Sepotong senja tertinggal di bibir gelas kaca. Warnanya redup, setengah pudar, seakan hanya bayangan samar dari jingga yang dulu pernah begitu gagah memeluk cakrawala. Gelas itu—gelas kopi yang sudah lama kehilangan uap hangatnya—masih terdiam di meja, bersama aku yang tetap terikat pada kursi.
Aku menunggu.
Kata “menunggu” terdengar sederhana, tapi kenyataannya ia adalah labirin tanpa peta. Aku tersesat di dalamnya, berjalan di koridor waktu yang semakin panjang, sementara setiap langkah justru membawa ke arah yang sama: kosong.
Kopi yang tadinya pekat, kini dibiarkan mendingin. Setiap hirup aroma yang tersisa seperti mengembalikan percakapan kita yang pernah hangat. Kata-kata itu masih berputar di udara, terjebak di antara meja kayu dan jendela berembun. Sialnya, percakapan itu tidak pernah selesai. Seperti benang kusut yang kau tinggalkan begitu saja sebelum benar-benar terurai.
Aku memandang keluar jendela. Langit sudah mulai renta. Cahaya jingga menipis, beringsut ke kelabu. Aku ingin percaya bahwa suatu saat, dari balik cahaya terakhir itu, bayanganmu akan turun—muncul, duduk di kursi kosong di hadapanku. Tapi kursi itu tetap dingin. Kosong. Seakan mengerti, ia menolak dihuni siapa pun selain dirimu.
Jam di dinding berdetak, tetapi tidak seperti biasanya. Malam ini, detiknya terasa lambat. Setiap tik-tok seperti meneteskan luka kecil di hatiku. Mungkin beginilah rasanya bila rindu disiksa waktu: setiap detik bukan lagi hitungan, melainkan sayatan.
Aku menunggu.
Aku tetap menunggu.
Namun semakin aku menunggu, semakin aku tahu: penantian ini hanyalah bayangan. Bayangan seperti senja yang tak pernah kembali ke pagi. Ia hanya sekali lewat, hanya sekali singgah. Dan aku, tololnya, tetap percaya ia akan kembali, meski semua tahu itu mustahil.
Pernahkah kau merasakan, sebuah kedatangan yang tak pernah benar-benar terjadi? Itulah aku malam ini. Aku duduk di sebuah kedai kecil di pinggiran kota, dengan lampu kuning temaram yang lebih sering menyembunyikan wajah daripada menyingkapnya. Pelayan sudah beberapa kali melirik, mungkin heran mengapa aku masih bertahan di meja yang sama berjam-jam lamanya.
Aku tidak peduli. Bagiku, meja ini adalah altar. Kursi kosong itu adalah doa. Gelas kopi dingin itu adalah kitab. Dan penantian ini, adalah ritual yang tak boleh kubatalkan.
Karena di sanalah, pada tiap kemungkinan kecil yang hampir mustahil, aku tetap ingin percaya kau akan datang.
Ada yang aneh dengan malam ini. Sunyi terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang masuk lewat celah jendela membawa aroma tanah basah, tanda hujan sebentar lagi turun. Dan hujan, seperti yang kau tahu, selalu punya cara sendiri untuk menghidupkan ingatan.
Aku kembali melihatmu. Kau pernah duduk di kursi itu, mengenakan sweater lusuhmu, tertawa kecil sambil mengaduk gula di kopi. Kau bilang, “Kopi tanpa gula itu seperti kita tanpa perbincangan. Hambar.” Aku menggodamu dengan mengatakan bahwa justru pahitlah yang membuat kopi punya jiwa. Kau tertawa, dan aku kalah lagi-lagi.
Ingatan itu kembali menikam. Sebab malam ini, kursi itu tetap kosong. Gelas kopi tetap dingin. Dan tawamu—ah, tawamu—hanya gema samar yang diputar ulang oleh kepalaku.
Aku terus menunggu.
Meski tak ada tanda kau akan datang, aku tahu tubuhku sudah menyatu dengan ritme penantian ini. Detak jantungku bahkan seakan meniru langkah jam di dinding. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, tapi selalu menandai kehadiran yang tak pernah tiba.
Aku bertanya pada diriku sendiri:
Apakah aku menunggu manusia?
Atau aku hanya menunggu bayangan yang kubentuk dari rinduku sendiri?
Jawabannya tidak pernah jelas. Yang aku tahu, nama yang kutunggu itu tak pernah pulang.
Di luar, lampu jalan mulai menyala satu per satu. Kota ini bersiap tidur, sementara aku masih menahan kantuk di meja kayu. Penantian menjelma menjadi jubah tipis yang membungkus tubuhku. Aku ingin pergi, ingin bangkit, ingin menyerah. Tetapi kaki ini seakan terikat pada lantai, dan mataku terus dipaksa memandang ke pintu kedai.
Kapan saja, pikirku. Kapan saja kau bisa masuk, duduk, tersenyum, dan berkata: “Maaf terlambat.”
Tapi pintu itu hanya bergoyang ditiup angin. Yang masuk hanyalah selembar daun kering yang terhempas, jatuh di sudut ruangan.
Sunyi semakin menebal.
Penantian, ternyata, bukan hanya tentang seseorang yang tak kunjung datang. Ia juga tentang bagaimana kita melawan diri sendiri: melawan logika yang berkata, “Ia tak akan kembali.” Melawan hati yang berbisik, “Tunggulah sedikit lagi.” Melawan tubuh yang lelah, mata yang berat, dan jiwa yang nyaris patah.
Aku tahu aku kalah, tapi aku tetap bertahan.
Karena di dalam kekalahan itu, ada secuil harapan yang masih berkilat.
Dan aku terlalu bodoh untuk melepaskannya.
Jarum jam kini sudah melewati angka sembilan. Kedai semakin sepi. Hanya ada aku, pelayan yang sibuk membereskan meja di sudut ruangan, dan suara detik yang terus menghantam dadaku.
Aku masih duduk. Masih menunggu.
Kopi di hadapan sudah benar-benar dingin. Permukaannya tenang, tak ada lagi uap, hanya bayangan lampu gantung yang terpantul samar di atas cairan gelap itu. Seperti kolam kecil yang memantulkan wajahku sendiri—pucat, letih, dan penuh tanda tanya.
Penantian ini mulai terasa seperti hukuman.
Tapi anehnya, aku tidak ingin bebas.
Aku menutup mata sejenak. Dalam gelap, bayanganmu muncul lebih jelas. Kau datang dengan langkah ringan, membuka pintu kedai, melambaikan tangan, lalu duduk di kursi kosong itu. Senyummu merekah, sederhana, tapi cukup untuk meluruhkan seluruh kegelisahanku.
Kau berbicara, aku mendengar. Kau tertawa, aku ikut larut. Waktu terasa mundur ke masa-masa ketika kita masih utuh.
Namun ketika kubuka mata, yang tersisa hanya kursi dingin.
Kosong.
Seperti biasa.
Aku menatap hujan yang akhirnya turun. Rintiknya mengetuk jendela, menciptakan simfoni yang hanya bisa didengar hati yang sepi. Aroma tanah basah masuk bersama kenangan yang enggan kuhalau.
Aku ingat malam hujan terakhir kita. Kau datang basah kuyup, membawa payung yang patah tulang rusuknya. Kau tertawa sambil berkata, “Payung ini sudah sekarat, tapi aku tetap maksa memakainya.” Aku menimpali, “Sama sepertiku. Sudah rapuh, tapi tetap memaksakan diri untuk menunggumu.”
Kau terdiam waktu itu. Lama.
Dan sejak malam itu, aku tak pernah melihatmu lagi.
Aku tahu sebenarnya, penantian ini tidak sehat.
Tapi bagaimana aku bisa pergi, jika hanya di sini aku merasa dekat denganmu?
Kedai ini adalah saksi bisu dari semua yang pernah kita bagi. Setiap sudutnya menyimpan serpihan cerita. Kursi di hadapanku masih hangat oleh ingatan tubuhmu, meski kenyataannya dingin oleh waktu.
Meninggalkan tempat ini sama saja dengan membunuh harapan terakhir yang masih kupeluk. Dan aku belum siap.
Pelayan menghampiri.
“Mas, kedainya sebentar lagi tutup,” katanya pelan, seolah takut mengusir seseorang yang sedang berduka.
Aku hanya mengangguk.
Tapi aku tidak beranjak.
Ia kemudian meninggalkan meja dengan wajah ragu, mungkin menganggapku orang aneh. Biarlah. Aku lebih rela dianggap aneh daripada kehilangan kesempatan jika tiba-tiba kau datang.
Jarum jam hampir mencapai sepuluh.
Aku menatap kursi itu sekali lagi. Kosongnya begitu menusuk.
Aku mulai berbicara pada diriku sendiri.
“Untuk apa menunggu orang yang tak akan datang?”
Suara logika di kepalaku terdengar lantang.
Namun suara lain, lebih halus, berbisik,
“Setidaknya, di penantian inilah kau masih bisa merasakannya hadir. Lebih baik menunggu bayangan, daripada hidup tanpa jejak.”
Dan aku memilih suara kedua.
Aku memilih tetap menunggu.
Hujan reda. Jalanan di luar tampak berkilat, memantulkan lampu jalan yang gemetar oleh angin. Sepi semakin menebal.
Aku tahu, malam ini kau tidak akan datang.
Aku tahu, kursi itu akan tetap kosong sampai aku pergi.
Aku tahu, penantian ini hanya bayangan yang kuhidupi dengan sengaja.
Tapi anehnya, aku menemukan kedamaian kecil di dalamnya.
Penantian ini melukis wajahmu lebih jelas daripada ingatan.
Penantian ini memberiku alasan untuk datang kembali besok, lusa, dan mungkin selamanya.
Penantian ini, betapa pun menyakitkan, adalah satu-satunya cara agar aku tetap merasa dekat denganmu.
Dan akhirnya, yang datang hanyalah sunyi.
Ia menyelimuti ruang, menyusup ke dalam kopi dingin, menyelubungi kursi kosong, bahkan merambat ke dadaku.
Sunyi itu menggantikan namamu.
Menggantikan langkahmu yang tak pernah tiba.
Menggantikan kepastian yang kau bawa entah ke mana.
Aku menutup mata sekali lagi, membiarkan sunyi itu memelukku.
Mungkin inilah akhir dari penantian malam ini.
Bukan akhir dari rinduku, bukan akhir dari harapanku—tetapi akhir dari satu episode kecil di dalam hidupku yang dipenuhi kehilangan.
Besok aku akan kembali.
Besok aku akan duduk di kursi yang sama.
Besok aku akan menunggu lagi, dengan keyakinan yang semakin rapuh namun tetap ada.
Karena penantian, betapapun perihnya, telah menjadi cara satu-satunya untuk tetap merasa bahwa kau nyata.
Dan begitulah, malam menutup cerita.
Lampu kedai padam satu per satu.
Aku berdiri, menatap sekali lagi kursi kosong itu, lalu melangkah keluar.
Langkahku berat, tapi aku tahu: aku akan kembali.
Karena sebuah penantian, meski tak pernah berbuah kedatangan, kadang lebih hidup daripada perjumpaan itu sendiri.
Dan aku, terkutuk atau terberkati, memilih untuk tetap menunggu yang tak pernah pulang.
Penantian adalah luka yang kita rawat dengan sadar.
Ia seperti senja yang kita harap kembali ke pagi—sebuah mustahil yang tetap kita peluk.
Aku menunggu, meski tahu tak ada yang akan tiba.
Dan akhirnya, yang datang hanyalah sunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI