Sunyi semakin menebal.
Penantian, ternyata, bukan hanya tentang seseorang yang tak kunjung datang. Ia juga tentang bagaimana kita melawan diri sendiri: melawan logika yang berkata, “Ia tak akan kembali.” Melawan hati yang berbisik, “Tunggulah sedikit lagi.” Melawan tubuh yang lelah, mata yang berat, dan jiwa yang nyaris patah.
Aku tahu aku kalah, tapi aku tetap bertahan.
Karena di dalam kekalahan itu, ada secuil harapan yang masih berkilat.
Dan aku terlalu bodoh untuk melepaskannya.
Jarum jam kini sudah melewati angka sembilan. Kedai semakin sepi. Hanya ada aku, pelayan yang sibuk membereskan meja di sudut ruangan, dan suara detik yang terus menghantam dadaku.
Aku masih duduk. Masih menunggu.
Kopi di hadapan sudah benar-benar dingin. Permukaannya tenang, tak ada lagi uap, hanya bayangan lampu gantung yang terpantul samar di atas cairan gelap itu. Seperti kolam kecil yang memantulkan wajahku sendiri—pucat, letih, dan penuh tanda tanya.
Penantian ini mulai terasa seperti hukuman.
Tapi anehnya, aku tidak ingin bebas.
Aku menutup mata sejenak. Dalam gelap, bayanganmu muncul lebih jelas. Kau datang dengan langkah ringan, membuka pintu kedai, melambaikan tangan, lalu duduk di kursi kosong itu. Senyummu merekah, sederhana, tapi cukup untuk meluruhkan seluruh kegelisahanku.
Kau berbicara, aku mendengar. Kau tertawa, aku ikut larut. Waktu terasa mundur ke masa-masa ketika kita masih utuh.
Namun ketika kubuka mata, yang tersisa hanya kursi dingin.
Kosong.