Mohon tunggu...
Rini Elwani
Rini Elwani Mohon Tunggu... Pemula

Selanjutnya, setelah itu, lalu, berikutnya, kemudian...barulah saya. Pemula yang menyulam hal-hal sepele menjadi jalinan kisah, cerita, tuturan, dan narasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah Ginger, Si Raja Kompleks (2)

1 September 2025   06:00 Diperbarui: 1 September 2025   12:45 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seri 2. Catwalk VS Foodwalk

Setiap pagi, Linda akan memberiku sarapan. Satu mangkuk kecil kibble atau makanan kering. Katanya  sih "porsi sehat". Tapi aku menyebutnya hanya “makanan pembuka.”

Begitu selesai, aku menatap mangkuk kosong itu lama, berharap akan terisi kembali. Tapi Linda hanya tersenyum. “Itu cukup Ginger.”

Cukup? Untuk siapa?  Aku atau tikus?

Tapi begitu matahari naik, saatnya aku keluar rumah dengan ekor tegak penuh percaya diri. Inilah rutinitas wajibku. Jalan-jalan makan siang.

Aku selalu memulai dari rumah Anna. Anak-anak itu sudah hafal. Begitu aku muncul, mereka bersorak “Garfield!”.  

Aku mulai menurunkan ekor, mataku melo, langkah pelan, dan memasang wajah lapar andalanku. Itu tak pernah gagal. Mereka langsung berlari mengambil mangkuk kibble dan meletakkannya di depanku.

Setelah itu, aku bergerak ke arah rumah Oma dan Opa Maine. Aku tak perlu banyak akting di sana. Begitu aku muncul, Oma langsung berseru, “Orange, kasihan sekali, kamu pasti lapar ya Nak?” Dan kembali semangkuk penuh makanan kering sudah menungguku di pintu belakang.

Itulah kehebatanku. Semua manusia di Kenmont Mews sudah jatuh dalam perangkap wajah lapar ciptaanku. Aku bukan sekadar kucing, aku adalah aktor besar.

Sorenya, aku dan Black bersembunyi di balik pagar, mengintai dapur terbuka. Aroma ayam goreng menguar.

“Kesempatan emas,” bisik Black. Aku mengangguk mantap. “Kau lihat nanti, wajah lapar ini bisa menundukkan siapa pun.”

Tapi sebelum kami bergerak, Princess muncul dengan bulu putih panjangnya. “Ginger! Kau makin gemuk saja. Kau pikir semua pintu dapur terbuka itu undangan pesta? Belajar dong dari Felix yang anggun dan ramping.”

Dan benar saja, Felix muncul tak lama kemudian. Jalannya berwibawa, kepalanya tegak. Langkahnya juga sangat elegan, tiap ayunan ekor seperti bagian dari koreografi. Itulah gaya catwalk, gaya jalan yang biasa dipakai peragawati.

Kadang aku berpikir, jangan-jangan istilah catwalk itu ditemukan manusia setelah melihat cara jalan Felix.

Tapi bagiku, catwalk tak ada gunanya. Yang lebih penting adalah foodwalk. Berjalan dari satu rumah ke rumah lain sambil memastikan semua mangkuk penuh. Itu baru gaya jalan raja Kenmont Mews.

Felix menoleh sekilas padaku dengan tatapan dingin yang seolah menuduhku tidak sopan karena makan dari banyak rumah yang berbeda. Aku mendesis. “Apa gunanya anggun kalau tak bisa menikmati ayam goreng tambahan?”

Tiba-tiba Mochi datang sambil menirukan gaya khas rengekanku. “Meeooow… aku lapar sekali…” katanya sambil berguling-guling.

Kucing-kucing lain yang mendengarnya langsung tertawa keras. Aku menepuk dahi. “Hei! Itu gayaku! Jangan diparodikan dong!” Mochi malah makin keras tawanya.

Tak lama setelah drama kecil itu, mataku menangkap seekor burung kecil hinggap di cabang rendah pohon sikat botol merah. Biasanya aku bisa melompat tinggi dan mencapai cabangnya. Kali ini aku akan menangkap burung itu. 

Aku merendahkan tubuh, menekuk kaki, lalu menghentakkan badan. Tapi kali ini tubuhku terasa terlalu berat, kakiku berhenti di tengah jalan, tak sampai. Burung itu terbang sambil berkicau, seolah mengejek. Aku jatuh ke tanah, terengah-engah.

“Kau baik-baik saja, Ginger?” tanya Black khawatir.

“Tentu saja, aku hanya sengaja memberi kesempatan hidup pada mereka.” jawabku berbohong. Tapi dalam hati aku tahu. Ada sesuatu yang tak beres.

Malamnya, Linda mengangkatku dari sofa. “Aduuuh, kamu kok berat sekali, Ginger.” Ia menimbang dengan dua tangan, lalu mendecak. “Rasanya tak mungkin kamu jadi segemuk ini hanya dengan dua mangkuk sehari.”

Aku pura-pura tidur, tapi jantungku berdetak kencang. Apakah rahasiaku akan terbongkar?

Esoknya, saat aku berusaha menunggu jatah tambahan di rumah Anna, tiba-tiba Linda muncul di pagar. Tatapannya tajam. Aku buru-buru menjilat bulu, pura-pura hanya lewat. Tapi aku tahu, ia sudah curiga.

Malam itu aku mendengar suaranya di handphone.

“Ya, Dok, jadi Ginger harus diet ya?"

 "Ya...gerakannya lambat sekali"

"Oh ok...besok porsinya saya kurangi.”

Aku tercekat. Diet? Kurangi porsi? Itu terdengar seperti konser meongku diganggu gonggongan anjing.

Dan kabar itu menyebar cepat.

Princess mengibaskan ekornya, penuh kemenangan. “Sudah kubilang, Ginger. Makan berlebihan itu membawa masalah.”

Mochi cekikikan. “Horeee! Ginger akan jadi kurus! Mungkin nanti bisa ikut kontes kucing hias hihihi...”

Black menepuk punggungku dengan ekornya.  “Tenang, bro. Kalau kau lapar, aku akan bagi setengah ikan dari dapur Gitika.”

Felix duduk anggun, menutup mata. “Diet akan membuatmu lebih…gagah.”

Aku menatap mereka dengan wajah muram. Tak ada seekor pun yang mengerti betapa serius masalah ini.

Malamnya aku gelisah di bawah pohon sikat botol merah. Bulan menggantung, burung-burung sudah tidur, tapi aku tidak bisa memejamkan mata.

Diet? Artinya porsi makan lebih kecil, wajah lapar yang tidak lagi mempan, dan perut yang akan keroncongan sepanjang hari.

Aku berguling resah. Bagaimana mungkin seorang raja bertahan hidup dengan mangkuk setengah porsi saja? Terbayang dengan Linda. Kadang aku melihatnya hanya makan salad hijau kecil, atau minum jus aneh berwarna hijau pucat. Katanya, itu demi sehat dan langsing.

Aku mencibir dalam hati. Mengapa manusia gila diet. Padahal punya kulkas penuh makanan, tetapi rela menyiksa diri sendiri. Bagiku, kalau lapar ya makan, kalau kenyang ya tidur. Simple, bukan?

Aku menutup mata, menghela napas panjang.

Besok aku akan tahu. Apakah aku masih raja Kenmont Mews… atau korban konspirasi manusia dengan jatah setengah porsi saja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun