“Kesempatan emas,” bisik Black. Aku mengangguk mantap. “Kau lihat nanti, wajah lapar ini bisa menundukkan siapa pun.”
Tapi sebelum kami bergerak, Princess muncul dengan bulu putih panjangnya. “Ginger! Kau makin gemuk saja. Kau pikir semua pintu dapur terbuka itu undangan pesta? Belajar dong dari Felix yang anggun dan ramping.”
Dan benar saja, Felix muncul tak lama kemudian. Jalannya berwibawa, kepalanya tegak. Langkahnya juga sangat elegan, tiap ayunan ekor seperti bagian dari koreografi. Itulah gaya catwalk, gaya jalan yang biasa dipakai peragawati.
Kadang aku berpikir, jangan-jangan istilah catwalk itu ditemukan manusia setelah melihat cara jalan Felix.
Tapi bagiku, catwalk tak ada gunanya. Yang lebih penting adalah foodwalk. Berjalan dari satu rumah ke rumah lain sambil memastikan semua mangkuk penuh. Itu baru gaya jalan raja Kenmont Mews.
Felix menoleh sekilas padaku dengan tatapan dingin yang seolah menuduhku tidak sopan karena makan dari banyak rumah yang berbeda. Aku mendesis. “Apa gunanya anggun kalau tak bisa menikmati ayam goreng tambahan?”
Tiba-tiba Mochi datang sambil menirukan gaya khas rengekanku. “Meeooow… aku lapar sekali…” katanya sambil berguling-guling.
Kucing-kucing lain yang mendengarnya langsung tertawa keras. Aku menepuk dahi. “Hei! Itu gayaku! Jangan diparodikan dong!” Mochi malah makin keras tawanya.
Tak lama setelah drama kecil itu, mataku menangkap seekor burung kecil hinggap di cabang rendah pohon sikat botol merah. Biasanya aku bisa melompat tinggi dan mencapai cabangnya. Kali ini aku akan menangkap burung itu.
Aku merendahkan tubuh, menekuk kaki, lalu menghentakkan badan. Tapi kali ini tubuhku terasa terlalu berat, kakiku berhenti di tengah jalan, tak sampai. Burung itu terbang sambil berkicau, seolah mengejek. Aku jatuh ke tanah, terengah-engah.
“Kau baik-baik saja, Ginger?” tanya Black khawatir.