Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Penantian

23 Agustus 2025   21:00 Diperbarui: 23 Agustus 2025   09:43 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena di sanalah, pada tiap kemungkinan kecil yang hampir mustahil, aku tetap ingin percaya kau akan datang.

Ada yang aneh dengan malam ini. Sunyi terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang masuk lewat celah jendela membawa aroma tanah basah, tanda hujan sebentar lagi turun. Dan hujan, seperti yang kau tahu, selalu punya cara sendiri untuk menghidupkan ingatan.

Aku kembali melihatmu. Kau pernah duduk di kursi itu, mengenakan sweater lusuhmu, tertawa kecil sambil mengaduk gula di kopi. Kau bilang, “Kopi tanpa gula itu seperti kita tanpa perbincangan. Hambar.” Aku menggodamu dengan mengatakan bahwa justru pahitlah yang membuat kopi punya jiwa. Kau tertawa, dan aku kalah lagi-lagi.

Ingatan itu kembali menikam. Sebab malam ini, kursi itu tetap kosong. Gelas kopi tetap dingin. Dan tawamu—ah, tawamu—hanya gema samar yang diputar ulang oleh kepalaku.

Aku terus menunggu.

Meski tak ada tanda kau akan datang, aku tahu tubuhku sudah menyatu dengan ritme penantian ini. Detak jantungku bahkan seakan meniru langkah jam di dinding. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, tapi selalu menandai kehadiran yang tak pernah tiba.

Aku bertanya pada diriku sendiri:
Apakah aku menunggu manusia?
Atau aku hanya menunggu bayangan yang kubentuk dari rinduku sendiri?

Jawabannya tidak pernah jelas. Yang aku tahu, nama yang kutunggu itu tak pernah pulang.

Di luar, lampu jalan mulai menyala satu per satu. Kota ini bersiap tidur, sementara aku masih menahan kantuk di meja kayu. Penantian menjelma menjadi jubah tipis yang membungkus tubuhku. Aku ingin pergi, ingin bangkit, ingin menyerah. Tetapi kaki ini seakan terikat pada lantai, dan mataku terus dipaksa memandang ke pintu kedai.

Kapan saja, pikirku. Kapan saja kau bisa masuk, duduk, tersenyum, dan berkata: “Maaf terlambat.”

Tapi pintu itu hanya bergoyang ditiup angin. Yang masuk hanyalah selembar daun kering yang terhempas, jatuh di sudut ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun