok."
"Ayah beneran kenal sama Pak Kiyoung?"
"Pak Kiyoung siapa?"
Nara mendecak, "Yang tadi, ih. Guru matematika aku. Ayah tadi ngobrol sama dia, kan?"
Taeil tertegun. Ia malah melirik Jinwoo yang tengah berjalan ke arah mereka, membuat Nara juga jadi menoleh pada Jinwoo. Jinwoo yang tetiba ditatap hanya mengernyit.
"Kenapa?", tanyanya. Taeil menggeleng, sementara Nara mengangkat bahu.
"Itu apa? Tugas?", tanya Taeil melihat prakarya di tangan Jinwoo, seakan mengalihkan pembicaraan.
"Oh, iya. Mau dikumpulin sekarang. Bentar ya, paman.". Jinwoo menyikut Nara yang masih menatap Taeil heran dan menggelengkan kepalanya sedikit untuk mengajaknya ke ruang guru. Nara pun mengikutinya. Beberapa saat kemudian, keduanya keluar.
"Udah?", tanya Taeil. Nara dan Jinwoo kompak mengangguk. "Ya udah, ayo pulang."
"Paman lihat mama?", tanya Jinwoo.
"Ada, di kantin. Laper, katanya. Kita samperin dulu.". Taeil berjalan duluan meninggalkan mereka. Nara mengernyit heran.
"Ayah kenapa ya? Habis ngobrol sama Pak Kiyoung jadi gitu.", bisik Nara. Jinwoo hanya membuka mulutnya sedikit, mengerjap-ngerjap, lalu mengangkat bahunya.
"Kok jadi pada aneh gini, sih?", batin Nara.

Delapan

Nara menghampiri guru olahraganya sambil meringis memegang pipi kirinya. Bola voli yang hendak ditangkap Nara dari Jia meleset mengenai pipinya tepat saat ia menoleh karena panggilan guru olahraganya.
"Ada apa, pak?"
"Kamu dipanggil sama Bu Mirae, disuruh ke ruang konseling sekarang."
Nara tersentak, mencoba mengingat-ingat apa kesalahan yang ia perbuat, hingga ia dipanggil ke ruang yang sering disebut 'ruang masalah' oleh teman-temannya.
Guru olahraganya yang menyadari hal itu tertawa kecil, "Tenang aja, kamu nggak buat masalah, kok. Ada yang mau ketemu kamu, katanya."
Nara menghela nafas lega. Setelah diizinkan, ia segera berlari ke ruang konseling yang letaknya di ujung koridor lantai dua. Saat ia masuk, ia mendapati Minha yang terduduk dengan wajah yang ditekuk dan masih memakai pakaian kerjanya.
"Loh, Bibi Minha?". Minha mengangkat wajahnya yang terlihat sembab. Nara terkejut dan segera duduk di sebelahnya, "Bibi kenapa?", tanya Nara.
"Nara... Nara sekarang ikut pulang sama bibi, ya.". Nara mengernyit, menunggu Minha menjelaskan apa yang terjadi. Minha mengusap air matanya, "Taeil kecelakaan tadi pagi di wilayah Yeonsu 3, waktu mau berangkat ke Daejeon. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Red Cross dan lagi persiapan buat operasi."
Seakan jiwanya sudah melayang, Nara hanya tertegun saat mendengar penjelasan Minha. Lidahnya seakan kelu, sehingga Minha yang meminta izin pada Mirae agar Nara bisa pulang duluan. Ia menuntun Nara menuju kelasnya untuk mengambil tas, dan pergi menuju mobilnya.
"Mama! Mau ke mana?", Jinwoo yang baru kembali dari gedung olahraga menghampiri Minha yang tengah membantu Nara masuk mobil. "Kok bawa-bawa Nara?"
"Paman Taeil kecelakaan. Mama harus bawa Nara ke rumah sakit, buat persetujuan prosedur operasi. Kamu nanti mama jemput pas pulang sekolah, terus kita langsung ke rumah sakit."
Jinwoo pun terpaku saking terkejutnya. Ia hanya mengangguk dan menatap mobil Minha sampai hilang dari pandangannya.
**
Tangis Nara baru pecah saat ia melihat Taeil memasuki ruang operasi. Hyemi---kakak Taeil---yang juga datang, mencoba menenangkannya, meskipun tangisan mereka sama-sama tak dapat terbendung.
Sambil menenangkan Nara, mulut Hyemi tak berhenti berkomat-kamit, berdoa agar adik satu-satunya itu selamat. Setelah orang tua mereka meninggal 20 tahun yang lalu, Hyemi dan Taeil hanya saling memiliki satu sama lain.
Kelelahan karena menangis selama hampir satu jam, Nara pun tertidur di pangkuan Hyemi. Hyemi tak berhenti menatap pintu ruang operasi, berharap dokter akan keluar dari sana dengan kabar baik di tangannya.
Dua jam kemudian, dokter keluar dari ruang operasi. Hyemi yang tak dapat berdiri karena Nara tertidur pulas hanya menatap dokter itu seiring ia menghampiri Hyemi.
"Anda keluarga Tuan Kim Taeil?"
"Iya, saya kakaknya. Bagaimana hasilnya, dok? Adik saya selamat, kan?"
Dokter mengangguk, "Tuan Kim Taeil selamat. Saat ini, ia masih dibawah pengaruh obat bius, kemungkinan baru sadar nanti sore menjelang malam. Tuan Kim Taeil baru boleh dijenguk dua jam lagi."
Hyemi menghembuskan nafas lega, "Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak.", ucapnya sambil menjabat tangan dokter.
Nara yang terganggu oleh gerakan Hyemi akhirnya terbangun. Ia terduduk tepat saat dokter itu berlalu meninggalkan mereka.
"Operasinya udah selesai, bi?", tanya Nara.
"Baru aja, selesai."
Kesadaran Nara seketika kembali sepenuhnya. Matanya membesar, "Kondisi ayah gimana? Ayah selamat, kan?"
"Iya, Taeil selamat, Ra."
Lagi-lagi Nara menangis. Kali ini, tangisan bahagia yang mengalir dari matanya.
**
Taeil akhirnya siuman, dan Nara adalah orang pertama yang ia lihat saat membuka matanya. Sejak diperbolehkan menjenguk, Nara tidak mau pergi dari sisi Taeil. Ia terus menggenggam tangan Taeil sembari berdoa agar ayahnya benar-benar baik-baik saja.
"Kakak emang kebetulan lagi di Daegu, makanya bisa di sini?", tanya Taeil pada Hyemi.
"Nggak dong, langsung dari Seoul. Kamu bisa bayangin tadi pagi aku ngendarain mobil sengebut apa.", ujar Hyemi. Taeil terkekeh.
"Kak Yongguk mau ke sini, nggak?", tanya Nara.
"Mau. Yongguk malem ini berangkat dari Busan."
Nara memekik kegirangan. Ternyata, ada banyak hikmahnya dibalik kecelakaan Taeil. Pertama, ia bisa pulang sekolah lebih awal---sungguh tipikal anak sekolah---dan yang kedua, bisa bertemu dengan Yongguk---kakak sepupunya---yang sudah setahun lebih tidak bertemu.
Yongguk dan Nara sangat akrab layaknya adik dan kakak kandung karena mereka sama-sama anak tunggal. Sebelum Yongguk lulus SMA, wajib bagi mereka untuk bertemu minimal seminggu sekali. Entah untuk pergi jalan-jalan, bermain game di rumah, atau mereka hanya tiduran di ruang tengah sambil bercerita macam-macam.
Saat Yongguk ikut tes ke perguruan tinggi negeri dan diterima di salah satu universitas nasional di Busan, mereka jadi sangat jarang bertemu. Jarak Seoul dan Busan yang sangat jauh dan kesibukan kuliah Yongguk pun membuat dirinya jarang pulang ke rumah. Bahkan, sejak Yongguk menjadi mahasiswa, Nara baru bertemu dengannya sekali, saat liburan musim panas tahun lalu.
Mereka serentak menoleh saat seseorang mengetuk pintu. Minha dan Jinwoo datang sambil menenteng beberapa plastik berisi makanan. Nara baru tahu kalau Hyemi mengenal Minha, ketika mereka bertemu dan mengobrol layaknya teman yang sudah akrab sejak lama.
"Nara, kamu ikut pulang sama Minha, ya. Ikut nginep dulu aja di rumah Minha, jangan sendirian di rumah.", titah Taeil. Nara merengut.
"Nggak mau. Nanti siapa yang nungguin ayah?"
"Ada bibi, kan?", sahut Hyemi. "Mending kamu pulang aja. Capek kan, habis olahraga."
Nara melirik pakaian yang melekat pada tubuhnya. Saking paniknya tadi, ia baru sadar kalau sejak tadi siang ia belum mengganti seragam olahraganya.
"Iya ih, belum ganti baju, masih bau keringet.". Taeil mengendus lengannya, "Nih, baunya nempel waktu tadi kamu meluk ayah.". Nara mendelik sebal.
"Ya udah, aku pulang dulu. Besok pagi aku ke sini lagi.". Setelah berpamitan, Nara pun pulang bersama Minha dan Jinwoo.
**
Keesokan paginya, Nara pergi ke rumah sakit bersama Jinwoo untuk bergantian dengan Hyemi menjaga Taeil, karena ia harus menjemput Yongguk yang baru saja sampai di terminal bus Seoul lima belas menit yang lalu. Minha tidak bisa ikut karena harus pergi ke Seoul.
Ketika pintu lift terbuka di lantai lima, Nara terbirit-birit keluar dan berbelok ke kiri.
"Heh, belok kanan.", Jinwoo menarik tangannya.
"Mau pipis dulu. Kamu duluan aja ketemu ayah, ya.". Nara pun segera berlari ke kamar mandi. Sebenarnya ada kamar mandi di kamar Taeil dirawat, namun Nara sudah tidak tahan sejak turun dari bus.
Selang beberapa menit, Nara keluar dari kamar mandi dan segera pergi ke kamar ayahnya. Ia melihat seorang perawat keluar dari kamar ayahnya sambil membawa piring bekas sarapan. Melihat Nara yang hendak masuk, perawat itu tidak menutup pintunya dengan rapat. Nara pun masuk dengan perlahan, takut kalau Taeil tengah tidur karena tirai di sekitar kasur tertutup rapat.
Rupanya, Taeil tidak tidur. Nara dapat mendengar Taeil dan Jinwoo tengah mengobrol. Tangannya hendak bergerak membuka tirai, namun langsung terhenti saat ia mendengar namanya disebut.
"Oh, begitu. Tapi, dia masih suka deketin Nara?"
"Masih, paman. Udah beberapa kali juga aku gagalin. Kadang juga suka digagalin temen Nara yang lain, tanpa sengaja."
"Kamu harus lebih hati-hati. Bisa jadi orang itu curiga sama kamu gegara sering ngegagalin.". Taeil berdeham. "Kalo bisa, alihin perhatian Nara kalo dia mau ngedeketin lagi. Jangan sampe dia ngobrol sama Nara, apalagi sampai berani nyentuh."
"Iya, paman."
Percakapan itu terhenti seketika Nara membuka tirainya. Wajah bingung Nara bertemu dengan wajah terkejut Taeil dan Jinwoo.
"Siapa yang mau deketin aku?"

Sembilan

Sudah hampir setengah jam mereka bertiga saling diam. Nara yang sudah pasti kebingungan akan apa yang terjadi, Taeil yang terkejut, dan Jinwoo yang tidak berani membuka mulut karena memang kebetulan ada diantara mereka.
"Ayah mulai cerita, ya. Dari pekerjaan ayah yang sebenernya.", buka Taeil. "Sebenernya, pekerjaan ayah bukan pengacara. Ayah nggak pernah belajar hukum-hukum negara secara mendalam, cuma hukum-hukum di pelajaran fisika. Pekerjaan ayah---", Taeil menarik nafas, "---adalah agen rahasia."
Nara membelalak, "Kayak CIA gitu? Atau James Bond?"
"Iya, kayak gitu. Ayah kerja di Organisasi Intelijen Nasional. Tugasnya, untuk ngelindungi negara dari ancaman-ancaman musuh. Ayah udah jadi agen sejak masih seumuran kamu, direkrut sama Kakek Dongjun. Kamu tahu kan, kalo Kakek Taegu meninggal waktu ayah masih SMA?". Nara mengangguk. "Ayah waktu itu bilang, Kakek Taegu meninggal karena kecelakaan mobil. Sebenarnya, bukan karena itu. Kakek Taegu meninggal karena dibunuh sama musuh, namanya Lee Wonri.
"Lee Wonri itu salah satu penjahat yang punya bisnis jual beli senjata ilegal. Dia emang udah terkenal sebagai buronan negara, bahkan negara lain pun ngejar dia. Dia nggak pernah segan buat ngebunuh siapapun yang ngehalangin dia dalam ngejalanin pekerjaan kotornya. Dia juga bakal ngincar keluarga si penghalang itu dan dibunuh. Termasuk Kakek Taegu yang emang dari dulu ngejar dia. Kakek Dongjun juga hampir dibunuh, tapi dia masih selamat. Dia cerita ini semua ke ayah, dan ayah langsung minta buat direkrut jadi agen, buat ngejar Lee Wonri dan komplotannya.
"Awalnya, mereka nggak tahu kalo ayah itu anaknya Kakek Taegu. Sampai akhirnya, ayah nikah sama Yumi, temen kuliah sekaligus anaknya Kakek Dongjun. Mereka ngincar Yumi karena dia anaknya Kakek Dongjun, dan ayah juga diincar karena status ayah sebagai suami Yumi, meskipun mereka lebih fokus ngincar Yumi dibandingkan ayah. Entah darimana, mereka akhirnya tahu kalo ayah adalah anaknya Kakek Taegu. Mereka juga jadi fokus ngincar ayah. Mereka udah entah keberapa kalinya nyelakain ayah, termasuk kecelakaan ini.
"Inget kan, ayah pernah bilang kalo Yumi meninggal karena kecelakaan mobil? Sebenarnya, bukan karena itu."
Telinga Nara semakin menegak untuk mendengar penyebab kematian ibunya.
"Waktu kamu masih berumur 9 bulan, Yumi diculik sama komplotan Lee Wonri waktu dia lagi belanja sama Kak Hyemi. Ayah berusaha nyelamatin, tapi sayangnya ayah terlambat."
Taeil mengusap air mata yang jatuh di pipinya, "Yumi dibunuh sama mereka. Sejak saat itu, ayah janji bakal ngejagain kamu sepenuhnya, satu-satunya yang ayah dan Yumi punya. Ayah ingin ngurus kamu sama tangan ayah sendiri, nggak ada campur tangan orang lain. Itulah kenapa, ayah nggak mau nikah lagi.". Taeil menghela nafas, "Jadi, jangan maksa ayah ikut kencan buta lagi, ya."
Nara yang sudah sesegukan menangis karena mendengar penyebab kematian ibunya yang sebenarnya, malah jadi tertawa. "Iya, maaf. Aku kan, baru tahu sekarang.", jawabnya. "Tapi, sekarang ayah masih diincar sama musuh ayah itu?"
"Masih. Kecelakaan mobil yang ayah alamin kemarin juga gegara mereka. Ditambah lagi, sekarang mereka udah tahu kamu.". Nafas Nara tercekat. "Kejadian empat bulan lalu yang kamu diikutin waktu jalan sendirian sampai kamu kecelakaan dan koma, terus sebulan lalu kamu diikutin orang lagi, sampai pot bunga yang hampir jatuh kena kamu, itu semua ulah mereka.". Taeil menghela nafas, "Mereka sekarang ngincar kamu juga. Ayah pikir, dengan kita pindah dari Seoul ke Daegu, mereka bakal kesulitan nemuin kita. Ternyata, mereka sekarang bergerak lebih cepat dari sebelumnya.
"Lee Wonri sekarang emang udah nggak aktif lagi di dunia kejahatan, tapi bisnis dia diterusin ke anaknya. Guru matematika kamu yang baru itu, yang namanya Im Kiyoung, sebenernya anak dari Lee Wonri. Nama aslinya Lee Daesuk. Kamu pernah bilang kalo dia sering natap kamu tajam, kan? Dia sebenernya lagi mata-matain kamu. Dia juga sering minta tolong ke kamu buat bantu dia, supaya kamu jadi akrab sama dia dan percaya apapun kata-kata dia."
"Tapi, aku nggak pernah jadi bantuin Pak Kiyoung,", Nara melirik pada Jinwoo, "soalnya Jinwoo suka ngehalangin. Tetiba minta anter beli buku, beli alat pancing, atau apapun yang aneh-aneh. Terus, kalo aku mau nyapa Pak Kiyoung, Jinwoo suka tetiba ngajak ngobrol."
"Soalnya, emang itu tugas dia. Ngehindarin kamu dari Lee Daesuk."
Nara mengernyit. Ia menatap Taeil dan Jinwoo bergantian. "Tunggu, tunggu.". Nara menunduk dan memegang kepalanya. Kemudian, ia menatap Jinwoo, "Jadi, kamu juga---"
"Iya, aku agen rahasia juga.", sahut Jinwoo. "Aku ditugasin sama Paman Taeil buat ngelindungin kamu dari Lee Daesuk, sampai Lee Wonri dan komplotannya berhasil kami tangkap. Makanya, aku sering ngikutin kamu. Takut-takut Daesuk tetiba ada di sekitar kamu."
"Nama asli Jinwoo itu Choi Kihyun. Dia anggota tim ayah yang paling muda, makanya ditunjuk buat nyamar jadi anak SMA.", jelas Taeil. "Oh, iya. Kamu harus manggil dia 'kakak', ya. Kihyun lebih tua dua tahun dari kamu."
Nara memijit-mijit pelipisnya. Otaknya masih berusaha mencerna semua yang dikatakan Taeil. Apalagi saat mendengar kalau Jinwoo---yang sekarang ia ketahui bernama Kihyun---berumur dua tahun lebih tua darinya. Masalahnya, sikap Kihyun benar-benar tidak menampakkan ia lebih tua darinya. Wajahnya pun malah terlihat lebih muda dari Nara. Sepertinya, Kihyun akan berhasil menjadi aktor karena aktingnya ini.
"Paman, mereka udah di depan. Kata Kak Wooseok, boleh masuk?", tanya Kihyun seraya menunjukkan pesan dari seseorang bernama Wooseok itu. Taeil mengangguk. Selang beberapa saat, masuklah Minha dan dua orang lainnya---pria dan wanita.
"Nara, ini semua tim ayah. Minha, yang kamu tahunya sebagai ibunya Jinwoo, nama aslinya Geum Hayeol. Dia bukan ibunya Kihyun asli, kok. Anak pertamanya masih TK. Hayeol jago bela dirinya, loh."
Hayeol melambaikan tangannya, "Sekarang panggilnya Bibi Hayeol, ya."
"Yang di sebelah Hayeol,", Taeil menunjuk seorang gadis yang barusan masuk, "namanya Do Aran. Paling ahli kalo nyamar dan bisa niruin suara apapun. Omong-omong, dia seneng banget waktu tahu nama kamu Nara, karena katanya 'Aran' kalo dibalikkin jadi 'Nara'."
Aran cekikikan, "Hai! Panggil aku Kak Aran aja, ya."
"Sok muda banget, minta dipanggil kakak.", cibir lelaki di sebelahnya.
Aran mendecak, "Aku emang lebih muda dari kakak, kan."
Taeil terkekeh, "Yang berantem sama Aran itu, namanya Han Wooseok. Hobinya ngerakit bom dan ngotak-atik barang elektronik apapun dan diubah jadi alat pelacak.". Wooseok hanya tersenyum lebar.
Nara hanya menatap mereka dengan bingung. Belum selesai otaknya mencerna informasi sebelumnya, sekarang ada yang baru lagi.
Aran yang melihat ekspresi bingung Nara langsung tertawa. "Kak Taeil, kayaknya dia masih kaget, deh."
"Jangan terlalu dipikirin, Nara. Lama-lama juga bakal ngerti, kok.", kata Taeil. "Intinya, sekarang kamu harus hati-hati sama guru matematikamu itu, ya.". Nara hanya mengangguk.
Mereka pun melanjutkan obrolan. Mulai dari menanyakan kondisi Taeil saat ini, Aran mengajak ngobrol Nara yang ternyata punya selera musik yang sama, hingga Wooseok yang jahil menjodoh-jodohkan Nara dengan Kihyun lalu mendapat tatapan tajam dari Taeil. Dua jam kemudian, Hayeol, Aran, dan Wooseok pamit pulang karena ada urusan di Seoul sore nanti.
Tepat lima menit setelahnya, Hyemi datang bersama Yongguk. Nara memekik kesenangan saat bertemu dengan Yongguk. Meskipun Yongguk lebih tua empat tahun dari Nara, saat mereka bertemu, mereka tetap akan berpelukan sambil melompat-lompat layaknya kartun Teletubbies.
"Eh, ini siapa?", tanya Yongguk saat melihat Kihyun yang langsung membungkukkan badan pada Yongguk. "Pacar kamu, ya? Ih, Nara udah gede!"
Melihat keterkejutan Kihyun, Nara mencubit pinggang Yongguk. "Bukan, ih! Temen aku, kok. Tetangga aku juga, makanya dia nengok ayah juga.". Yongguk terus menatapnya sambil tersenyum menggodanya, membuat wajah Nara memanas dan ia gelapan sendiri.
"Ayah, Nara lapar. Mau ke kafetaria, ya.", izin Nara. Ia tidak begitu lapar, sebenarnya. Ini sebuah upaya untuk menghindar dari Yongguk yang terus menggodanya.
"Sama siapa? Jangan sendirian."
"Sama Jinwoo, palingan. Eh, bibi udah makan?". Hyemi mengangguk. "Kak Yongguk juga?"
"Belum, sih. Tapi, kamu aja pergi sama pacar kamu. Aku nggak bakal ganggu, ah."
"Dibilangin bukan pacar, ih!", sewot Nara. Ia menyeret Kihyun keluar dari ruangan itu, diiringi dengan tawa puas Yongguk.
"Kak Yongguk ngeselin, ngeselin, ngeselin!", gerutu Nara pelan. Ia sadar wajahnya sudah sangat memerah, makanya ia terus menunduk sepanjang perjalanan menuju kafetaria.
Sementara Kihyun terus tersenyum melihat sikap Nara, sambil menyeimbangkan badan yang terseok-seok karena diseret olehnya.

Sepuluh

Ketakutan Nara pada tatapan Kiyoung semakin bertambah setelah ia mengetahui identitas aslinya yang ternyata bernama Lee Daesuk. Sebelumnya ia memang selalu menghindari tatapan Daesuk dan baru berani mendongak saat ia sudah berbalik menghadap papan tulis. Tapi sekarang, saat Daesuk tengah sibuk menulis rumus di papan tulis pun, Nara tak berani mendongak.
Kihyun meliriknya dan berdeham, memberi tanda agar Nara tidak terlalu menampakkan ketakutannya. Sayangnya, sinyal itu tidak tertangkap oleh Nara. Ia masih asyik menunduk sambil mencorat-coret bagian belakang buku catatannya. Kihyun pun mengambil secarik kertas kecil, menuliskan sesuatu dan menyodorkan pada Nara. Atensi gadis itu langsung teralihkan.
'Jangan terlalu ditunjukkin kalo kamu takut. Makin bahaya kalo dia curiga sama kamu.', begitu isi kertas kecil tersebut berbunyi.
Nara menoleh pada Kihyun yang hanya mengangguk, dengan matanya yang tak beralih dari papan tulis. Ia menghembuskan nafas perlahan. Saat ia menoleh ke depan, matanya langsung bersirobok dengan mata Daesuk. Nara hampir menunduk lagi, kalau saja Kihyun tidak langsung menggenggam tangan kanannya.
Nara tidak tahu kalau energi positif dari seseorang bisa ditularkan atau tidak, namun setelah Kihyun menggenggam tangannya, dapat ia rasakan kalau hatinya menjadi tenang. Perasaan takutnya seakan-akan hilang berangsur-angsur.
"Tenang, tenang. Ada aku, jangan takut.", Kihyun berbisik sangat pelan, bahkan bibirnya nyaris tidak bergerak sama sekali, dan pandangannya tidak beralih dari papan tulis. Jempol tangannya yang mengenggam Nara sibuk mengusap punggung tangan Nara.
 "Makasih, kak.", ucap Nara pelan. Kihyun hanya mengangguk kecil---masih dengan mata menatap papan tulis, seakan-akan mengangguk karena paham akan penjelasan Daesuk.
Sekali lagi, Nara menghembuskan nafasnya sebelum menatap ke depan. Daesuk juga tengah memperhatikannya, dan ia nampak terkejut melihat Nara yang biasanya mengalihkan pandangan, sekarang terang-terangan menatapnya balik.
Tidak, Nara tidak akan pernah mengalihkan pandangan lagi. Sekarang, Nara harus bisa menghadapinya. Ini memang risiko menjadi seorang anaknya agen rahasia, mau tak mau Nara harus menerimanya. Tidak bisa terus-terusan berlari, Nara harus mulai menghadapinya, seperti yang ayahnya lakukan.
Untuk mengganti 'mengalihkan pandangan' sebagai penyalur rasa takutnya jika bertatapan dengan Daesuk, ia akan mengeratkan genggamannya pada Kihyun. Terkadang genggamannya terlalu keras, hingga Kihyun sedikit meringis. Namun ia hanya mengangguk kecil, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa. Genggamannya pada Nara juga semakin erat, seakan mencoba memberi Nara kekuatan.
Detik itu juga, telah muncul rasa ingin melindungi dan ingin terus dilindungi dalam hati mereka.
**
"Aih, minum aku ketinggalan.", gerutu Nara saat baru keluar dari ruang ganti. "Kamu duluan aja ke lapangan, Bon. Aku mau ke kelas lagi, ambil minum.". Belum sempat Bona mengangguk, Nara sudah berlari ke kelas meninggalkannya.
Baru saja Nara hendak keluar kelas setelah mengambil botol minumnya, seseorang masuk ke kelasnya, membuat Nara membeku di tempat.
"Oh, Kim Nara. Kok masih di kelas? Bukannya kelas kalian sekarang pelajaran olahraga?", tanya Daesuk sambil tersenyum---yang menurut Nara sangat menakutkan.
"I-iya pak, minum saya tadi ketinggalan, jadi saya ba-balik lagi ke kelas.". Daesuk manggut-manggut. "Ba-bapak kenapa balik lagi ke kelas ini, pak? Ada yang ketinggalan?"
"Iya, kacamata saya ketinggalan di sini, kayaknya. Saya udah cari di tas, tapi nggak ada. Kamu lihat, nggak?"
Nara menggeleng cepat. "Nggak pak, maaf."
"Kamu bisa bantu sa---"
"Nara, cepetan ke ged---". Obrolan keduanya terhenti saat Kihyun tetiba masuk ke kelas. Ia pun sedikit terkesiap saat menyadari ada Daesuk juga di situ. "Oh, halo, Pak Kiyoung. Sedang apa?", tanyanya setelah membungkuk hormat.
"Saya lagi cari kacamata saya, takutnya ketinggalan di sini."
"Tadi saya nemu kacamata jatuh di deket perpustakaan.", Kihyun merogoh sakunya dan mengeluarkan kacamata dengan bingkai cokelat, "Yang ini, punya bapak bukan?"
Daesuk sedikit terbelalak, "Oh iya, betul ini punya saya."
Tidak, tentu saja kacamata itu tidak terjatuh begitu saja. Setelah mendengar dari Bona kalau Nara kembali lagi ke kelas, Kihyun langsung berlari menyusulnya. Ia memperlambat langkahnya saat melihat Daesuk tengah menaruh kacamatanya di pot bunga dekat perpustakaan. Curiga kalau Daesuk hendak mencoba mendekati Nara lagi, ia membuntutinya. Benar sesuai dugaan, Daesuk masuk ke kelas Nara.
Kihyun menyerahkan kacamata itu, lalu menghampiri Nara dan menariknya ke pintu. "Kalau begitu, kami permisi dulu ya, pak.". Punggung mereka pun menghilang di balik pintu, diiringi dengan tatapan tajam Daesuk.
"Nara! Masuk tim aku!", Bona memanggilnya sesaat ia dan Kihyun memasuki gedung olahraga.
"Kak, aku ke sana, ya.", pamit Nara sambil melepas genggamannya perlahan.
Kihyun mengangguk, "Hati-hati mainnya.", ucapnya, lalu ia bergabung ke kerumunan lelaki.
Tatapan curiga Seonghun mengiringi langkah Kihyun sampai ia duduk di sebelahnya. Kihyun menatapnya heran, "Kenapa, sih?", tanyanya. Matanya segera fokus menonton siswi perempuan yang bertanding voli.
Seonghun menyikut lengan Kihyun, "Kamu suka sama Nara, ya?", tanyanya.
Kihyun menoleh perlahan, "Kok bisa mikir kayak gitu?"
"Kalian lengket banget, sih. Ke mana-mana sering berdua. Pasti timbul rasa suka, dong?"
Kihyun tertegun, lalu terkekeh, "Nggak usah sok nebak-nebak, ah.". Ia kembali fokus menonton pertandingan.
"Tapi beneran, kamu nggak suka sama dia? Minimal rasa kagum, deh. Pasti ada lah, walaupun sedikit."
"Kalo suka, kenapa? Kamu takut ada saingannya?"
Seonghun memutar bola matanya, "Ya kali aku berpaling dari Bona.", ucapnya. "Aku denger dari anak-anak kelas sebelah, banyak cowok yang naksir Nara. Kakak kelas, seangkatan, bahkan adik kelas juga banyak. Cuma, mereka belum berani ngedeketin Nara, soalnya dia sering sama kamu."
"Terus?"
Jitakan keras mendarat di kepala Kihyun. "Ya kamu harus cepet-cepet nyatain perasaan kamu, lah! Nanti Nara malah ngerasa digantungin, terus keburu diambil orang. Aku, sebagai teman yang baik, nggak pengen kamu menyesal di kemudian hari."
Kihyun menghela nafas, "Iya, nanti. Sekarang belum waktunya."
"Kenapa? Mau fokus belajar dulu sampe ujian masuk universitas?". Kihyun hanya tersenyum. Seonghun berdecak, "Ah, alasan basi.". Seonghun pun mengalihkan pandangan pada pertandingan.
Kihyun melirik Seonghun sekejap dan kembali menonton. Senyuman tipis terukir di wajahnya kala melihat Nara yang memekik kegirangan setelah berhasil mencetak skor.
"Nanti, setelah aku berhasil dapet izin dari ayahnya.", ucapnya dalam hati.

Sebelas

"Yakin udah nggak ada barang yang ketinggalan? Minyak angin, obat anti mabuk, makanan, udah dibawa semuanya, kan?", tanya Taeil sebelum menghidupkan mobilnya.
"Udah, ayah. Nih, yang di list udah aku contreng semua.", Nara menunjukkan daftar barang bawaannya di ponsel.
Taeil melirik Kihyun dari kaca spion tengah, "Kihyun juga udah komplit semua?", tanyanya yang langsung dibalas anggukan Kihyun. Setelah memastikan semuanya sudah siap, Taeil pun melajukan mobilnya menuju sekolah Nara.
Hari itu merupakan hari study tour sekolah Nara. Mereka akan pergi ke Taman Nasional Ibu Kota. Melakukan perjalanan sejauh itu sungguh membuat Taeil khawatir. Daesuk untungnya tidak ikut, namun Taeil tetap mewanti-wanti Kihyun agar jangan pernah meninggalkan Nara sendirian, meskipun sebenarnya ia tahu, tanpa ia minta pun Kihyun akan tetap menjaga Nara.
Para murid sudah berbaris rapi sesuai dengan kelasnya saat mereka sampai. Nara dan Kihyun langsung berlari mencari kelas mereka, sementara Taeil berbincang dengan orang tua murid lain.
Selang beberapa menit, para murid mulai mengisi bus yang sesuai dengan kelas mereka. Setelah semua murid lengkap dan sudah berada di bus, mereka pun mulai berangkat. Nara yang duduk di dekat jendela melambaikan tangannya pada Taeil yang masih menunggu di sana sampai bus benar-benar berangkat.
Menempuh perjalanan sekitar hampir dua jam, bus-bus yang mengangkut para murid dari sekolah Nara pun sampai di tujuan. Para murid langsung dibariskan sebelum memasuki gerbang. Setelah memastikan anggota kelasnya sudah berbaris semua, ketua kelas pun diberi tiket untuk anggota kelasnya dan dipersilakan masuk.
Dengan semangat, Nara hendak berlari kecil memasuki gerbang taman. Namun, tangannya yang langsung digenggam Kihyun menghambat langkahnya.
"Kata Paman Taeil, nggak boleh pergi sendirian.", ucapnya. Nara mendecih, namun kemudian tertawa.
"Harus banget ya, pegangan tangan?", celetuk Seonghun.
"Kenapa? Mau juga?", tanya Kihyun dengan nada gurauan.
Seonghun melirik Bona yang tepat berada di sampingnya, "Mau, nggak?"
Bona memicingkan mata dan berjalan menjauh sambil bergidik.
**
Penat mengikuti tur yang diberikan dan memang sudah diberikan free time, mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah toko oleh-oleh.
 "Makanannya sama aja kayak di Daegu, ah.", ujar Seonghun sambil membolak-balik sebungkus roti.
"Kita kan, cuma keluar kota, bukan keluar negeri. Ya pasti sama, lah!", sahut Bona. Nara hanya tertawa melihat tingkah mereka. Ia menoleh ke kanan untuk bertanya pada Kihyun apakah ia mau membeli sesuatu. Namun, ia malah mendapati Kihyun tengah terpaku menatap ke luar jendela. Nara mencoba mencari apa yang tengah ditatap Kihyun, tapi ia hanya mendapati gerombolan orang. Nara menyikut lengannya pelan hingga ia terkesiap.
"A-apa?", tanyanya.
"Mau beli sesuatu, nggak?". Kihyun mengangguk. "Beli apa?". Nara melihat Kihyun menatap sebuah jam dinding yang tergantung. "Mau beli itu?", tanyanya lagi. Kihyun tidak menjawab. Nara mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Kihyun, dan lagi-lagi ia terkesiap.
Nara mendengus saat mengetahui kalau Kihyun tadi melamun. "Kakak kenapa, sih? Ngelamun aja."
"A-apa? Ng-nggak apa-apa, kok.", jawabnya. Kihyun kembali menatap ke luar jendela dan ia celingukan, terlihat seperti tengah mencari sesuatu---atau seseorang. "Kamu bisa tunggu dulu di sini sama Seonghun dan Bona? Aku harus keluar sebentar."
"Mau ke mana?"
"Tunggu sebentar aja, ya. Sebentar banget kok, aku janji.", Kihyun pun melangkah menuju pintu. Belum sempat membuka pintu, Nara sedikit menarik tangannya.
"Aku ikut.", kata Nara. "Kakak udah janji sama ayah, nggak bakal ninggalin aku sendirian."
Kihyun diam, namun sedetik kemudian ia mengangguk. Sambil menggandeng Nara, mereka keluar dari toko itu.
Tangan Kihyun yang lain merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan topi hitam serta kacamata yang berlensa netral. "Nih, pake.", titah Kihyun sambil menyodorkan kacamata itu. Ia sendiri memakai topi itu terlalu bawah, hingga menutupi sebagian wajahnya. "Karena kamu sendiri yang pengen ikut aku nyamar, jadi kamu juga harus nyamar.", jelasnya, seakan-akan tahu Nara hendak bertanya padanya. Nara hanya manggut-manggut dan memakai kacamata itu.
Nara baru mengerti kalau Kihyun tengah membuntuti seseorang saat Kihyun menariknya ke sebuah tembok dan mengintip dua orang pria yang berbeda tinggi itu memasuki sebuah restoran. Setelah dua pria itu masuk, Kihyun menarik Nara untuk masuk juga ke restoran itu. Dua pria tersebut duduk di pojok kanan restoran, sementara Nara dan Kihyun duduk di meja yang berjarak dua meja dari sana. Kihyun menyuruh Nara untuk duduk membelakangi mereka, agar Kihyun tertutupi badan Nara dan bisa dengan mudah memata-matai.
Ia memperhatikan Kihyun yang menatap dua pria di belakangnya dengan fokus. Keadaan restoran memang tidak terlalu ramai, namun Nara tetap saja tidak bisa menangkap pembicaraan dua pria yang tengah Kihyun buntuti itu. Sepertinya mereka berbicara dengan sangat pelan. Nara menyimpulkan kalau Kihyun tengah membaca gerak bibir mereka.
"Selamat siang, kak. Mau pesan apa?", seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menyodorkan buku menu. Nara menatap Kihyun bingung. Mereka kan, datang ke sini untuk memata-matai, bukan untuk makan.
"Pesen apa aja. Punyaku samain sama kamu.", kata Kihyun, dengan mata yang masih terpaku pada meja belakang. Nara pun memesan dua porsi tiramisu dan dua gelas cappucino.
Sambil menunggu pesanan, Nara ingin sekali bertanya pada Kihyun mengenai siapa dua pria yang sedang ia ikuti. Kihyun melirik Nara sebentar, "Nanti bakal aku jelasin mereka siapa. Sabar, ya.", kata Kihyun. Nara terperangah. Apakah Kihyun punya kemampuan membaca pikiran seseorang? Nara hanya mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Sesekali ia menatap wajah Kihyun, dan terlihat raut wajahnya yang sesekali terkejut karena pembicaraan dua pria itu.
Pesanan mereka pun datang. Kihyun mulai memakan makanannya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari dua pria itu. Beberapa menit kemudian, sepertinya pembicaraan rahasia dua pria itu sudah selesai, karena ia dapat mendengar gelak tawa mereka dan obrolan tentang hasil pertandingan dua klub sepak bola di Liga Eropa. Kihyun juga sudah tidak lagi menatap mereka dan mulai mengalihkan pandangannya pada tiramisu yang sedari tadi ia tusuk-tusuk dengan garpu hingga bentuknya sudah tak karuan.
Dua pria itu pergi terlebih dahulu sebelum Kihyun dan Nara menghabiskan makanan mereka. Nara menoleh pada Kihyun, hendak bertanya apakah ia akan membuntuti mereka lagi, namun Kihyun menggeleng pelan.
"Udah cukup.", ucapnya lirih. Ia menghela nafas, lalu tersenyum tipis. "Cepet habisin, yuk. Aku yakin Seonghun sama Bona nyariin kita.". Nara hendak bertanya lagi mengapa Kihyun terlihat sedih, namun Kihyun langsung menggeleng. "Aku nggak apa-apa.", ucapnya. Karena Nara tipe orang yang tidak mau memaksa seseorang untuk bercerita padanya, ia pun hanya mengangguk dan cepat-cepat menghabiskan tiramisunya.
Wajah gembira Kihyun kembali setelah ia mengetahui kalau pesanan mereka mendapat diskon 30% karena restoran tersebut sedang merayakan hari jadi yang kelima dan memberi diskon untuk pasangan kekasih yang datang ke sana. Ia tertawa geli dan mulai bercanda memanggil Nara dengan sebutan 'kekasihku', yang tentu saja langsung Nara hadiahi dengan pukulan di lengannya.
Nara dan Kihyun langsung berjalan menuju tempat parkir, karena Bona mengirim pesan pada Nara bahwa lima menit lagi waktunya untuk pulang. Seonghun langsung protes pada Kihyun saat mereka datang, bertanya mengapa mereka meninggalkan Seonghun dan Bona. Kihyun hanya menjawab mereka melihat sebuah restoran yang menyediakan diskon untuk pasangan kekasih dan mereka makan di sana untuk memanfaatkan diskon itu. Seonghun lagi-lagi protes mengapa ia dan Bona tidak diajak, padahal ia juga ingin mendapatkan diskon.
Saat sudah nyaman duduk di bus, Kihyun langsung bersedekap dan memejamkan matanya. Mengira kalau Kihyun kelelahan, Nara mengurungkan niatnya untuk menawarkan permen padanya. Nara mengambil ponselnya untuk mengabari Taeil kalau mereka sudah dalam perjalanan pulang.
Keadaan bus sudah sepi, nampaknya murid-murid kelas Nara sebagian besar sudah tertidur. Karena tidak bisa tidur meski sedari tadi sudah memejamkan matanya, Nara pun hanya diam sambil memandang ke luar jendela. Ia menoleh pada Kihyun, siapa tahu ia sudah terbangun dan Nara bisa mengajaknya ngobrol. Rupanya, kedua mata Kihyun masih menutup rapat, menandakan dirinya masih terlelap.
Nara baru saja hendak menoleh ke jendela lagi, saat netranya menangkap sebulir air mata yang menetes ke pipi Kihyun, yang detik itu juga langsung diusap oleh sang pemilik air mata itu. Tangan Kihyun kembali bersedekap, terbatuk kecil, berlagak seperti dirinya masih terlelap.
Kihyun benar-benar pandai berakting. Meskipun Nara tak tahu apa yang membuat Kihyun sampai menangis, hatinya juga ikut teriris.

Dua Belas

Nara mencari Kangjoon sesaat setelah ia menginjakkan kakinya di kelas. Ia menyodorkan sebuah amplop berisi surat, "Ki---eh, Jinwoo izin nggak masuk seminggu, ada acara keluarga.", jelasnya. Kangjoon mengangguk paham dan menerima surat itu.
"Ada acara apa sampe dia izin seminggu gitu?", tanya Bona saat Nara sudah sampai di bangku.
Nara mengangkat bahu, "Dia cuma bilang acara keluarga, udah gitu aja."
Tepat hari kelima setelah terlaksanakannya study tour, Kihyun berkata kalau ia harus pergi ke suatu tempat dalam waktu yang cukup lama, entah sampai kapan. Taeil pun menyuruhnya untuk membuat surat izin tidak masuk sekolah untuk seminggu dulu, dan jika dalam seminggu urusannya belum beres, ia bisa membuat surat izin lagi.
Tentu saja Nara bertanya pada Kihyun, urusan apa yang membuatnya harus izin dari sekolah hingga waktu yang cukup lama. Bukannya mendapat jawaban yang diinginkan, Kihyun malah tersenyum dan berkata, "Pokoknya, ini urusan yang penting buat aku. Mungkin nanti kamu bakal tahu, mungkin juga nggak."
Taeil yang Nara kira sudah tahu Kihyun hendak pergi ke mana, rupanya juga terkejut saat mendengar keputusan Kihyun. Bahkan Hayeol, 'sang ibu' pun tidak tahu apa-apa. Kihyun tetap menolak memberi tahu saat keduanya menanyakan alasannya. Kihyun hanya berkata mungkin suatu saat Taeil dan Hayeol akan tahu, tapi sepertinya tidak saat ini.
Taeil bahkan sampai menelepon Wooseok dan Aran yang berada di kantor pusat untuk mencari tahu apakah Kihyun sudah meminta izin pada pimpinan organisasi perihal ini. Mereka bilang sudah, namun para petinggi tidak mau memberi tahu alasannya. Para petinggi bilang, Kihyun yang meminta mereka untuk tidak berkata apa-apa, biar ia saja sendiri yang memberi tahu jika sudah waktunya.
Kihyun berangkat dari Daegu kemarin sore. Awalnya, ia menolak tawaran Taeil yang hendak mengantarkannya ke bandara. Setelah Taeil mengancamnya akan memindahkan ke divisi lain di organisasi jika ia menolak, akhirnya Kihyun luluh. Itu juga hanya mengantarkannya sampai pintu masuk bandara, tidak sampai dalam, karena Kihyun yang keukeuh ingin diantar sampai disitu saja.
"Kira-kira kenapa ya, Kihyun kayak gini?", Taeil membuka diskusi kecil-kecilan di mobil sepulang mereka mengantar Kihyun ke bandara. "Ada yang aneh akhir-akhir ini sama Kihyun nggak, Yeol?"
"Kalo sekarang dipikir-pikir, iya sih... dia akhir-akhir ini aneh. Aku lupa sejak kapan, Kihyun jadi pendiem banget. Ya emang dia orangnya nggak sebawel kakak atau Wooseok, tapi diemnya dia sekarang lebih parah dari sebelumnya.". Taeil hanya menatap Hayeol jengah lewat kaca spion tengah saat dirinya menyebut Taeil seorang yang bawel.
"Kamu gimana, Ra? Ngerasa Kihyun aneh, nggak?"
Nara diam, mencoba mengingat-ingat. "Iya, sih. Jadi agak beda sejak---oh! Aku inget!". Taeil menoleh sekejap pada Nara dan Hayeol memajukan badannya. "Kak Kihyun jadi beda semenjak waktu di study tour, setelah kita ngebuntutin bapak-bapak di restoran."
"Hah? Ngapain ngebuntutin bapak-bapak?", Hayeol keheranan. Nara pun mulai menceritakan saat ia dan Kihyun memata-matai dua pria di Taman Nasional Ibu Kota.
"Kamu lihat wajah bapak-bapak itu gimana, nggak?", tanya Taeil.
Nara mengangguk, "Tapi cuma sekilas, sih. Seorang tingginya kira-kira sama kayak ayah, satunya lagi lebih pendek sedikit. Bapak yang pendek itu, punya tahi lalat di bawah mata kirinya. Tangan kirinya bapak yang tinggi ada bekas codetan."
Taeil tertegun. Ia menengok ke belakang saat mobil benar-benar berhenti karena lampu merah. "Hayeol, kamu masih punya fotonya Dohyun sebelum dia hilang?", tanyanya. Hayeol mengangguk dan cepat-cepat mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar foto. Dalam foto tersebut, ada lima orang sedang berpose di depan air mancur. Ada Taeil, Hayeol, Wooseok, Aran, dan satu pria, entah siapa.
Taeil menunjuk salah satu pria, "Yang punya tahi lalat, kayak gini bukan mukanya?". Nara memicingkan mata, mencoba mencocokkan wajah pria bertahi lalat dengan pria di foto ini.
"Iya, bener dia!". Taeil dan Hayeol sama-sama membelalakkan matanya. "Emangnya dia siapa, Yah?"
Terdengar helaan nafas dari Taeil. "Dia Choi Dohyun, ayahnya Kihyun. Dia wakil ketua tim ayah sebelum Hayeol. Enam tahun yang lalu, dia dinyatakan hilang waktu tim ayah lagi ngejar komplotannya Lee Wonri, dan sampai sekarang belum ketemu.". Nara menahan nafasnya.
"Kayaknya, sekarang aku tahu Kihyun mau ngapain.", ucap Taeil. "Tapi, lebih baik kita jangan cepet-cepet nyimpulin. Kita tunggu aja Kihyun sendiri yang cerita."
**
Sudah dua minggu Kihyun pergi, dan dua minggu itu juga Nara seperti kehilangan semangatnya. Datang ke kelas, lesu. Pergi ke kantin, lesu. Saat pulang pun ia lesu. Kalau kata Seonghun, Nara sudah kehilangan separuh jiwanya, makanya terlihat seperti mayat hidup.
"Hei, mau ke mana?", Taeil menjulurkan kepalanya dari dapur saat memergoki Nara yang berjalan menuju pintu.
"Mau ke atap, ayah. Izin, ya.". Punggung Nara menghilang di balik pintu.
Nara menapaki anak tangga dengan langkah yang gontai. Biasanya, saat ia ke atap, Kihyun sudah berada di sana, sedang tiduran di bangku taman atau tengah menyusun kardus yang tertumpuk di sudut atap menjadi menara yang langsung ambruk saat angin menghempaskannya. Memang nampak seperti orang yang kurang kerjaan, tapi hal itu selalu sukses membuat Nara tertawa.
Nara sudah sampai di depan pintu masuk menuju atap. Ia masih berdiri di depannya, belum menyentuh gagang pintunya sama sekali. Menghela nafas perlahan, berharap saat ia membuka pintu, ia akan menemukan sosok Kihyun. Ia pun membuka pintu perlahan. Dalam hatinya, ia sudah siap-siap untuk kecewa kalau lagi-lagi tak ada Kihyun di sana.
Sungguh hari yang beruntung untuk Nara, karena saat pintunya terbuka dengan lebar, ia mendapati sosok yang ia rindukan tengah berdiri di sisi atap sambil membelakangi pintu, menatap pemandangan kota yang biasa Nara lihat.
"Kak Kihyun!", Nara berlari menghampirinya. Kihyun menoleh dan memberinya tatapan sendu. Ia memutar badannya menghadap Nara yang berdiri di sampingnya.
"Kakak dari mana aja? Kenapa baru pulang sekarang? Kakak nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang luka, kan? Aku khawatir kakak kenapa-napa, tahu!", Nara mengomel. Biasanya, kalau Nara sudah begini, Kihyun akan menekan pipi Nara hingga bibirnya mencuat keluar. Tapi, sekarang Kihyun hanya diam, masih menatap Nara dengan sendu.
"Kak? Kok diem aja, sih?", Nara melambaikan tangannya di depan wajah Kihyun. "Eh, ini beneran Kak Kihyun, kan? Kakak... kamu bukan hantunya Kak Kihyun, kan?", Nara meringis sambil mengusap lengannya. Apalagi, hari sudah hampir petang, dan biasanya kan, 'mereka' muncul di waktu petang....
"Ini beneran aku, Nara.". Sebuah suara muncul dari sosok di hadapannya, membuat Nara menghela nafas lega.
"Ah, kirain hantu!". Nara mengusap dadanya. "Kakak ke mana aja, sih?"
Lagi-lagi Kihyun diam. Ia malah memejamkan mata lalu menengadahkan kepala. Setelah menghembuskan nafas, ia kembali menatap Nara, "Aku mau minta tolong. Boleh?", pintanya.
"Boleh, dong. Minta tolong apa?"
Kihyun selangkah mendekat padanya, membuat nafas Nara tercekat. Sedetik kemudian, Kihyun menopangkan dagunya di pundak Nara dan melingkarkan tangan di bahu Nara.
"Kakak kenapa...?", tanya Nara. Tak lama kemudian, dapat ia rasakan badan Kihyun yang berguncang. "Loh, kakak nangis?!". Nara hendak melepaskan pelukan Kihyun untuk melihat wajahnya, namun tangan Kihyun langsung mencegatnya.
"Jangan. Jangan lihat aku sekarang.", ucapnya lirih.
Nara diam, kemudian mengangguk. Tangannya sekarang berpindah mengusap punggung Kihyun perlahan. "Nangis aja kak, nggak apa-apa. Nangis emang nggak bikin masalah selesai, tapi seenggaknya perasaan kakak jadi lega.". Tidak ada jawaban apapun dari Kihyun, hanya terdengar isakan yang berusaha ia tahan.
Selang beberapa menit, ujung mata Nara menangkap seseorang tengah berdiri di ambang pintu. Saat ia menoleh, ia mendapati Taeil menatap mereka. Nara terkejut, mengira Taeil hendak menghampiri mereka dan memarahi Kihyun yang seenaknya memeluk Nara.
Ajaibnya, Taeil malah bertanya tanpa suara, "Kihyun kenapa?". Nara sedikit mengangkat bahunya. Taeil mengangguk paham, lalu berkata tanpa suara lagi, "Tenangin dia dulu, ya. Nanti ayah mau nanya sesuatu sama dia.", setelah itu ia pergi sebelum Nara sempat mengangguk.

Tiga Belas

Degup jantung Kihyun berderu kencang. Padahal, ia hanya sedang berada di ruang tengah unit apartemen Taeil dan Nara. Berada di sarang musuh berhari-hari tidak pernah membuat ia segugup ini.
Dalam hati ia menyesali keputusannya memeluk Nara di atap satu jam yang lalu. Ia akui, hatinya memang menjadi lebih tenang dibanding sebelumnya saat ia meluapkan tangisannya di pundak Nara, ditambah usapan yang Nara berikan di punggungnya. Sayangnya, ketenangan itu langsung lenyap saat Nara mengajaknya pulang dan berkata,
"Kakak ke unit aku dulu, yuk. Ayah katanya mau nanya sesuatu sama kakak."
Taeil duduk di hadapan Kihyun dan menyodorkan secangkir teh, "Minum ini dulu, biar tenggorokanmu nggak seret.". Kihyun mengangguk, lalu mengangkat cangkir teh dengan tangan yang gemetaran. Taeil tertawa pelan.
"Kamu pasti takut paman bakal marahin kamu gegara kamu meluk Nara di atap?". Tanpa keraguan, Kihyun mengangguk. Membuat Taeil tertawa semakin keras. "Itu diurus kapan-kapan aja. Sekarang, paman mau nanya sesuatu yang lebih penting."
Kihyun sedikit lega, meskipun ia masih harus berhati-hati. Taeil bukan memberikan izin untuk menyukai Nara, ia hanya menunda waktu untuk membicarakan hal itu.
Baru saja Taeil membuka mulutnya untuk bertanya, Nara keluar dari kamar dan langsung duduk di sebelah Taeil. Taeil menatapnya datar.
"Kenapa, sih? Aku juga ingin tahu Kak Kihyun selama ini ke mana aja.", protes Nara. Taeil hanya memutar bola matanya.
"Paman tahu, kamu pergi ketemu sama Dohyun, kan?", tanya Taeil. Kihyun terbelalak, lalu perlahan mengangguk. "Untung Nara lihat pria yang kamu buntutin, walaupun seki---heh, jangan senyum-senyum. Ini lagi serius."
Senyuman bangga Nara berganti menjadi kecut saat Taeil menegurnya.
"Jadi, kamu bisa cerita apa yang udah terjadi?", Taeil kembali fokus pada Kihyun. "Paman sebenernya nggak mau maksa, sih. Cuma, ngelihat tadi kamu nangis sampai segitunya, paman nggak tega ngebiarin kamu nyimpen semuanya sendirian. Paman udah bilang kalo paman anggap kamu kayak anak paman sendiri, supaya kamu nggak ada sungkan sama paman kalo butuh sesuatu."
Kihyun mengulum bibirnya dan mengerjapkan mata, sekuat tenaga menahan tangisnya.
Taeil maju dan mengusap bahu Kihyun, "Nggak apa-apa kalo kamu mau nangis."
Setetes air mata mengalir di pipi Kihyun tepat setelah Taeil berkata begitu.
"Pertama kali aku lihat ayah di Taman Nasional, waktu study tour kemarin. Aku pikir, aku cuma salah lihat, mungkin aja dia cuma orang yang mirip sama ayah. Tapi paman sendiri tahu kan, kalo tahi lalat di bawah mata ayah itu khas banget. Bentuknya hati, bukan lingkaran kayak punya kebanyakan orang. Dari situ aku yakin kalo itu betulan ayah yang selama ini hilang.
"Baru aja aku niat mau nyamperin, ada pria tinggi yang lebih dulu nyamperin dia dan ngajak dia pergi dari tempat dia nunggu. Aku pun buntutin mereka---bareng Nara yang maksa ikut---sampai mereka masuk ke sebuah restoran. Mereka ngobrol dengan sangat pelan, bahkan hampir nggak kedengeran."
"Tapi, kamu berhasil nangkep mereka ngobrolin apa?"
Kihyun mengangguk, "Meskipun pelan, mereka nggak berusaha nutupin gerak bibir mereka.". Ia menarik nafas panjang, "Pria itu nanya ke ayah, apa persiapan ayah udah matang. Ayah bilang, semuanya udah siap, tinggal tunggu waktu yang tepat buat ngelaksanain rencana mereka. Terus, mereka ngomongin senjata-senjata yang bakal mereka pakai buat tempur. Setelahnya, pria itu nanya lagi, apa ayah udah punya nomor telepon aku. Ayah udah punya, katanya, dan berniat buat nelepon aku tiga hari lagi. Terus, pria itu bilang, 'Aku yakin kamu pasti bisa ngeyakinin anakmu itu. Dia pasti masih rindu sama kamu, kan? Selain itu, dia anak yang penurut. Pasti mudah buat kamu untuk ngebujuk dia pindah haluan.'. Ayah ketawa dan bilang kalo itu masalah yang mudah, dan ia juga bilang kalo aku belum sepenuhnya dewasa, sehingga masih mudah dibodohi."
Nara berlari ke dapur untuk mengambil persediaan tisu, karena tisu di ruang tengah hampir habis untuk menguras air mata Kihyun. Kihyun pasti masih akan mengeluarkan air mata yang lebih banyak, begitu pikir Nara.
"Sesuai rencana dia, bener Dohyun nelepon kamu tiga hari setelahnya?". Kihyun mengangguk. "Apa yang dia bilang?"
"Ayah minta buat ketemu di Osaka, dua hari setelah ayah nelepon. Ayah bilang aku harus datang sendirian ke bandara dan aku bakal ditemenin sama salah satu temennya sampai tujuan. Benar aja, tepat setelah aku masuk ke bandara, aku langsung diseret sama pria yang badannya jauh lebih besar dariku sampai kami masuk pesawat. Saat sampai di bandara tujuan, mataku ditutup kain hitam dan lagi-lagi aku diseret sama pria itu untuk masuk ke mobil. Mataku baru dibuka saat aku udah sampai di sebuah ruangan di gedung tua, dan ayah ada tepat di depan aku. Dia tersenyum lebar dan memelukku erat, bilang kalo dia rindu aku, dan basa-basi lainnya.
"Ayah cerita, selama ini ayah menghilang demi kebahagiaannya dan kebahagiaan aku. Dia pergi karena dia muak sama organisasi dan berusaha untuk mencari kebebasannya. Awalnya aku nggak paham apa 'kebebasan' yang dia maksud. Sampai dia nawarin aku 'kebebasan' itu, yang ternyata dia minta aku buat ngekhianatin organisasi, sama kayak yang dia lakuin enam tahun lalu. Dia minta aku buat gabung sama komplotannya Lee Wonri. Katanya, kalo aku gabung, aku bakal berperan jadi double agent dan menguras informasi dari organisasi sebanyak-banyaknya, supaya Lee Wonri dengan mudah ngehancurin organisasi---"
Nara mengacungkan tangan, "Maaf nyela, tapi double agent itu apa?", potongnya.
"Agen yang pura-pura mata-matain pihak target, tapi sebenernya dia lebih setia sama pihak target. Atau, agen yang asalnya ngebela satu pihak, tapi pindah ke pihak lain dengan sukarela atau dibawah paksaan.", jelas Taeil.
Nara menggaruk pipinya, tanda tak paham. "Ah, nanti aja ayah jelasin lagi. Kasihan Kihyun mau cerita malah dipotong sama kamu.". Nara mengerucutkan bibirnya, lalu mengangguk. Taeil mengangkat tangannya untuk menyuruh Kihyun melanjutkan kisahnya lagi.
"Ayah ngasih aku kesempatan buat mikirin ini selama tiga hari, biar keputusan aku matang dan nggak bakal berubah lagi. Tapi aku langsung nolak tawaran dari ayah saat itu juga, tanpa ngambil kesempatan berpikir itu. Ayah tentu aja marah. Dia bilang, aku anak durhaka yang udah ngebangkang dan lebih milih buat ngelawan ayah. Aku nggak peduli sama cap itu, tapi ayah udah bener-bener salah sekarang, dengan putar haluan jadi pihaknya Lee Wonri. Tanpa keraguan, aku langsung pergi dari gedung itu dan balik lagi ke bandara."
"Tapi, tadi mata kakak ditutup. Gimana caranya kakak tahu jalan pulang dari situ?", tanya Nara.
"Mataku emang ketutup, tapi telingaku nggak, Ra. Aku udah kenal Osaka sebaik aku kenal Seoul dan Daegu. Aku bisa tahu ke mana aku di bawa dari suara-suara yang ada di sekitar."
Lagi-lagi Nara tak paham maksud pembicaraan mereka. Ini gegara Taeil dan Kihyun yang kelewat pintar, atau otak Nara yang terlalu lambat berpikir?
"Kayak di film Sherlock Holmes itu loh, Ra. Yang dia dibawa ke Kuil Empat Orde sambil ditutup matanya, tapi dia tetep tahu ke mana dia dibawa gegara dia nyium harum Daun Brittany dari toko roti di Saffron Hill.", kata Taeil. Nara menjentikkan jarinya, lalu bertepuk tangan pelan.
"Wah, keren! Aku pikir cuma Sherlock yang bisa gitu.", pujinya.
"Ayah juga bisa gitu, kok nggak pernah dipuji sama kamu.", cibir Taeil.
Nara mendengus. "Ya aku mana tahu, ayah nggak pernah praktekin itu di depan aku.". Taeil mendecak sebal.
"Terus kalo kamu langsung pergi dari Dohyun, selama dua minggu kemarin kamu ke mana?", tanya Taeil.
"Karena aku yakin mereka bakal ngebuntutin aku kalo aku langsung pulang ke Korea, aku pergi dulu ke Indonesia dan nginep selama sehari. Setelah itu, aku pergi ke Australia. Sorenya, aku langsung ke Spanyol, dan besoknya aku nyebrang ke Prancis buat terbang ke Korea. Aku pulang dulu ke rumah dan jalan-jalan ke kampus buat nenangin diri, dan baru hari ini aku balik ke sini."
Dua reaksi yang bertolak belakang ditunjukkan oleh Keluarga Kim ini. Taeil yang sudah biasa mendengar hal ini hanya manggut-manggut, sementara Nara terperangah mendengar Kihyun yang dengan mudahnya berpindah ke berbagai negara, layaknya hanya berpindah dari ruangan satu ke ruangan lain.
"Besok kamu harus laporan ke kantor tentang semua ini.", pungkas Taeil. "Kebetulan besok paman juga harus ke kantor, jadi kamu bareng paman aja."
"Nara ikut boleh nggak?", tanya Nara.
Taeil mengernyit, "Ngapain?"
"Pengen tahu kantor ayah. Boleh ya? Please....", Nara memohon sambil menggoyang-goyangkan lengan Taeil dan memasang wajah sememelas mungkin. Taeil menatapnya jengah, lalu telunjuknya bergerak mendorong kening Nara agar wajahnya menjauh.
"Iya deh, iya.", jawabnya, membuat Nara melonjak kegirangan di kursinya.
"Lebih baik sekarang kamu pulang, istirahat yang cukup. Paman besok bakal pergi jam 7 pagi.", beri tahu Taeil. Kihyun mengangguk. Setelah pamit, ia pun pulang ke unitnya.

Empat Belas

"Oh, ternyata ini?!", pekik Nara saat mobil Taeil memasuki area parkir sebuah gedung dengan plang 'OIN' di atasnya. "Kalo gedung ini sih, aku juga tahu! Padahal setiap pulang sekolah waktu SMP, aku lewat ke sini. Tapi, baru tahu kalo ini gedung intel."
Taeil menarik tuas rem saat mobilnya terparkir sempurna, "Baru tahu juga kalo ini kantor ayah yang sebenernya, kan?". Ia melepas sabuk pengaman dan menekan tombol pelepas sabuk pengaman Nara. "Ayo turun, Nara, Kihyun."
Mereka langsung berjalan menuju lift saat memasuki gedung. Nara kira, ia akan melihat banyak orang yang berpakaian seperti Pasukan SWAT atau berseragam khas. Nyatanya, semua orang di sini berpenampilan seperti pegawai kantor yang lain, dengan setelan jas atau kemeja. Taeil dan Kihyun juga berpakaian serupa.
Melihat Kihyun memakai setelan jas hitam merupakan hal yang baru bagi Nara. Biasanya, ia hanya melihat Kihyun memakai seragam saat di sekolah dan kaos oblong atau jaket saat di rumah. Penampilannya hari ini membuat Kihyun semakin terlihat dewasa dan lebih tampan dari sebelumnya. Nara sampai berkali-kali memukul dadanya pelan karena ritme degup jantungnya tetiba meningkat saat melihat Kihyun memakai setelan jas.
Mereka keluar saat pintu lift terbuka di lantai 6 dan berjalan menuju ruangan di ujung lorong. Tepat saat tangan Taeil hendak meraih gagang pintu, pintu sudah terbuka duluan dari dalam.
"Astaga!", Aran memekik saat hampir menabrak Taeil yang berdiri di ambang pintu. "Eh, kakak. Kirain siapa. Sama siapa ke si---eh, Nara ikut!", serunya saat melihat kepala Nara yang tersembul dari balik punggung Taeil. Nara tersenyum sambil melambai kecil. Aran melirik pada Kihyun yang berdiri di belakang Nara, "Heh! Kamu ke mana aja?!". Yang ditanya hanya 'haha-hehe'.
"Aku mau ke ruangan Ketua dulu, nitip Nara di sini, ya.", kata Taeil. Ia menoleh pada Kihyun, "Paman bakal telepon kamu kalo para petinggi udah siap. Nanti, kamu langsung ke atas aja, ya.". Kihyun mengangguk. Taeil pun berlalu bersama Aran yang kebetulan mau ke ruangan lain, sementara Nara dan Kihyun masuk ke ruangan.
"Duduk di situ aja, itu mejanya Paman Taeil.", Kihyun menunjuk meja di pojok ruangan. Alih-alih langsung duduk, Nara malah berkeliling ruangan sambil melihat-lihat.
"Bibi Hayeol sama Kak Wooseok ke mana, kak?", Nara membolak-balik sebuah majalah yang tersimpan di meja Hayeol.
"Bibi Hayeol suka datang agak siang, nganterin anaknya dulu ke TK. Kalo Kak Wooseok, kayaknya lagi---ah, udah waktunya.", ujar Kihyun saat melihat ponselnya berdering. "Nara, aku tinggal dulu, ya. Sebentar lagi Kak Aran bakal balik, kok.". Nara hanya mengangguk dan menatap Kihyun hingga punggungnya menghilang di balik pintu.
Sudah hampir satu jam Nara sendirian di ruangan itu. Merasa bosan, Nara pun memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kantor. Sekalian mencari kafetaria karena ia sudah merasa lapar.
"Ih, kenapa ruangan ayah ditempatin di lantai yang sepi gini, ya? Kalo malem-malem horor banget, kayaknya." gumamnya sambil berjalan perlahan menyusuri setiap ruangan di lantai tersebut. Tidak menemukan sesuatu yang menarik, Nara berjalan menuju lift.
"Heh! Siapa kamu?!". Seruan dari seorang pria mengejutkan Nara hingga ia tak jadi menekan tombol turun. Pria itu menghampirinya dengan tergesa-gesa. "Kamu jelas bukan pegawai. Ngapain kamu di sini?"
"Saya lagi ngunjungin ayah saya yang kerja di sini, pak."
"Mana kartu kunjungannya?", pria itu menengadahkan tangannya.
"Kartu kunjungan? Tadi saya nggak pake yang kayak gitu, pak. Langsung aja diajak masuk sama ayah saya."
"Nah!", suara melengking pria itu lagi-lagi membuat Nara melonjak. "Berarti, kamu penyusup! Ayo, ikut saya ke pos satpam!", pria itu menarik tangan Nara paksa.
"Loh?! Lepasin tangan saya, pak! Ayah saya betulan kerja di sini!". Nara meronta, mencoba melepas cengkeraman tangan pria itu yang begitu kuat.
"Kamu nggak bisa nunjukkin kartu kunjungan, berarti kamu penyusup! Jangan ngebantah, ikut saya aja!"
Adegan tarik menarik itu berlanjut selama beberapa detik, hingga pintu lift terbuka dan keluar Taeil dan Kihyun dari sana.
"Ayah!", Nara berseru. Ia menarik tangannya hingga lepas dari cengkeraman pria itu dan bersembunyi di balik punggung ayahnya.
"Loh, ada apa ini?", tanya Taeil.
"Dia penyusup, pak! Masuk ke sini tapi nggak bisa nunjukkin kartu kunjungan!", pria itu menunjuk-nunjuk Nara. Taeil menatap pria itu tak percaya, sementara Kihyun mengulum bibirnya untuk menahan tawa.
"Ah, kartu kunjungan?". Taeil merogoh saku dalam jasnya, mengeluarkan sebuah kartu berwarna merah dan memberikannya pada Nara. "Nih, ayah lupa ngasih ini tadi ke kamu."
Pria itu yang tadinya berang, langsung tertegun. "Loh, dia anak bapak?"
Taeil tertawa, "Iya, ini anak saya, namanya Nara.", jawabnya. "Nara, ini Paman Changkyun, petugas kedisiplinan. Dia emang jeli dan sensitif banget kalo lihat ada orang selain pegawai kantor ini.". Taeil maju untuk menepuk pundaknya, "Kerja kamu bagus. Tapi, lain kali tanya dulu baik-baik, setelah itu hubungi karyawan yang mau dikunjungi orang itu. Kalo ternyata karyawannya nggak ngerasa nerima tamu, baru kamu seret ke pos satpam. Lain kali saya juga bakal ngasih kartu kunjungan ke Nara."
Changkyun terkekeh pelan sambil mengusap tengkuknya, "Saya juga minta maaf, pak. Lain kali saya bakal lebih teliti.". Ia tersenyum pada Nara yang menatapnya jengah. "Kalau begitu, saya permisi.". Ia membungkuk hormat lalu segera pergi dari sana. Tawa Kihyun langsung meledak.
"Astaga, ada penyusup secantik ini?", goda Taeil sambil mengelus kepala Nara. Nara hanya mencebik. Taeil tertawa, lalu merangkul Nara. "Lagian kamu ngapain keliaran, sih?"
Nara mengangkat bahu, "Bosen aja di ruangan. Nungguin Kak Aran tapi nggak balik-balik. Pengen tahu juga ruangan-ruangannya, siapa tahu ketemu kafetaria."
"Kafetaria ada di lantai tiga. Mau ke sana?". Nara mengangguk antusias. "Ayo, bareng ayah turunnya. Ayah juga mau ke ruangan lain di lantai tiga.". Taeil menoleh pada Kihyun. "Kalo nemenin Nara ke kafetaria, nggak apa-apa?"
Kihyun mengangguk, "Nggak apa-apa, paman."
Mereka pun segera memasuki lift dan turun menuju lantai tiga. Saat pintu lift terbuka, Taeil berbelok ke kiri, sementara Nara dan Kihyun berbelok ke kanan. Ruangan yang dituju Taeil tepat berada di samping lift, namun Taeil tidak langsung masuk. Matanya masih terpaku pada gadis kecilnya yang tengah sibuk bersenda gurau dengan pemuda kepercayaannya itu sambil berjalan menuju kafetaria. Seulas senyum tersungging di wajah Taeil.
"Ah, Nara udah besar aja."

Lima Belas

Kihyun merintih kesakitan setelah sikut Nara tak sengaja menyodok ulu hatinya, kala mereka tengah berjalan keluar gedung sekolah. Nara panik luar biasa dan hampir menariknya kembali masuk gedung sekolah untuk berobat ke klinik.
"Nggak usah ke klinik, lah. Cuma kaget doang, kok.", tolak Kihyun, masih dengan sedikit ringisan. "Emangnya ada apa sih, sampai nyikutnya heboh gitu?"
"Itu, di tempat parkir.", telunjuk Nara mengarah pada seorang gadis yang tengah sibuk memainkan ponselnya sambil menyandar pada mobil, "Mirip Kak Aran, ya?"
Kihyun memicing, kemudian berdecak. "Itu emang Kak Aran, gimana sih."
Wajah Nara langsung sumringah. Ia berlari meninggalkan Kihyun dan menghampiri Aran. Aran juga langsung sumringah dan mereka berpelukan sambil melompat-lompat kecil. Kihyun berjalan menghampiri mereka sambil menggelengkan kepala.
"Kak, inget umur, dong. Masa lompat-lompat gitu? Kalo Nara sih, masih pantes.", ujar Kihyun. Aran hanya mendecak sebal.
"Kak Aran lagi ada acara di sini?", tanya Nara.
Aran menggeleng, "Waktu minggu kemarin kamu ke kantor kan, akunya malah sibuk. Jadi, sekarang aku bakal nginep di rumah kamu, terus besok aku mau ajak kamu jalan-jalan."
Nara bersorak girang dan menepuk-nepuk tangannya. "Ya udah, ayo sekarang kita langsung ke rumah!", seru Nara sambil menggoyang-goyang lengan Aran. Setelah Aran membuka kunci mobil, Nara segera naik di bangku depan, disusul Aran di bangku supir. Sementara Kihyun masih berdiri di tempatnya. Bingung apakah ia harus ikut masuk atau lebih baik ia naik bus sendiri, karena ia sudah yakin ia akan diabaikan.
Aran menurunkan jendela dan menyembulkan kepalanya, "Yeh, ini bocah malah bengong. Masuk, cepet!"
Dengan satu helaan nafas, Kihyun pun membuka pintu belakang dan segera menyamankan posisi duduknya.
Sesuai dugaannya, Kihyun sekarang benar-benar terabaikan. Kedua gadis di depannya terus mengoceh tanpa henti, mengobrolkan grup penyanyi yang terbentuk dari acara survival dan baru memulai debutnya minggu lalu---ah, pokoknya Kihyun tidak mengerti. Kihyun memejamkan mata dan mencoba untuk tidur, namun sedetik kemudian ia membelalakkan matanya lagi karena suara tawa Aran yang menggelegar. Earphone pun ia pasang hingga benar-benar menutupi lubang telinga dan ia putar musik dengan volume sekeras mungkin.
"Ah, nyesel nggak naik bus.", gerutu Kihyun dalam hati.
**
Sesuai janjinya, Aran mengajak Nara pergi ke akuarium raksasa yang berada di Ilsan keesokan harinya. Acara jalan-jalan berdua yang sudah mereka rencanakan sejak malam sebelumya gagal total, karena Kihyun dan Taeil sekarang berjalan tepat di belakang mereka. Kihyun tentu saja sedang menjalankan tugasnya untuk menjaga Nara, sementara Taeil hanya ingin mengganti hiburan yang harusnya ia dapatkan tadi malam. Ia tak jadi menonton film favoritnya di televisi lantaran terganggu oleh jeritan tanpa henti seorang gadis-remaja dan seorang gadis-dewasa karena menonton grup penyanyi favorit mereka di internet.
Seusai membeli tiket, Nara dan Aran berlari masuk ke akuarium raksasa itu sambil bergandengan tangan. Mereka mencari celah jalan yang kosong dan menyusul orang-orang yang hendak masuk juga, sehingga Taeil dan Kihyun tertinggal di belakang.
Taeil berdecak, "Ah, kenapa mereka buru-buru banget, sih? Ikan-ikannya juga nggak bakal kabur ke laut lagi.", gerutunya. Taeil ingin menyusul Nara dan Aran, namun ia sadar diri kalau badannya tidak semungil mereka, sehingga pasti akan susah untuk menyempil di antara orang-orang. Dengan terpaksa Taeil pun menyabarkan diri dengan berjalan mengikuti kerumunan orang. Setelah orang-orang masuk, kerumunan mulai merenggang, Taeil mempercepat langkahnya, disusul oleh Kihyun.
Untunglah, Nara dan Aran belum pergi terlalu jauh dari pintu masuk. Mereka masih berada di lorong yang terbuat dari kaca, yang menampakkan ikan-ikan yang berenang mengelilingi mereka. Kedua gadis itu sedang sibuk berfoto dengan dua ekor ikan pari yang menempel di permukaan kaca. Nara melambaikan tangannya pada Taeil sesaat ia melihat ayahnya masuk.
"Kok ayah lama, sih? Kita capek nungguin, nih.", keluh Nara. Detik berikutnya, kepala Nara sudah terjepit di ketiak Taeil.
"Capek? Emangnya ayah sama Kihyun nggak capek ngejar kalian?"
"Eh-eh iya ayaaaah! Ampuuun! Lepasin ih!". Sekuat tenaga Nara memukul dada Taeil hingga kepalanya terlepas. "Jahat ih!". Nara menjulurkan lidahnya dan menyeret Aran pergi ke ruangan lain. Taeil terkekeh lalu melirik Kihyun yang tersenyum menatap Nara, membuat Taeil tersenyum tipis dan segera merangkulnya.
"Sini, kamu jadi anak paman dulu. Anak yang asli malah kabur sama kakak barunya.", celetuk Taeil. Keduanya tertawa dan berjalan menyusul dua gadis itu.
Taeil dan Kihyun masuk ke sebuah ruang pertunjukan. Rupanya, Nara dan Aran sudah duduk duluan di sana. Nara melambaikan tangan dan menepuk kursi di sebelahnya.
"Bentar lagi ada pertunjukan puteri duyung!", beri tahu Nara pada Taeil. Meskipun Nara berkata tepat di telinga Taeil, ia masih harus berteriak karena suasana ruangan yang sangat ramai. Tetapi sepertinya Nara teriak terlalu kencang, karena sekarang telinga Taeil berdengung sebelah. Taeil hanya merespon dengan anggukan sambil menggosok-gosok telinga kanannya.
Pertunjukan dimulai lima menit kemudian. Dimulai dengan empat wanita yang berpakaian seperti puteri duyung menari-nari di dalam akuarium besar. Mereka meliuk-liuk layaknya ikan sungguhan. Nara sampai terus-terusan menganga karena takjub.
"Ngapain nganga kayak gitu? Mau puteri duyungnya kesedot ke mulut kamu?", cibir Taeil yang membuat Nara langsung merengut.
Tiba di tengah pertunjukan, Nara merasakan perutnya tidak bisa berkompromi dengan pertunjukkan yang mulai memasuki puncaknya.
"Kak, temenin ke kamar mandi, yuk?", pinta Nara. Aran mengangguk dan menggandeng tangan Nara untuk menuntunnya keluar.
"Heh, mau ke mana?", panggil Taeil.
"Kamar mandi, Yah. Bentar kok."
**
Sudah hampir setengah jam Nara dan Aran belum kembali dari kamar mandi. Karena wanita biasanya selalu berlama-lama di kamar mandi untuk membenahi dandanannya, Taeil awalnya berpikiran begitu juga. Namun lama kelamaan, ada perasaan tidak enak dalam hatinya.
Taeil menyikut Kihyun yang masih fokus menonton pertunjukan, "Kamar mandi letaknya di mana, sih?"
"Deket, paman. Dari sini belok kiri, terus belok kanan, udah sampai kamar mandi."
"Paman mau nyusulin mereka dulu, ya. Kamu mau ikut atau masih mau nonton?"
"Ikut aja deh, paman. Sekalian mau ke kamar mandi juga.". Mereka pun bangkit dan keluar dari ruangan itu menuju kamar mandi.
Sekumpulan wanita berkerubung di depan pintu masuk kamar mandi wanita. Terdengar beberapa protes yang dilontarkan mereka.
"Bu, kenapa pada ngumpul-ngumpul gini, ya?", tanya Taeil pada seorang wanita yang menggendong bayi.
"Pintu kamar mandinya dikunci, pak. Terus, kuncinya hilang. Kunci cadangannya juga hilang waktu satpam mau ambil di pos.", jelas wanita itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Taeil dan Kihyun mencoba menerobos kerumunan tersebut. Taeil berjongkok untuk mengintip di lubang kunci, tapi sialnya lubang kunci itu seperti tertutup oleh sesuatu dari dalam.
"Ini nggak beres.", gumam Taeil. Kihyun yang mengerti situasi langsung menyuruh sekumpulan wanita itu untuk bubar dan memberi tahu agar mencari kamar mandi yang lain. Setelah kerumunan itu bubar, Kihyun bergerak mundur sebentar, lalu ia menabrakkan badannya ke pintu hingga akhirnya terdobrak.
"Astaga!", pekik Kihyun melihat Aran yang tergeletak begitu saja di bawah wastafel. Ia segera memeriksa saluran nafas dan denyut nadinya. Setelah meyakini Aran masih hidup, ia mengangkat tubuh Aran dan menyenderkannya ke dinding.
Mata Taeil jelalatan mencari sosok Nara dan mendobrak satu persatu bilik kamar mandi. Di bilik terakhir, bukannya mendapati sosok Nara, ia menemukan tas kecil Nara yang tergeletak di atas kloset. Di dalamnya, terdapat selembar kertas yang membuatnya naik pitam seketika. Ia menenteng tas Nara dan keluar menghampiri Kihyun yang masih sibuk mencoba menyadarkan Aran.
"Kita harus ke kantor sekarang."
Kihyun mengernyit, "Nara dima---"
"Mereka berhasil dapetin Nara. Dan kita,", Taeil menunjukkan kertas yang ia temukan, "cuma punya waktu 24 jam buat nemuin Nara.". Nafas Kihyun tercekat. Taeil merangkulkan tangan Aran di pundaknya, diikuti Kihyun dengan tangan Aran yang satunya. Secara perlahan mereka mengangkat tubuh Aran dan pergi menuju mobil.

Enam Belas

Nara terbangun dengan rasa sakit menyelimuti tubuhnya. Ia terkejut kala menyadari dirinya terbangun di sebuah ruangan yang minim pencahayaan. Di sekitarnya terdapat peti kemas yang berisi buah-buahan. Nara mencoba bangun, namun tangan dan kakinya diikat oleh tambang.
Nara tidak tahu mengapa ia bisa berada di sini. Hal terakhir yang ia ingat, ia tengah mencuci tangan di wastafel kamar mandi akuarium raksasa bersama Aran. Saat hendak keluar, seseorang membekap mulut Nara dengan kain yang baunya menyengat. Samar-samar ia melihat tengkuk Aran dipukul oleh seorang pria hingga ia terjatuh, dan setelahnya pandangan Nara gelap.
Sekuat tenaga Nara menyeret tubuhnya mendekati satu-satunya celah tempat cahaya masuk dan mengintip keluar. Ia melihat banyak kontainer di sekeliling tempat itu. Seketika Nara langsung tahu ia berada di sebuah pelabuhan, karena ia pernah melihatnya di serial drama yang diperankan Park Hyungsik, aktor favoritnya. Dalam drama tersebut, kontainer itu digunakan untuk menyelundupkan buronan yang hendak kabur ke Cina menggunakan kapal laut.
Mengingat itu, Nara panik setengah mati. Bagaimana kalau ia di sini untuk diselundupkan ke luar negeri juga?
Nara mencoba untuk memanggil seseorang dan meminta pertolongan. Ia menggedor-gedor dinding besi ruangan itu dengan bahunya hingga terasa nyeri. Selang beberapa menit, pintu terbuka dan menampilkan sesosok pria.
"Kamu udah sadar, Kim Nara?", tanya pria itu. Sosok pria itu sangat tidak asing bagi Nara. Penampilannya tidak begitu berbeda seperti yang sering Nara lihat sebelumnya. Hanya sekarang ia tidak memakai kacamata dan tangannya bukan menenteng buku paket matematika, melainkan selilit rantai.
"Kamu mau makan sesuatu?", tawar Daesuk, masih dengan senyuman lebar yang sering ia pasang bila berpapasan dengan Nara di sekolah. Bukan senyuman yang membuat Nara ikut tersenyum, tetapi malah membuatnya ketakutan.
"Loh, kok kamu malah nangis?", Daesuk perlahan menghampirinya saat Nara mulai sesegukan. Ia berjongkok di depan Nara. "Kamu ingin sesuatu?"
"A-aku mau pulang... tolong lepasin aku...", Nara berkata lirih.
"Pulang?". Daesuk mendengus. "Kamu bakal pulang kalo ayah kamu berhasil ngejemput kamu. Kalo sampai besok dia nggak berhasil ngejemput kamu...", wajah Daesuk mendekat dan seringai lebar teukir di wajahnya, "...selamanya kamu nggak bakal bisa pulang."
Isakan Nara semakin kencang. Badannya bergetar hebat, seakan-akan bisa merontokkan seluruh helai rambutnya. Tangan kotor Daesuk bergerak mengangkat wajah Nara.
"Astaga, kamu mirip sekali sama ibumu.", ucapnya. Ia berdiri dan berjalan sedikit menjauh. "Kita lihat dalam beberapa jam ke depan, apa nasibmu juga sama buruknya kayak dia atau nggak. Aku harap sih, nasib kalian juga sama.". Setelah itu, ia tertawa. Tawanya sangat kencang dan menggema ke seluruh ruangan, membuat tangisan Nara semakin kencang. Seketika Daesuk menghentikan tawanya dan menatap Nara tajam.
"DIAM!", bentaknya. Rantai yang sedari tadi ia genggam terlempar mengenai dinding besi, membuat suara yang begitu nyaring. Sekuat tenaga Nara mengulum bibir untuk menahan isakannya. Daesuk berjalan memungut rantainya. "Sekarang, rantai ini cuma kena dinding. Beberapa jam ke depan, rantai ini bisa ngelilit di leher kamu. Ah, tapi bukannya bagus kalo gitu, ya? Leher kamu jenjang, cocok kalo dipakein kalung.". Lagi-lagi Daesuk tertawa. Kemudian ia berjalan menuju pintu dan keluar, lalu pintu menutup dengan rapat. Tangisan Nara kembali pecah.
"A-ayah... tolongin Nara..."
**
Cahaya matahari yang masuk melalui celah kecil itu sudah tiada, menandakan hari sudah semakin malam. Nara berjengit dari duduknya saat pintu ruangan terbuka dengan keras. Daesuk memasuki ruangan itu bersama dengan seorang pria berbadan besar yang membawa tongkat baseball. Daesuk berjongkok di depan Nara lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan sebuah nomor. Ia sodorkan ponsel itu tepat di depan wajah Nara.
"Aku kasih waktu lima belas detik.", ucap Daesuk.
Detik-detik awal hanya terdengar sambungan telepon, hingga akhirnya terdengar suara seorang pria.
"Maumu apa, Lee Daesuk?", tanya pria itu. Dada Nara sesak saat mengetahui siapa pria yang Daesuk hubungi.
"Ayah!", panggil Nara.
"Nara? Di mana kamu sekarang, nak?"
"To-tolongin Nara, ayah... Nara takut..."
"Ayah pasti nolongin kamu, sayang. Kasih tahu posisi kamu, di mana kamu sekarang?"
Rasanya tidak mungkin kalau Nara langsung menyebutkan ia sedang berada di pelabuhan. Ia takut tiga pria di depannya ini akan langsung membunuhnya begitu ia memberi tahu Taeil. Nara memutar otaknya secepat mungkin, mencari cara bagaimana ia memberi kode pada Taeil tanpa tiga pria itu sadari. Sebuah bohlam seakan muncul di atas kepala Nara.
"Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir!"
Tepat setelah Nara berseru, Daesuk menjauhkan ponsel itu.
"Apa? Halo, Na---"
"Kau pasti ingin tetap mendengar suaranya dan melihat wajahnya, kan? Temukanlah ia secepatnya kalau kau ingin ia bernasib lebih baik dari Yumi.", tantang Daesuk.
"Jangan main-main denganku. Jika aku yang kau inginkan, tidak usah melibatkan orang lain."
Daesuk tertawa sinis, "Hidup adalah sebuah permainan, Kim Taeil. Permainan yang harus melibatkan banyak orang."
"Jangan berani macam-macam padanya! Kalau aku menemukan satu luka pada tubuhnya, nyawamu akan kuhabisi."
Daesuk mendengus kasar. Ia merebut tongkat baseball dari tangan si pria besar. Ponselnya ia jepit di antara telinga dan bahunya. Ia memungut kaleng soda bekas yang berada di dekat kakinya. "Maksudmu, seperti ini?". Ia melempar kaleng ke atas dan memukulnya dengan tongkat, hingga kaleng itu terlempar dengan keras tepat di samping Nara. Nara menjerit ketakutan dan menangis tersedu-sedu.
"Waktumu tinggal tiga belas jam lagi. Kuharap kau datang tepat waktu, karena aku sangat membenci orang yang datang terlambat.". Daesuk memutus sambungan begitu saja dan menaruh ponselnya di saku. Ia kembalikan tongkat baseball pada pria besar itu.
"Pukul saja sekeras mungkin kalau dia berbuat hal yang macam-macam.", titah Daesuk. Pria itu mengangguk. Daesuk menoleh pada Nara dan menyeringai, "Tidurlah. Jangan lupa berdoa, semoga kamu masih bisa lihat matahari besok.", ucapnya diakhiri dengan kekehan, lalu pergi meninggalkan Nara dan pria besar itu.

Tujuh Belas

Otak Taeil benar-benar kacau sekarang. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit mendoakan keselamatan Nara, namun ia selingi dengan umpatan pada Daesuk. Kalau saja situasinya sedang tidak semenegangkan ini, Wooseok pasti sudah menyebutnya 'orang gila' yang sedikit-sedikit berdoa, sedikit-sedikit mengumpat. Tetapi tanpa Wooseok beri tahu pun, Taeil mengakui dirinya memang gila sekarang, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan Nara dan membunuh Daesuk.
Aran sudah sadar, meskipun tubuhnya masih terkulai lemas di sofa ruang timnya. Badannya terus menggigil ketakutan, meskipun Hayeol sudah menyelimutinya dengan lima lapis selimut tebal. Wooseok dan Kihyun sibuk melacak keberadaan Daesuk. Awalnya, mereka melacak nomor-nomor telepon yang pernah Daesuk gunakan untuk menelepon Taeil. Sialnya, nomor-nomor itu sudah tidak aktif. Mereka mulai menganalisa kertas yang ditinggalkan Daesuk di tas kecil Nara.
"Nggak ada yang aneh dari kertas ini, kalo kata aku.", ujar Wooseok. "Kertasnya dirobek dari sketch book, ditulis pake spidol papan tulis permanen warna merah, tulisannya cuma '24 jam dari sekarang, permainan dimulai'."
"Petunjuk-petunjuk besar terdiri dari petunjuk-petunjuk kecil, kak. Pasti ada sesuatu di kertas ini.", sanggah Kihyun.
"Bisa aja dia cuma ninggalin bukti palsu, kan? Bisa aja itu cuma pengecoh dan pengalih perhatian dari bukti yang sebenernya."
"Mereka emang mau main-main sama kita dulu, kak. Lihat tulisannya, 'permainan dimulai'. Dia ingin tahu apa kita bisa nemuin Nara sebelum waktunya habis. Pasti dia ninggalin suatu petunjuk."
"Yang harus kamu inget, Daesuk sama pintarnya sama kita. Dia juga udah bisa prediksi kalo kita bakal ngira kertas itu satu-satunya petunjuk."
Tangan kanan Kihyun mengusap-usap lututnya, sementara tangan kirinya membolak-balik kertas itu berkali-kali. Matanya menyapu setiap milimeter kertas itu. Kihyun masih yakin ada sesuatu yang tersembunyi dari kertas itu, namun sebagian kecil hatinya mulai terpengaruh ucapan Wooseok. Pergelangan tangan kirinya yang masih memegang kertas kini bergerak hendak menggosok matanya yang gatal.
"Ya, kayaknya kakak---", Kihyun seketika membeku kala kertas kecil itu menyentuh cuping hidungnya. Rasa gatal di matanya hilang seketika. Dengan cepat Kihyun mengendus kertas itu, membuat Wooseok bergidik.
"Ngapain sih, kamu?", tanyanya heran. Kihyun mengendus kertas itu agak lama sebelum ia menatap Wooseok tajam.
"Aroma laut."
Wooseok merebut kertas itu dan ikut mengendusnya. Indra penciumannya samar-samar menangkap bau asin dari angin laut dan sedikit amis ikan. Kepalanya mendongak perlahan dan mengangguk. Wooseok beranjak dari kursi dan menghampiri Taeil yang masih berjalan mondar-mandir di ruangan sejak satu jam yang lalu.
"Ada aroma asin dan amis di kertas ini, kak.". Seketika Taeil menghentikan langkahnya, merebut kertas itu dan mengendusnya.
Detik berikutnya, ponsel Taeil berbunyi. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
"Lacak sinyalnya.", titah Taeil pada Kihyun. Wooseok, Hayeol dan Aran langsung memusatkan fokusnya pada ponsel Taeil. Ia mengangkat telepon itu dan mengaktifkan mode loudspeaker, lalu meletakkan ponselnya di meja.
"Maumu apa, Lee Daesuk?", tanya Taeil.
"Ayah!". Rasanya Taeil hampir menangis kala mendengar suara gadis kecilnya.
"Nara? Di mana kamu sekarang, nak?"
"To-tolongin Nara, ayah... Nara takut..."
"Ayah pasti nolongin kamu, sayang. Kasih tahu posisi kamu, di mana kamu sekarang?"
Terjadi keheningan selama tiga detik. Taeil kira sambungannya terputus, namun kemudian Nara berseru, "Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir!"
"Apa? Halo, Na---"
"Kau pasti ingin tetap mendengar suaranya dan melihat wajahnya, kan? Temukanlah ia secepatnya kalau kau ingin ia bernasib lebih baik dari Yumi."
Rahang Taeil mengeras dan tangannya mengepal. "Jangan main-main denganku. Jika aku yang kau inginkan, tidak usah melibatkan orang lain."
Daesuk tertawa sinis, "Hidup adalah sebuah permainan, Kim Taeil. Permainan yang harus melibatkan banyak orang."
Gebrakan meja yang disebabkan Taeil membuat semua orang berjengit. "Jangan berani macam-macam padanya! Kalau aku menemukan satu luka pada tubuhnya, nyawamu akan kuhabisi."
Terdengar dengusan dari seberang telepon, kemudian hening sekejap sebelum Daesuk bertanya, "Maksudmu, seperti ini?". Detik berikutnya, terdengar suara benda yang dibanting bersamaan dengan jeritan Nara. "Waktumu tinggal tiga belas jam lagi. Kuharap kau datang tepat waktu, karena aku sangat membenci orang yang datang terlambat.", lanjutnya, kemudian sambungan terputus.
Taeil menghela nafas kasar dan menendang tas yang berada di dekat kakinya hingga terbentur ke tembok. Wooseok hanya meringis menatap isi tasnya yang sudah berserakan. Ini menjadi pelajaran untuknya agar jangan menyimpan tas di sembarang tempat kalau tidak mau menjadi sasaran kemarahan orang.
"Udah ketemu?"
Kihyun yang tengah sibuk mengotak-atik komputer menggeleng. "Lagi diproses, paman. Udah jalan dua puluh persen."
"Nggak bisa dipercepat?", tanya Taeil tak sabar. "Waktu yang kita punya tinggal sedikit."
"Ini lagi aku coba.". Lagi-lagi Taeil berjalan mondar-mandir.
Aran yang sedari tadi terbaring di sofa perlahan bangun. Matanya menerawang langit-langit, sementara mulutnya menggumamkan sesuatu tak jelas. Wooseok sudah berpikir Aran kesurupan, hingga ia buka suara. "Tadi, kalimat terakhir Nara apa? Strong Woman Do Bongsoon?", tanyanya.
Taeil mengangguk, "Katanya, 'Strong Woman Do Bongsoon episode lima belas, menit-menit terakhir'."
"Episode lima belas... menit-menit terakhir...", Aran mencoba mengingat-ingat. "Di bagian itu, Do Bongsoon berhasil nangkep Kim Janghyun, penculik berantai, di pelabuhan. Tepatnya, di bagian kontainer."
Taeil menghentikan langkahnya dan menoleh, "Pelabuhan? Kontainer?". Aran mengangguk. Taeil menatap kertas beraroma laut yang sejak tadi ia remas. Tepat saat itu juga, bunyi bip-bip terdengar dari komputer.
"Pelabuhan Incheon, kontainer nomor 1487, milik PT. Sungkwang.", jelas Kihyun.
Segera Taeil mengambil kunci mobil dan jaketnya. "Kihyun, ikut aku. Wooseok, tetap pantau keberadaan mereka dan segera kasih tahu aku kalau ada pergerakan dari sana. Hayeol jaga Aran, kalian jangan pergi ke mana-mana. Panggil anggota Divisi Keamanan kalo ada sesuatu. Aku bakal hubungi kalian setelah sampai di sana dan segera kirim pasukan."

Delapan Belas

Pedal rem Kihyun injak sepenuhnya menyebabkan badan mereka tersentak ke depan. Kalau saja keadaan tidak sedang genting, Taeil pasti akan memarahinya karena membuat kepalanya terantuk dashboard mobil. Seraya mengusap-usap keningnya, Taeil buru-buru keluar dari mobil dan berjalan menuju gerbang pelabuhan. Kihyun menyusulnya setelah menyimpan pistol di balik jaket dan membawa beberapa peluru cadangan.
Dengan lincah mata Taeil menyapu setiap kontainer hingga akhirnya menemukan nomor yang tepat sepuluh meter di depannya. Langkahnya langsung terhenti ketika melihat tiga orang pria berbadan besar yang berdiri di dekat pintu kontainer. Taeil menoleh pada Kihyun dan memberi isyarat untuk mengikutinya menuju bagian belakang kontainer.
"Aku bakal pancing mereka biar paman bisa menyelinap masuk.", kata Kihyun. Taeil terdiam sesaat, lalu mengangguk.
"Hati-hati."
Kihyun mengangguk, "Paman juga."
**
Kihyun berjalan santai menghampiri mereka. Salah satu pria itu memicing ke arahnya tajam dengan sikunya yang sibuk menyodok pinggang pria lain dan dagunya menunjuk ke arah Kihyun.
"Permisi, paman-paman yang tampan.", sapa Kihyun sambil tersenyum. "Aku ingin bertemu dengan temanku."
"Tidak ada temanmu di sini. Cepat pergi!"
Kihyun terkekeh, "Ada, paman. Namanya Kim Nara, usianya tujuh belas tahun. Kemarin dia dipaksa dibawa ke sini."
"Ah, ternyata bocah ingusan ini salah satu dari mereka.", pria dengan tato bulan di pelipisnya berkata dengan nada yang meremehkan. "Jika kamu ingin bertemu dengan temanmu, kamu harus membayar dengan nyawamu."
"Dengan senang hati.", ucap Kihyun, masih dengan senyuman lebar terpampang di wajahnya.
Kemudian, satu persatu pria itu mulai menyerang Kihyun. Dengan mudahnya Kihyun menghindari serangan mereka dan menyerang balik hingga ketiga pria itu jatuh tersungkur. Seakan tak mengenal kata menyerah, satu persatu pria itu bangkit lagi dan kembali menyerang.
Bahkan ada yang sempat membawa kayu untuk dipukulkan pada Kihyun. Namun niatnya terhenti kala Kihyun berkata, "Bocah ingusan sama sekali nggak pake senjata, masa paman pake?", sembari melempar pistolnya ke sembarang arah.
Sementara Kihyun tengah sibuk dengan urusannya, Taeil mengendap-endap pergi ke pintu kontainer yang rupanya tidak terkunci. Ia membuka pintunya perlahan dan mendapati Nara yang terkulai lemas di pojok ruangan, dengan tangan dan kaki yang terikat kencang. Setengah berlari ia menghampirinya dan segera melepas ikatan di tangan dan kaki Nara. Mata Nara perlahan terbuka karena gerakan Taeil itu.
"A...yah...?". Taeil sontak mendongak kala indra pendengarannya menangkap lirihan itu. Ia tersenyum miris.
"Sebentar ya, sayang. Ayah lepasin ini dulu dari tubuh kamu.". Nara mengangguk perlahan. Setelah ikatan tali itu terlepas sempurna, tangan Taeil bergerak membenamkan kepala Nara dalam dadanya dan Nara menangis sejadi-jadinya.
"Na-Nara takut...", ucap Nara diantara isakannya. Dengan lembut Taeil mengusap kepala Nara.
"Jangan takut, ayah udah di sini. Ayah udah datang.", Taeil mencoba menenangkannya, meskipun sebenarnya dirinya juga bergetar hebat.
Sebuah tepukan tangan menggema di ruangan itu, menginterupsi momen kebahagiaan Nara dan Taeil. Daesuk yang sedari tadi bersembunyi di balik tumpukan peti kemas bertepuk tangan dengan sebuah seringaian di wajahnya. Ia melirik jam tangannya.
"Tepat dua belas jam! Sungguh peningkatan yang luar biasa dibandingkan tujuh belas tahun yang lalu.", pujinya sarkas. Perlahan pelukan Taeil mengendur dan ia beranjak dari duduknya.
"Lain kali, jika yang kau inginkan adalah aku, langsung saja tangkap aku. Tidak perlu bertele-tele seperti ini."
Daesuk memberi tatapan iba, "Kau pasti tidak pernah bermain game, ya? Apakah ada di sebuah game, kau langsung melawan raja musuhmu saat masuk level 1? Tidak, kau harus melawan musuh-musuh kecil---"
"Kau pikir ini sebuah game?!". Taeil yang menyadari emosinya telah terpancing langsung mendengus keras. "Lagipula, aku tidak suka hal-hal yang bertele-tele. Ayo, langsung mulai saja. Perlukan aku menyiapkan senjata?"
"Nanti saja, senjata digunakan saat mencapai klimaks."
Nara sontak berdiri dan menahan tangan Taeil saat ia hendak maju dan menggeleng kuat-kuat. "Jangan... ayah, jangan...", pintanya lirih. Taeil hanya tersenyum tipis dan berkata, "Nggak apa-apa.", tanpa suara. Tangannya bergerak menyentuh earpiece yang tersangkut di telinganya.
"Kalo kamu udah selesai, cepat masuk dan bawa Nara pergi.", ucapnya. Beberapa saat kemudian, Kihyun masuk ruangan dan menghampiri mereka.
"Kamu pulang duluan sama Kihyun, ya. Nanti ayah nyusul."
Cengkeraman Nara semakin kuat. "Nggak, ayah harus pulang sama aku. Kita harus pulang bareng-bareng."
"Ayah masih ada urusan di sini. Sebentar lagi beres, kok. Ayah bakal langsung nyusul kamu.", Taeil melepas cengkeraman Nara lalu mengaitkan keliling mereka, "Ayah janji.". Taeil mengalihkan tatapannya pada Kihyun, "Tolong jaga Nara."
Bibir Nara mengulum menahan tangisnya. Ia bergerak maju untuk memeluk Taeil. "Ayah hati-hati. Pokoknya ayah harus pulang.". Taeil tersenyum dan mengangguk.
"Oh, ayolah! Aku tidak punya banyak waktu untuk menonton drama ini!", Daesuk berseru kesal. Taeil melepas pelukannya dan sedikit mengibaskan tangannya agar Nara dan Kihyun cepat pergi. Kihyun pun menuntun Nara keluar dan menghilang di balik pintu.
"Baik, ayo mulai."
**
"Masih belum ada kabar?", tanya Kihyun. Wooseok yang masih mencoba melacak keberadaan Taeil menggeleng.
Karena Nara tidak mau pulang ke rumah jika tidak bersama Taeil, Kihyun pun memutuskan untuk membawa Nara ke kantor. Sekalian Nara juga bisa memantau keaadaan ayahnya. Mereka sudah sampai di kantor setengah jam yang lalu, namun belum ada kabar dari Taeil. Padahal, Kihyun sudah menelepon pasukan agen untuk segera pergi ke pelabuhan saat Kihyun dan Nara hendak pergi dari sana.
"Ayah bakal selamat kan, kak?", Nara bertanya khawatir. Kihyun tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Nara tenang dulu, ya. Kita lagi berusaha semaksimal mungkin.", ucap Wooseok.
Selang beberapa menit, telepon di ruangan itu berbunyi. Kihyun berlari untuk mengangkatnya. "Halo?"
Wajah Kihyun terlihat menegang ketika ia mendengarkan seseorang di seberang telepon menjelaskan sesuatu. Matanya mendelik ke sana kemari, rahangnya mengeras, dan tangannya gemetaran. Kihyun menyimpan kembali gagang telepon dengan perlahan, lalu mengusap wajahnya kasar.
"Gimana, Yun?", tanya Hayeol. Kihyun menoleh perlahan, membalas satu persatu tatapan yang mengarah padanya.
"Waktu pasukan sampai di sana, kedenger ledakan keras dari kontainer tempat Nara disekap. Mereka datang ke sana, tapi Paman Taeil dan Lee Daesuk nggak ada. Para agen mencar buat nyari Paman Taeil, mereka yakin paman belum terlalu jauh pergi. Sekitar tiga puluh kilometer dari lokasi, salah satu agen ngelihat pembatas jalan yang koyak, kayak habis ditabrak sesuatu. Mereka ngelihat ke bawah, dan ternyata ada dua mobil yang jatuh ke sungai. Rupanya itu mobil Lee Daesuk dan salah satu anak buahnya. Tapi, di mobil itu nggak ada Paman Taeil maupun Lee Daesuk."
Badan Nara gemetaran, "Ja-jadi, ayah ke-ke mana?"
Kihyun menggeleng pelan, "Kemungkinan mereka tenggelam ke dasar sungai, soalnya mereka udah nyisirin sepanjang sungai, nggak ada tubuh mereka. Mereka cuma nemuin jas yang dipake paman di sisi sungai."
Nara sudah tak dapat membendung air matanya lagi.
"Tapi tenang, Nara. Selama tubuh mereka belum ketemu, baik masih hidup atau nggak, mereka masih dinyatakan hilang.", imbuh Kihyun. "Kita bakal berusaha semaksimal mungkin buat nemuin paman dan Lee Daesuk."
"Kita sama-sama berdoa buat keselamatan Kak Taeil, ya.", ucap Hayeol seraya mengelus punggung Nara. Nara hanya mengangguk.

Sembilan Belas

"AKU TELAT!"
Dentuman pintu kamar Nara yang menghantam dinding membuat Hyemi hampir menjatuhkan cangkir yang tengah ia bawa. Suara hentakan kaki Nara menuruni tangga sambil berlari menggema di rumahnya.
"Astaga Nara, jangan lari-lari di tangga!", peringat Hyemi. Tak menggubris Hyemi, Nara melesat menuju kamar mandi yang berada di samping dapur.
"Nara udah telat! Dosennya galaaaaak!". Suara dentuman pintu kembali terdengar. Kali ini disebabkan oleh pintu kamar mandi yang ditutup terlalu keras. Hyemi hanya bisa geleng-geleng kepala.
Nara tidak tahu mandinya bersih atau tidak, yang penting ia bersiap-siap secepat yang ia bisa dan segera berlari ke kampus. Untunglah rumah Hyemi jaraknya cukup dekat dengan kampus, sehingga tidak perlu naik angkutan apapun. Ia lupa membawa bekal sarapan yang tadi disiapkan Hyemi, tapi ia masih ingat memakai pelembab wajah dan sedikit mengoleskan lipbalm. Duh, dasar wanita.
Nara resmi menjadi mahasiswi baru salah satu universitas negeri di Seoul sejak tiga bulan yang lalu. Ia diterima menjadi salah satu mahasiswi jurusan Kimia. Nara merasa sangat bersyukur kuliah di sana. Selain karena kampusnya sekarang telah ia idam-idamkan sejak dulu, jaraknya sangat dekat dengan rumah Hyemi sehingga ia tak perlu menyewa kamar, dan ia satu kampus dengan Kihyun yang sekarang sudah masuk ke semester lima, meskipun berbeda fakultas karena ia kuliah di jurusan Teknik Mesin. Jarak gedung fakultas mereka pun tidak begitu jauh.
Omong-omong soal Kihyun, ia kembali menjadi mahasiswa di kampusnya setelah kejadian Nara diculik. Karena para komplotan Lee Daesuk sudah tertangkap dan petinggi organisasi kasihan melihat Kihyun yang baru masuk kuliah malah kembali menjadi murid SMA, tugas Kihyun untuk menjaga Nara pun selesai dan digantikan oleh agen lain. Tapi Nara hanya dijaga sampai ia lulus SMA, karena saat kuliah ia tinggal dengan bibinya.
Meskipun begitu, Kihyun terkadang masih menengok Nara ke Daegu. Tidak, sebenarnya hampir setiap hari ia ke sana. Bahkan sampai bolos kuliah. Agen yang menjaga Nara sempat tersinggung oleh sikapnya ini, kesannya Kihyun tidak memercayainya dalam menjaga Nara. Memang benar sih, Kihyun masih khawatir akan keselamatan Nara, ditambah lagi pesan terakhir dari Taeil sebelum ia menghilang adalah menyuruhnya untuk menjaga Nara. Tapi setelah ia ditegur dengan keras oleh Wooseok, akhirnya ia hanya mengunjungi Nara di akhir pekan saja.
Kihyun dinyatakan pindah sekolah ke Jepang dalam data siswa SMA Nara, sehingga tidak ada yang curiga ia kembali ke kampusnya. Namun akhirnya, Seonghun dan Bona tahu identitas Kihyun yang sebenarnya, karena mereka memergoki Kihyun yang saat itu tengah mengunjungi rumah Nara. Padahal yang mereka tahu, Kihyun sudah pindah ke Jepang. Setelah mengetahui usia Kihyun yang sebenarnya lebih tua dua tahun, Seonghun pun langsung meminta maaf karena sebelumnya ia pernah memukul kepala Kihyun menggunakan kamus Bahasa Inggris yang tebalnya seperti bantal saat ia tertidur di kelas.
**
Helaan nafas lega terdengar dari Nara saat ia tahu ia datang ke kelas lima menit sebelum jam masuk. Namun kebingungan melanda dirinya kala ia tidak mendengar suara kegaduhan teman-temannya. Perlahan ia membuka pintu dan sedikit mengintip. Betapa terkejutnya ia kala mengetahui kelasnya kosong. Buru-buru Nara mengecek grup obrolan di ponselnya, dan ia sontak jengkel kala mengetahui ternyata kelas paginya dibatalkan karena dosennya mendadak pergi ke Spanyol.
Dengan langkah yang dihentak kesal, Nara pun pergi ke kantin kampus. Menyesal ia buru-buru mandi dan tidak sempat sarapan. Ia bahkan tak tahu apakah masih ada sabun yang menempel di tengkuknya atau tidak. Tapi salah dia juga sih, tidak mengecek ponsel dulu sesudah bangun tidur.
"Nara!". Nara menoleh dengan wajah kusut pada Kihyun saat ia melewati taman kampus. "Lah, kenapa mukanya gitu? Eh, kok kamu udah keluar kelas aja? Udah beres kelasnya?"
Nara mendengus, "Beres apanya? Kelasnya tetiba dibatalin, dosennya ngedadak pergi ke Spanyol. Harusnya hari ini aku libur, soalnya hari ini nggak ada kelas lagi selain kelas dosen itu."
Kihyun tertawa dan sedikit mengacak poni Nara. "Mau jalan-jalan nggak? Biar kamunya nggak bad mood."
"Emang kakak hari ini nggak ada kelas?"
Kihyun menggeleng, "Tadi juga cuma ngurusin proposal buat lomba futsal bulan depan.", sahutnya. "Ada kafe baru di deket SMA aku dulu. Mau cobain ke sana?"
"Boleh, deh. Tapi aku mau pulang dulu, ya? Tadi aku mandinya nggak bener, serasa masih ada sabun di tengkuk."
"Mana?". Kihyun menjulurkan kepala untuk melihat tengkuk Nara. "Nggak, kok. Udah bersih, wangi, cantik pula.". Kihyun meraih tangan Nara, "Ayo, takutnya keburu penuh terus nggak dapet tempat."
Nara hanya mengangguk sambil menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang memanas.
**
"Kak, masa kemarin Doyoon bilang suka sama aku, terus minta aku buat jadi pacarnya. Kaget banget aku. Ngobrol aja jarang, paling cuma pas sekelompok di matkul Kimia Industri doang.", cerita Nara. Kihyun yang tengah mengunyah kue hanya mengangguk-angguk.
"Terus, kamu terima?", tanya Kihyun setelah memastikan tak ada kue lagi di mulutnya.
"Ya nggak, lah. Deket aja nggak. Terus, aku denger dari temen-temen, katanya dia udah punya pacar di kampus lain.". Nara menghabiskan sepotong macaroon di tangannya. "Lagian, nanti kakak gimana?"
"Gimana apanya?". Kihyun kembali menyendokkan kue ke mulutnya.
"Nggak bakal cemburu kalo aku jadian sama Doyoon?"
Detik itu juga Kihyun tersedak.
"Astaga, maaf kak! Ini minum, minum.". Nara menyodorkan minuman Kihyun yang langsung disambar oleh si empunya.
"Kamu sih, nanya yang aneh-aneh!"
"Ya maaf.", Nara cengar-cengir. "Tapi aku ngomong kenyataan, kan?". Kihyun tidak menjawab dan kembali memakan kuenya, sementara Nara sudah terkikik melihat telinga Kihyun yang memerah.
Soal perasaan, Kihyun dan Nara sudah tahu kalau mereka saling menyukai. Awalnya, Kihyun mengutuk mulut besar Wooseok yang sudah membocorkan segala curhatannya tentang Nara pada para wanita---Nara, Hayeol, dan Aran---hanya karena ia kesal pada Kihyun yang sudah curang saat bermain game. Tetapi, setelah terungkap kalau Nara membalas perasaannya, Kihyun jadi berterima kasih pada Wooseok.
Meskipun begitu, keduanya belum menjalin hubungan spesial layaknya orang lain. Ada dua alasan. Pertama, Kihyun tidak seperti remaja lain yang menjalin hubungan dengan cara berpacaran. Menurut Kihyun, pacaran hanya untuk main-main, dan Kihyun tidak mau menjalin hubungan untuk main-main.
Kedua, Kihyun belum mengantungi izin dari Taeil untuk menyukai Nara. Kihyun sangat tahu betul sensitifnya Taeil perihal Nara-dan-lelaki. Mengobrol berdua saja, keduanya masih dipelototi. Nara juga tidak berani menerima Kihyun jika ia ingin menjalin hubungan, sebelum Taeil mengizinkannya. Oleh sebab itu, keduanya masih berinteraksi seperti biasa, seperti sebelum ada perasaan berlebih diantara mereka.
"Kak, udah ada kabar dari ayah?", Nara melontarkan pertanyaan yang selalu ia tanyakan jika mengobrol dengan Kihyun. Kihyun terdiam sejenak sebelum menggeleng pelan.
"Masih belum ada tanda-tanda yang jelas.", sahutnya.
Sudah dua tahun berlalu, Taeil dan Daesuk masih dinyatakan hilang. Sebagian orang bahkan sudah menganggap mereka meninggal, dan jasad mereka sudah terkubur di dasar sungai. Sebagian orang lain membantah pendapat itu dan yakin kalau keduanya masih hidup, karena kalau memang benar mereka meninggal karena tenggelam, jasadnya pasti sudah terapung ke permukaan sungai beberapa hari setelah mereka jatuh ke sungai. Nara sendiri tentu saja memercayai pendapat kedua. Ia yakin ayahnya sedang berada di suatu tempat, tengah menunggu waktu yang tepat untuk pulang.
"Tapi, kemarin ada kabar baru dari salah satu agen yang lagi ambil cuti karena isterinya melahirkan.", sambung Kihyun. Nara berhenti menusuk-nusuk macaroon dan sedikit mencondongkan tubuhnya. "Agen itu tinggal di Gangwon. Waktu dia lagi di supermarket buat beli popok bayi, dia ngelihat orang mirip paman. Dia emang cuma lihat dari pinggir, tapi dia yakin banget kalo itu Paman Taeil. Postur tubuhnya nunjukkin banget kalo itu paman."
"Terus, dia nyamperin ayah?"
"Iya, dia langsung nyamperin. Tapi, paman langsung keluar dari sana. Pas agen itu ngejar, paman udah hilang.", jawab Kihyun. "Sekarang, Kak Aran sama beberapa agen lagi perjalanan ke sana. Nanti malem, aku nyusul sama Kak Hayeol dan Kak Wooseok. Jadi, nanti malem kamu jangan pergi ke mana-mana, ya."
Nara mengangguk. "Kalo beneran itu ayah, tolong bawa ayah pulang ya, kak."
"Pasti, Ra."
Tanpa mereka tahu, seseorang tengah memperhatikan mereka sejak mereka datang di kafe itu dari seberang jalan.

Dua Puluh

Karena jadwal kuliah Nara dan Kihyun pada hari Jumat tidak sama, Nara tidak bertemu dengannya seharian. Saat Nara masuk kelas, Kihyun sedang istirahat, begitu pula sebaliknya. Alhasil, setiap Jumat Nara selalu pergi dan pulang sendirian.
Untuk Jumat ini, Nara tidak langsung pulang ke rumah Hyemi karena ia harus ke toko buku. Ada kelas pengganti di hari Sabtu, dan dosen mata kuliah itu menyuruh mahasiswa untuk membawa buku referensi. Sebenarnya buku yang dimaksud tersedia di perpustakaan, namun hanya sekitar lima belas sampai dua puluh buku saja, sementara mahasiswa kelas Nara berjumlah hampir empat puluh orang. Nara pun memutuskan untuk membelinya agar bebas kalau mau dicorat-coret catatan penting.
Jarak kampus dan toko bukunya masih bisa dibilang dekat, kalau naik bus pun tinggal turun di halte berikutnya. Nara pun memutuskan untuk berjalan kaki saja, sekalian jalan-jalan.
Nara tengah berdiri menunggu lampu merah, bersama kerumunan orang yang juga hendak menyeberang jalan raya. Sebuah layar besar yang berisi cuplikan drama serial terbaru di televisi menarik perhatiannya. Saat cuplikan tersebut berakhir, ia kembali menatap seberang jalan. Dengan iseng ia perhatikan satu persatu wajah orang yang hendak menyeberang ke arah yang berlawanan dengannya, siapa tahu dia menemukan wajah yang tak asing. Tidak ada wajah yang ia kenal, sampai salah satu wanita yang berada di barisan depan berjongkok untuk membenarkan tali sepatu anaknya yang lepas.
Mata Nara membulat keltika melihat pria berkacamata yang berdiri persis di belakang wanita itu, yang tengah memainkan ponsel. Sepertinya pria itu merasa Nara menatapnya lekat-lekat, sehingga ia mendongakkan kepalanya dan bersitatap dengan Nara.
"A-ayah...?", gumam Nara lirih.
Sebuah bus kota melintas tepat setelah Nara menyadari kalau pria yang ia lihat adalah Taeil. Saat bus sudah hilang dari pandangan, pria tersebut juga hilang. Nara sangat ingin menyeberang, tapi lampu hijau untuk menyeberang masih saja menyala merah.
Beberapa saat kemudian, lampu hijau pun menyala, Nara pun mencari celah di antara orang-orang dan mencoba menyusul mereka, meskipun ia mendapat lontaran protes karena seenaknya menyenggol. Ia hanya meminta maaf sekenanya dan kembali menyelip di antara orang-orang.
Mata Nara dengan sibuk menyapu setiap sudut jalan, mencari-cari sosok yang ia yakini sebagai ayahnya. Ia berlarian di sepanjang trotoar dan bahkan ia masuki toko-toko yang berada di dekatnya satu persatu. Ia yakin, Taeil masih berada di lingkungan itu.
"Apa tadi cuma orang yang mirip sama ayah, ya? Atau jangan-jangan, itu cuma bayangan dari pikiran aku aja?", Nara bertanya-tanya dalam hati. Tangannya segera merogoh ponsel dan menghubungi kontak Kihyun. Namun, Kihyun tak kunjung mengangkat teleponnya.
"Masih di kelas, ya?", lirih Nara. Ia mengirimkan pesan singkat pada Kihyun untuk segera meneleponnya jika kelasnya telah usai.
Nara menghela nafas, "Itu ayah, aku yakin..."
**
Stok buku yang Nara butuhkan di toko buku terdekat rupanya sudah habis, menyebabkan Nara terpaksa pergi ke toko buku lain yang letaknya agak jauh. Nafas lega terhembus dari Nara saat mengetahui buku tersebut tinggal sisa satu stok lagi. Segera Nara berlari ke halte bus untuk mengejar bus menuju rumah Hyemi.
Meskipun rumah Hyemi masih berada di sekitar sebuah kampus, keadaan lingkungan tetaplah sepi saat malam tiba. Dengan pandangan menunduk, Nara berjalan secepat mungkin keluar dari halte. Ia bahkan berlari melewati kerumunan lelaki yang tengah menongkrong di depan minimarket.
Saat berbelok ke jalan kecil menuju rumah Hyemi, Nara merasakan hawa aneh. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria bertudung hitam yang berjalan lumayan jauh di belakangnya. Meskipun keadaan tidak begitu terang, dapat Nara lihat matanya yang memicing pada Nara.
"Astaga, kenapa aku selalu dibuntutin orang, sih?", gerutu Nara. Ia pun berlari dan sedikit menengok ke belakang. Pria tadi juga ikut berlari mengejarnya.
Dengan lihai, Nara berbelok-belok di jalanan sempit itu. Nampaknya, pria tersebut juga sama lihainya. Langkahnya yang lebar membawanya semakin mendekat pada Nara. Sesaat Nara merutuki kakinya yang tidak sejenjang wanita lain, membuatnya harus secepat mungkin melangkahkan kakinya.
Tepat saat Nara berbelok ke kanan, sebuah tangan dari dalam pagar rumah yang terletak di ujung jalan menariknya masuk dan memeluknya dari belakang sambil membekap mulutnya. Nara tentu saja meronta-ronta, mengira dirinya sudah tertangkap oleh si pengejar. Namun, sebuah suara dari seseorang yang menariknya berhasil membuatnya bungkam.
"Diam."
Dalam seketika, Nara berhenti meronta. Bukan, bukan karena si pembekap ini menyeramkan hingga membuat Nara mengira ia akan dibunuh jika tidak menuruti perkataannya. Suara si pembekap begitu familiar di telinga Nara, bahkan sangat familiar hingga Nara sendiri tak memercayai indra pendengarannya.
Nara ingat kalau tadi pagi ia baru saja membersihkan kupingnya, dan sekarang sangat jelas terdengar kalau suara itu milik Taeil.
Nara sebenarnya ingin mendongak untuk melihat wajah si empunya suara, namun tangan lain orang itu menahan belakang kepalanya sehingga ingin menoleh sedikit pun Nara kesusahan. Yang sedikit terlihat dari ekor matanya adalah si pembekap memakai kain hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
"Sial! Dia lari ke mana, sih?!", terdengar rutukan si pengejar dari luar pagar. Nara berjengit dan semakin menenggelamkan badannya dibalik lengan besar si pembekap. Masih terdengar suara langkah si pengejar yang terus-terusan bolak-balik di depan pagar, seakan-akan mengendus aroma daun mint dari shampoo Nara dan memastikan kalau Nara masih di sana. Hampir lima menit keadaan itu berlangsung, hingga akhirnya keadaan sangat sepi.
Nara kira, si pembekap akan langsung melepaskannya saat si pengejar sudah pergi. Nyatanya, ia belum melepaskan bekapannya sama sekali. Kepanikan mendatangi Nara lagi. Bagaimana kalau sebenarnya, si pembekap berpura-pura menyelamatkan Nara, tapi sebenarnya ia merupakan salah satu kaki tangan si pengejar?
Rupanya, tidak seburuk yang Nara pikirkan. Tangan si pembekap masih berada di mulut Nara, namun tangan yang satunya mendorong pagar kayu itu pelan. Masih dengan posisi membekap, mereka berdua keluar dengan perlahan. Setelah menutup kembali pagar, tangannya yang bebas itu meraih tudung jaket Nara dan memasangkannya hingga kepala Nara tertutup setengahnya.
"Tunggu waktu yang tepat ya, Nara.", ucap si pembekap. Dengan cepat ia melepas bekapannya. Nara membuka tudung jaketnya dan segera berbalik badan. Namun, ia kalah cepat dengan si pembekap yang sudah menghilang begitu saja, seakan-akan tidak pernah ada di sana, membuat Nara celingukan kebingungan.
"Kim Nara!". Nara menoleh ke ujung jalan dan mendapati Kihyun yang tengah berlari ke arahnya. "Kenapa nggak ngangkat telepon aku daritadi? Padahal kamu sendiri yang bilang ke aku buat nelepon kamu secepatnya kelas aku beres."
Nara tidak menjawab apa-apa. Matanya masih jelalatan mencari sosok yang tadi menolongnya.
"Nara? Kamu nggak apa-apa?". Nara masih tidak fokus, membuat Kihyun memegang kedua bahunya dan menatapnya lekat-lekat. "Kamu kenapa?"
"Kak-kak Kihyun... aku tadi dikejar, nggak tahu sama siapa. Terus, aku ditarik. Terus, aku---eh, dia nolong aku. Suaranya... suara ayah..."
Kihyun terdiam mendengar cerita Nara yang putus-putus itu. Kepalanya ia tolehkan ke sekitar, lalu kembali menatap Nara. "Kamu lebih baik cerita pas udah di rumah aja, ya. Mending sekarang kamu pulang dulu, nanti cerita ke aku lewat telepon aja. Udah malem, Bibi Hyemi pasti khawatir."
Nara hanya mengangguk, dan membiarkan tubuhnya dituntun Kihyun menuju rumah Hyemi.

Dua Puluh Satu

Sejak kejadian yang menimpanya Jumat malam, Nara benar-benar menjadi pendiam selama tiga hari esoknya. Teman-temannya bingung harus mengajak ngobrol Nara dengan cara apa. Biasanya, Nara yang paling banyak bercerita diantara teman-temannya yang lain. Hyemi bahkan mengira Nara kesurupan dan memanggil kenalannya yang---katanya---merupakan seorang paranormal.
Di mana pun tempat yang Nara datangi di kampus, ia pasti tidak melakukan apapun selain melamun. Ia pun sudah berkali-kali ditegur dosen yang mendapatinya memandang dinding dengan tatapan kosong. Untunglah, Nara masih bisa menjawabnya. Kalau tidak, ia harus menghabiskan sisa jamnya di luar kelas. Terdengar menyenangkan, namun sebenarnya mengerikan.
"Heh, ngelamun melulu.", teguran Kihyun yang lembut saja membuat Nara berjengit. Kihyun mendudukkan dirinya di samping Nara, kemudian melirik semakuk ramen pesanan Nara yang sudah mengembang dan kuahnya sudah menguap entah ke mana. "Ngapain dipesen kalo dianggurin?"
Nara menoleh pada Kihyun sekejap sebelum melihat ramennya. Raut terkejut terpampang jelas di wajah Nara ketika mengangkat mie ramennya yang sudah berubah seperti karet itu dengan sumpit. Nafsu makannya hilang seketika.
"Kak, kok aku yakin banget ya, kalo yang nolong aku waktu itu tuh, ayah?", tanya Nara. "Wajahnya nggak kelihatan, sih. Tapi suaranya itu, loh."
Sesuai sarannya, Nara bercerita pada Kihyun mengenai kejadian dirinya dikejar seseorang saat ia dan Kihyun sudah sampai di tempat istirahat mereka masing-masing. Meskipun cerita Nara sedikit tak jelas karena ceritanya terputus-putus akibat keterkejutannya akan kejadian itu, Kihyun benar-benar mengerti inti ceritanya.
Tepat setelah sambungan telepon mereka terputus, Kihyun segera mengotak-atik laptopnya dan mencoba melacak keberadaan Taeil saat ini. Ia juga menelepon Wooseok untuk menanyakan kabar terbaru dari Gangwon. Belum ada hasil apa-apa, begitu jawaban Wooseok. Kihyun pun menceritakan hal yang baru saja dialami Nara dan meminta agar dilakukan penyelidikan juga di Seoul. Hayeol selaku wakil ketua tim pun setuju dan malam itu juga sebagian tim kembali ke Seoul.
"Suara emang nggak mudah ditiru, sih. Jadi, bisa aja yang kamu denger itu bener.", komentar Kihyun. "Tim emang belum nemuin paman, tapi pagi ini, ada salah satu agen yang ngelihat Daesuk lagi keliaran di sekitar distrik ini. Berarti, bisa dipastiin kalo yang ngejar kamu Jumat lalu itu dia."
"Tapi belum bisa dipastiin kalo yang nyelamatin aku itu ayah, ya?". Kihyun mengangguk pelan. Nara menghela nafas pasrah. Ramennya semakin terlihat aneh karena ia mengaduk-aduknya acak. Sebuah panggilan masuk menghentikan aktivitas tak jelasnya itu.
"Halo?"
"Seberapa sayang sih, kamu sama bibimu?", sebuah suara berat dari seberang telepon bertanya.
Nara mengernyit, "Ini siapa?", tanyanya, membuat Kihyun yang tengah menyeruput teh manis menoleh.
"Mau tahu aku siapa? Coba cari di rumah Hyemi."
Seketika Nara sadar ia tengah berbicara dengan siapa. Ia menatap Kihyun panik, sementara Kihyun menatapnya bingung.
"Kalo sampai lima belas menit kamu nggak datang, siapin ucapan selamat tinggal buat bibimu tersayang ini, ya.". Telepon terputus begitu saja.
Masih dengan panik, Nara cepat-cepat beranjak dari duduknya. "Kak, kita harus ke rumah bibi sekarang. Lee Dae-Daesuk ada di sana. Aku takut bibi kenapa-napa."
Tanpa pertanyaan atau anggukan kepala, Kihyun juga beranjak dan menarik Nara berlari menuju rumah Hyemi.
**
Suasana hening memang sudah biasa terjadi di rumah Hyemi, mengingat Hyemi seorang ibu tunggal karena suaminya sudah meninggal bertahun-tahun lalu dan Yongguk yang sudah lulus kuliah tahun lalu dan bekerja di luar kota. Namun kali ini, bukan hening seperti biasanya, hening saat ini begitu mencekam.
Perlahan Nara memutar kunci dan mendorong pintu. Dengan langkah sesunyi mungkin, Nara dan Kihyun memasuki rumah. Kihyun berjalan di belakang Nara dengan menghadap ke belakang, berjaga-jaga kalau ada serangan tak terduga.
"Bibi Hyemi?", Nara memanggil pelan. "Bibi di ma---", ucapannya menggantung, ketika hendak masuk ruang makan dan melihat bibinya duduk di kursi makan dengan raut wajah ketakutan. Sorot matanya seakan-akan menyuruh Nara agar tidak mendekat.
Tapi Nara sama sekali tidak menangkap sinyal itu. Ia malah masuk ke ruang makan, dan ia terkesiap begitu menyadari Daesuk berdiri di samping lemari dapur sembari menyeringai padanya. Dengan sigap Kihyun mengeluarkan pistol yang tersembunyi dibalik jaketnya dan mengarahkannya pada Daesuk.
"Kamu bener-bener sayang sama bibimu ini, ya?", Daesuk bertanya.
Nara mengepalkan tangannya, mencoba menahan ketakutannya. "Lepasin Bibi Hyemi!", serunya.
Daesuk berdecih, "Nggak segampang itu. Kalo kamu mau satu nyawa selamat, harus ada satu nyawa yang dikorbankan.". Hyemi lantas menjerit saat lengannya dicengkeram dan ditarik paksa untuk berdiri. Pekikannya tertahan ketika ia merasakan sebuah pistol menempel di pelipisnya. "Kamu mau biarin Hyemi mati kayak gini, atau kamu mau gantiin posisi dia?"
"Lebih baik kamu aja yang mati!"
"Pilihannya cuma ada dua, sayangku. Kamu atau dia?"
Nara tidak menjawab apapun. Tubuhnya bergetar hebat sampai ia merasa kakinya tak dapat menopangnya lagi. Jeritannya tertahan saat melihat Daesuk yang semakin menekan pistolnya ketika Hyemi berusaha melepas cengkeramannya.
"Cepat pilih! Waktu itu sangat berharga!". Daesuk mengalihkan tatapannya pada Kihyun. "Oh, atau kamu aja yang pilih?"
"Aku sudah memilih daritadi.", kata Kihyun.
"Dan aku sudah bilang kalau pilihannya hanya dua wanita ini, kan? Berhentilah mengarahkannya padaku. Arahkan pada salah satu dari mereka, dan permainan selesai."
"Ke aku aja, kak.", lirih Nara. Kihyun menatapnya tak percaya.
"Kamu gila?! Jangan terpengaruh sama omongan dia, itu cuma gertakan.", desis Kihyun.
"Tapi aku takut dia ngelukain bibi!"
"Apa cuma itu caranya biar bibi selamat? Nggak usah dengerin apa kata dia, Nara. Tolong, jangan terpengaruh!"
"Oh, ayolah! Ini bukan waktunya berdikusi!", bentak Daejung. "Akan kuhitung sampai tiga. Kalau masih belum ada keputusan, pistol ini bakal ngeledakkin isi kepala Hyemi. Satu..."
"Kak, biarin aku aja!"
"Nggak, Nara!"
"Dua..."
Belum habis hitungan Daesuk, terdengar bunyi letusan pistol yang disusul dengan erangan seseorang. Bukan pistol Daesuk atau Kihyun yang meledak, dan erangan itu bukan berasal dari Hyemi atau Nara. Daesuk merintih kesakitan dengan darah yang mengucur deras dari robekan di lengannya.
"Kan sudah kubilang, jangan pernah macam-macam denganku, apalagi kalau menyangkut dua wanitaku ini.", ucapan seseorang yang masuk lewat pintu belakang dapur mengalihkan fokus para individu yang masih terkejut menatap Daesuk. Hyemi berpegangan pada kursi saking terkejutnya ia melihat orang itu, sementara Nara dan Kihyun sama-sama mematung.
"Kihyun, segera hubungi kantor untuk mengirim orang ke sini. Hama ini,", orang itu melirik Daejung yang masih menahan sakitnya di lantai dapur, "harus segera dimusnahkan."
Kihyun mengerjapkan matanya, "I-iya, Paman Tae-Taeil...", ucapnya sembari merogoh ponselnya dengan tangan yang bergetar.
Taeil tersenyum pada Nara dan Hyemi. Tangannya terbuka lebar, "Adik tercintanya Kim Hyemi dan ayah tertampannya Kim Nara nggak bakal disambut, nih?"
Detik berikutnya, kedua wanita Kim itu menghambur ke pelukan Taeil. Membanjiri kaus lengan panjang birunya dengan bulir-bulir mutiara yang mengucur deras dari matanya.
Yes, Kim Taeil is officially back.

Dua Puluh Dua

Rumah Hyemi kembali sepi, namun tidak mencekam seperti tadi. Hyemi tengah menyiapkan sedikit makanan untuk Taeil, Nara yang tengah heboh menceritakan apa yang terjadi padanya selama dua tahun Taeil pergi, sementara Kihyun sudah pergi bersama agen lain yang sibuk 'mengurus' Daesuk. Taeil akan menyusul mereka satu jam lagi.
"Jadi, bisa ceritain ke mana aja kamu selama dua tahun ini?", tanya Hyemi seraya menaruh tiga gelas cangkir teh dan dua toples kue kering dan biskuit di meja makan.
"Aku sembunyi.", jawab Taeil sebelum menyesap tehnya. "Sehabis Nara dibawa sama Kihyun, aku ada 'obrolan' dikit sama Daesuk. Eh, ternyata 'obrolan' kita nggak semudah biasanya. Dia berusaha kabur pakai mobil, dan untunglah ada mobil nganggur punya anak buahnya, jadi aku kejar di---"
Nara mengacungkan tangannya, "Bentar Yah, 'ngobrol' di sini tuh, maksudnya gimana, sih?"
"'Ngobrol' maksud ayah kamu tuh, saling adu keahlian tembak-tembakan.", jelas Hyemi. Bibir Nara sontak membentuk ringisan, dan mengangguk pelan.
"Terus, kenapa ayah sama Lee Daesuk bisa masuk ke sungai?", tanya Nara.
"Waktu kejar-kejaran itu, kita masuk ke jalan di pinggir tebing yang di bawahnya ada sungai. Karena jalanan itu belokannya tajam, kita nggak lihat di depan ada truk pengangkut pasir yang datang dari arah berlawanan. Daesuk banting setir buat ngehindar dari truk itu, tapi malah nabrak pembatas jalan dan mobilnya jatuh terguling-guling sampai sungai.
"Daripada ayah ngejar pake kaki dan dia udah keburu kabur, mending ayah kejar pake mobil, kan? Akhirnya, ayah kemudiin mobilnya ke arah sungai, tapi bagian depannya malah nabrak pohon yang tumbang dan mobil yang ayah kemudiin juga keguling-guling dan masuk sungai."
"Bodoh.", komentar Hyemi.
"Cari mati banget.", tambah Nara.
Taeil malah tertawa, "Iya, emang bodoh banget. Orang lain ngehindarin kematian, aku malah ngejemput kematian.", kelakarnya. "Tapi ya, namanya juga orang kalap. Untung aku langsung lompat keluar sebelum mobilnya tenggelam. Aku segera ngejar Daesuk yang udah lari lumayan jauh. Sengaja aku lepas jas yang udah basah, biar larinya enteng. Tapi tetep aja, Daesuk berhasil kabur."
"Kalo kamu selamat, kenapa nggak langsung pulang aja?"
"Asalnya sih, maunya gitu. Cuma, Daesuk lagi-lagi jadi buron dan pasti dia nggak bakal berhenti buat ngejar aku, kakak, Nara, dan orang-orang terdekat aku, jadi kayaknya bahaya kalo dia tahu aku masih hidup. Jadi, aku putusin buat sembunyi sementara waktu sampai aku berhasil nemuin keberadaannya. Baru, setelah itu aku bakal muncul lagi di waktu yang tepat."
"Selama ini kamu sembunyi di mana?"
"Di mana-mana, pokoknya selama nggak ada yang tahu identitas aku, aku sembunyi di situ selama mungkin. Tempat pertama yang jadi tempat persembunyian aku tuh, Pulau Jeju. Aku tinggal di sana selama enam bulan, sampai salah satu anak buah Daesuk nemuin aku. Habis itu, aku kabur ke Busan selama lima bulan. Aku nggak sengaja ketemu Yongguk waktu pergi ke kafe dan kayaknya dia ngenalin aku, makanya aku pergi dari sana. Setelah itu aku balik ke Daegu selama enam bulan, terus pindah ke Gangwon sampai dua minggu yang lalu."
"Pasti gegara salah satu agen yang ngenalin ayah, ya?"
Taeil terkekeh, "Pasti dikasih tahu Kihyun, ya? Iya, dia manggil-manggil dan bahkan sampai ngejar. Yah, mungkin udah waktunya aku buat nggak sembunyi lagi, akhirnya aku pindah ke Seoul, yang secara kebetulan Daesuk juga lagi sembunyi di sini."
Dering ponsel Taeil menginterupsi pembicaraan mereka. Wajah Taeil berubah serius ketika mengangkat telepon itu.
"Baik, sekarang saya ke sana.". Taeil mengakhiri pembicaraan. "Aku harus ke kantor sekarang. Lee Daesuk ini, banyak banget hal yang harus diurus tentang dia."
"Nara mau ikut, boleh nggak?", pinta Nara.
Taeil mengangguk, "Kakak juga, sekalian mau ikut?"
"Nggak, makasih. Kejadian tadi bikin aku capek, aku mending tidur sampai tengah malem nanti."
"Oke, kalo gitu, kita pergi dulu ya, kak. Jangan lupa kunci pintu dan jendela."
**
Taeil memasuki ruangan serba putih yang dikelilingi oleh kaca satu arah. Terdapat satu meja dan dua kursi yang berhadapan di tengah ruangan. Salah satu kursi telah diisi oleh Daesuk yang lengan kanannya dibalut perban, dan kedua pergelangan tangannya terbelenggu borgol. Taeil menarik kursi dan duduk dengan perlahan, diiringi dengan tatapan tajam Daesuk padanya.
Taeil membolak-balik berkas yang ada di meja. Setelah puas matanya meneliti setiap kata dalam berkas itu, ia menatap Daesuk lekat-lekat. "Sebenarnya, sudah tidak ada lagi yang harus diurus olehku.", buka Taeil. "Para anak buahmu juga sedang menyusulmu ke sini. Jadi, urusanku denganmu sudah selesai. Kau tidak perlu repot-repot lagi mencoba untuk membunuhku, dan aku juga tak perlu repot-repot lagi untuk berusaha menangkapmu. Permusuhan turun temurun antara Organisasi Intelejen Nasional dan Perusahaan Ilegal Lee Wonri dinyatakan selesai."
Tangan Taeil bergerak menandatangani kertas terakhir berkas. Setelah membereskan berkas dengan sekenanya, ia beranjak dari kursi. "Sekarang, kau hanya perlu menunggu balasan apa yang setimpal dengan perbuatanmu. Melihat perbuatanmu yang tergolong luar biasa, aku harap kau akan berakhir di tiang gantung.". Taeil membungkukkan badannya dan berjalan menuju pintu.
"Tiang gantung tidak akan pernah membuatku berhenti untuk mengejarmu.", ancaman Daesuk menghentikan gerakan tangan Taeil di kenop pintu. Taeil menoleh perlahan pada Daesuk yang tersenyum miring padanya. "Tidak ada yang bisa menghentikan aku, catat itu baik-baik."
Taeil terkekeh pelan, "Kalau begitu, aku juga tidak akan berhenti untuk menghentikanmu. Catat itu baik-baik.". Taeil membuka pintu dan menutupnya kasar.
Setelah membereskan berkas bersama para petinggi, Taeil berjalan menuju ruangannya. Dirinya langsung dikejutkan oleh Wooseok yang menyalakan confetti tepat saat ia membuka pintu.
"Selamat datang kembali!", ucap Wooseok, Aran, dan Hayeol berbarengan. Taeil tertawa dan mengucapkan terima kasih, kemudian memeluk singkat satu persatu anggota timnya.
"Eh, mana Nara sama Kihyun?", tanya Taeil.
"Di sini, ayah. Kita baru balik dari kafetaria.". Taeil bergidik ketika Nara berbisik di belakang telinganya. Ia langsung memeluk lengan Taeil erat. "Kata kakak-kakak, mereka mau ayah traktir mereka makan, buat ngerayain kembalinya ayah."
"Lah, kok bawa kakak-kakak?! Itu ide kamu, ih!", protes Wooseok. Nara hanya cengengesan.
"Boleh. Mau kapan kita makan-makan? Sabtu ini?", tanya Taeil yang langsung disambut sorakan Wooseok dan Aran. "Kamu sama Kihyun ada kuliah nggak?". Nara dan Kihyun kompak menggeleng. "Oke, berarti Sabtu ini kita pergi.", Taeil memutuskan. "Hayeol kalo mau bawa Sihyun juga boleh, aku udah lama nggak ketemu dia."
"Sihyun siapa, bi?", tanya Nara.
"Anak bibi yang masih TK.", jawab Hayeol.
Nara melompat-lompat kecil, "Nanti harus main sama aku! Pokoknya Sihyun harus main sama aku!"
"Halah, ngesok banget ngajak main. Anak kecil aja langsung nangis pas disamperin---aduh! Nggak usah nyubit!", Taeil mengelus-ngelus lengannya. Nara menjulurkan lidah dan berlari ke meja Aran untuk mengobrol tentang serial drama terbaru.
Sepertinya, meskipun Taeil menghilang hingga satu abad lamanya, hubungan ayah dan anak itu tidak akan pernah mulus dari pertengkaran kecil.

Epilog

Salah satu area perkemahan yang tidak terlau ramai itu kini didirikan empat tenda berukuran sedang dengan dua buah alat pemanggang daging yang masing mengepulkan asap tipis, karena pesta barbekyu baru saja berakhir. Taeil terduduk di kursi kecil dengan kaleng soda ditangannya, sembari memperhatikan kesibukan masing-masing orang.
Para ibu---Hyemi dan Hayeol---tengah sibuk membicarakan sekolah dasar yang akan dimasuki Sihyun tahun depan, sementara yang akan masuk sekolah dasar malah tertidur di pangkuan Hayeol. Aran, Wooseok, dan Yongguk pergi ke toko yang jaraknya satu kilometer dari tempat kemah untuk membeli makanan ringan dan minuman. Nara dan Kihyun bermain-main di pinggir sungai, sesekali mereka mengambil potret diri masing-masing.
Beberapa menit kemudian, terlihat Nara berlari tergopoh-gopoh ke arah tenda, meninggalkan Kihyun yang masih asyik memandangi sungai.
"Ke mana?", tanya Taeil.
"Pipis!", sahut Nara. Dengan cepat ia melesat menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh di belakang Taeil.
Melihat Kihyun yang sendirian, merupakan sebuah kesempatan yang bagus untuk Taeil. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Kihyun.
"Ngelihatin sungai terus, nggak sekalian nyebur aja?", gurau Taeil. Kihyun sedikit berjengit, lalu tertawa.
"Inginnya sih gitu, paman. Sekalian mandi lagi.", Kihyun berkelakar. Kini giliran Taeil yang tertawa.
Ada keheningan selama beberapa detik, sebelum Taeil menghela nafas pendek dan bertanya, "Nara pasti banyak ngerepotin kamu ya, selama paman sembunyi?"
Kihyun tersenyum seraya menggeleng pelan, "Nggak kok, paman. Aku nggak ngerasa direpotin sama sekali. Lagian, aku emang ngejalanin tugas yang paman suruh, kan?"
Kening Taeil agak berkerut sekejap, hingga ia ingat permintaannya pada Kihyun sebelum ia menghilang dua tahun yang lalu. Senyuman terukir di wajahnya, "Kalo paman minta kamu buat ngejagain Nara selamanya, kamu bersedia, nggak?"
Raut wajah bingung bercampur kaget sangat jelas terlihat pada Kihyun, "Maksud paman?"
Taeil terkekeh, "Ah, jangan pura-pura gitu. Paman udah tahu jelas ada apa diantara kalian, dari dulu malahan. Tapi, kamu takut sama paman kan, gegara paman overprotektif banget ke Nara?"
Kihyun tidak bisa melakukan apa-apa selain menunduk dan menggigiti bibir bawahnya pelan. Tangannya ia masukkan ke saku jaket agar Taeil tak melihat gemetarannya yang hebat.
"Nara itu sesuatu yang paling berharga di hidup paman, setelah Yumi meninggal. Paman cuman takut dia disakiti siapapun, termasuk sakit hati gegara cinta. Dari dulu emang banyak temen cowoknya yang nyoba buat ngedeketin dia, tapi paman galakkin semuanya. Soalnya, menurut paman cowok-cowok itu nggak baik buat Nara.
"Sampai akhirnya, Nara ketemu sama kamu. Ngelihat kalian berdua tuh, ngingetin waktu dulu paman sama Yumi. Anak gadisnya agen saling jatuh cinta sama anak buahnya agen. Karena itu, paman sempet takut kalian bakal bernasib yang sama kayak kami. Tapi, dengan ngelihat sikap kamu ke Nara, lama-lama keraguan itu hilang."
Taeil menyampirkan lengannya di pundak Kihyun. "Paman percayain Nara sama kamu. Paman udah yakin banget kalo kamu itu orang yang terbaik buat Nara. Karena paman nggak mungkin jagain Nara terus, paman ingin kamu ngegantiin posisi paman. Tapi, kamunya mau nggak?"
Kihyun menoleh perlahan untuk membalas tatapan Taeil. "Paman betulan ngasih aku izin?", ia bertanya dengan hati-hati.
Taeil mengangguk. Ia melepas rangkulannya dan mengacak-acak rambut Kihyun. "Jagain Nara baik-baik, ya. Kalo kamu nyakitin dia, paman nggak bakal sungkan buat bunuh kamu. Bahkan kalo paman udah mati, paman bakal gentayangin kamu seumur hidup."
Senyum sumringah terpampang jelas di wajah Kihyun. Ia mengangguk, "Makasih, paman."
"Ayah! Kak Kihyun!", Nara berseru, membuat keduanya menoleh dan mendapati Aran, Wooseok, dan Yongguk telah kembali dari toko dan tengah sibuk membagi-bagikan camilan pesanan setiap orang. Taeil memberi isyarat mata pada Kihyun dan keduanya berjalan menghampiri tenda.
"Ayah sama kakak ngapain di sana tadi?", tanya Nara begitu keduanya sampai di tenda. Taeil dan Kihyun serempak saling melempar pandangan, kemudian keduanya tertawa kecil.
"Rahasia cowok.", jawab Taeil singkat, membuat Nara memicing sebal dan kembali sibuk membuka camilan, yang segera Kihyun ambil alih karena Nara kesulitan membukanya.
Taeil baru saja hendak mencomot keripik kentang, saat ponselnya tetiba berbunyi karena ada pesan masuk. Keningnya seketika berkerut kala melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal. Kemudian ia berdecak sebal ketika membuka pesannya. Wooseok menyenggol pelan lengannya untuk bertanya ada apa, yang dijawab dengan Taeil menunjukkan layar ponselnya.
"Ah! Kenapa dia nggak ngebiarin kita hidup tenang, sih?!", Wooseok berseru kesal, membuat semua orang menoleh padanya sekarang.
Taeil tersenyum tipis, "Kayaknya aku harus pamit duluan.". Semua orang memandangnya penasaran. "Lee Daesuk kabur waktu keamanan kantor diretas seseorang. Emang nggak akan mudah bikin dia diam barang sejenak.", jelasnya. Ia menghela nafas dan beranjak dari duduknya untuk mengambil jaketnya yang berada di dalam tenda. "Lanjutin aja acaranya, semoga besok pagi aku masih bisa ke sini.". Taeil melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan mereka.
"Ayah semangat! Hati-hati! Jangan biarin dia kabur lagi!", Nara berseru sembari melompat-lompat dan melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi. Taeil berbalik dan tersenyum, lalu membalas lambaiannya sebelum ia kembali berjalan.
Mari beri semangat untuk Kim Taeil yang sepertinya tak akan pernah mendapat 'hari tenang' jika Lee Daesuk masih berkeliaran di muka bumi

PermataCimahi, Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun