Mohon tunggu...
PRAPASKA DALIS
PRAPASKA DALIS Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta angkatan 2023 more info follow my instagram @praz_dls

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Skripsi : Faktor-Faktor Penyebab Laki-Laki Dan Perempuan Belum Menikah di Usia 35-60 Tahun Ke Atas

31 Mei 2025   07:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   20:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Logo Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

TUGAS HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

NAMA : PRAPASKA DALIS. T

KELAS : HKI 4B

NIM : 232121055

REVIEW SKRIPSI TEMA PERKAWINAN

"FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN BELUM MENIKAH DI USIA 35-60 TAHUN KE ATAS DI TINJAU DARI KONDISI SOSIAL, PSIKOLOGIS, SIKLUS SEL REPRODUKSI DAN MAQASHID SYARI'AH (Studi Kasus di Desa Wonorejo Kelurahan Tuban Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar)" 

Skripsi Karya Ariyanto

PENDAHULUAN

     Pernikahan dalam konteks sosial masyarakat Indonesia dianggap bukan hanya semata-mata sebagai sebuah ikatan legal antara dua individu laki-laki dan Perempuan saja, melainkan merupakan salah satu fase kehidupan yang dinilai penting untuk dilalui sebagai bagian dari norma budaya dan religious yang tumbuh dalam kehidupan di masyarakat. Di berbagai aspek kehidupan sosial, pernikahan sering kali menjadi sebuah tolak ukur untuk menentukan kedewasaan, kematangan emosional, serta keberhasilan hidup dari seseorang. Oleh karena itu, ketika dalam sebuah masyarakat terdapat individu baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah, dari mulai usia 35 atau bahkan mencapai usia 60 tahun, sering kali menimbulkan pertanyaan dan sorotan dari lingkungan sekitar tentang alasan kenapa belum melakukan pernikahan.

   Fenomena ini menjadi semakin kompleks seiring perubahan zaman dan berkembangnya nilai-nilai baru dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendidikan, perubahan peran gender, serta orientasi hidup yang lebih individualistis. Maka dari itu skripsi yang berjudul "Faktor-Faktor Penyebab Laki-Laki dan Perempuan Belum Menikah di Usia 35-60 Tahun ke Atas Ditinjau dari Kondisi Sosial, Psikologis, Siklus Sel Reproduksi dan Maqashid Syari'ah (Studi Kasus di Desa Wonorejo Kelurahan Tuban Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganayar)" menghadirkan perspektif yang luas dan multidisipliner untuk memahami akar permasalahan ini.

  Penelitian ini menggali latar belakang para individu yang belum menikah dari empat dimensi utama, yaitu kondisi sosial, kondisi psikologis, aspek biologis melalui siklus sel reproduksi, serta pendekatan normatif-religius melalui Maqashid Syari'ah. Salah satu temuan yang menarik dalam penelitian ini datang dari narasumber perempuan yang bernama Rusmini yang berusia 62 tahun, ia dengan senang hati menceritakan alasan-alasannya belum menikah kepada penulis skripsi. Ia mengungkapkan bahwa sepanjang usia muda nya pada saat itu ia lebih fokus pada pengembangan karier dan pernah mengalami trauma percintaan di masa lalu, dulu ia pernah suka dengan orang lain dan bilang jika tidak dengan dia maka ia tidak akan menikah dan akhirnya pernyataan nya tersebut di kabulkan oleh Allah sehingga sampai usianya yang sudah menginjak 62 tahun ini ia tak kunjung menikah serta Rusmini juga mengungkapkan bahwa ia sudah nyaman hidup sendiri dan tidak membutuhkan laki-laki (suami).

     Dari sudut pandang psikologis, pengalaman narasumber ini mencerminkan mekanisme pertahanan diri dan pilihan hidup yang dibentuk oleh trauma masa lalu. Sementara dari sisi sosial, tekanan lingkungan yang cenderung menuntut perempuan untuk segera menikah sering kali bertentangan dengan aspirasi pribadi yang ingin mandiri secara ekonomi dan intelektual. Sedangkan dari sudut pandang Maqashid Syari'ah, penelitian ini mencoba mengevaluasi bagaimana keputusan untuk tidak menikah di usia matang tetap dapat dikaji dalam kerangka perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-'aql), dan keturunan (hifz al-nasl), serta bagaimana Islam memandang pilihan hidup yang berbeda ini dalam konteks kemaslahatan individu.

     Dengan mengangkat studi kasus di Desa Wonorejo, penelitian ini tidak hanya menyoroti fenomena dari sudut pandang statistik atau teori semata, melainkan juga berupaya merekam realitas sosial dan batiniah para individu yang terlibat. Oleh karena itu, skripsi ini memiliki nilai penting dalam memperkaya pemahaman kita terhadap fenomena belum menikah di usia lanjut, sekaligus membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan empatik terhadap pilihan-pilihan hidup yang kerap kali disalahpahami oleh masyarakat luas.

Alasan Memilih Review Skripsi ini

  Salah satu alasan mengapa reviewer memilih skripsi tersebut untuk di review karena dari judul nya saja sudah menjadi daya tarik tersendiri yang cukup sesuai dengan kenyataan di lapangan terkhusus di lingkungan masyarakat modern yang banyak mengalami perubahan sudut pandang terkait prioritas pernikahan.

   Maka dari itu reviewer menganggap bahwa judul ini sangat relevan dan mencerminkan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat masa kini, di mana nilai-nilai tradisional tentang pernikahan mulai mengalami pergeseran akibat perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Di wilayah perkotaan yang telah berkembang, pola pikir terhadap pernikahan mengalami transformasi cukup signifikan. Pernikahan tidak lagi dianggap sebagai keharusan pada usia tertentu, melainkan sebagai pilihan hidup yang disesuaikan dengan kesiapan emosional, kondisi finansial, dan tujuan pribadi.

   Namun, yang menjadikan skripsi ini sangat menarik dan penting untuk dikaji adalah karena justru temuan-temuan dalam penelitian ini berasal dari masyarakat desa sehingga menimbulkan sebuah konteks sosial yang secara kultural dan normatif masih sangat menjunjung tinggi pernikahan sebagai suatu keharusan dan ukuran keberhasilan hidup seseorang. Dalam masyarakat desa, status belum menikah pada usia dewasa sering kali menimbulkan sorotan sosial, stigma, bahkan tekanan yang kuat dari lingkungan. Oleh karena itu, munculnya fenomena individu baik itu laki-laki maupun perempuan yang belum menikah di usia 35--60 tahun lebih di masyarakat desa menjadi ironi sosial yang patut dicermati lebih dalam.

    Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan pola pikir terhadap pernikahan tidak hanya terjadi di masyarakat kota, tetapi juga mulai merambah ke masyarakat desa yang selama ini dianggap lebih tradisional. Hal ini mencerminkan bahwa proses modernisasi dan globalisasi turut memengaruhi cara pandang individu desa terhadap kehidupan pribadi, termasuk dalam hal pernikahan. Dengan kata lain, pilihan untuk belum menikah atau tidak menikah bukan lagi semata-mata karena hambatan eksternal, tetapi bisa juga berasal dari keputusan dari diri sendiri dan rasional yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, nilai-nilai baru, dan dinamika psikologis yang kompleks.

    Lebih lanjut, pendekatan multidisipliner yang digunakan dalam skripsi ini yang mencakup banyak aspek  dari mulai aspek sosial, psikologis, biologis (siklus sel reproduksi), dan pendekatan normatif agama melalui Maqashid Syari'ah tentu dapat memberikan kedalaman analisis yang tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana kondisi tersebut bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Hal ini menjadikan sebuah skripsi yang di tulis oleh Ariyanto seorang mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam tersebut di tahun 2022 sebagai karya ilmiah yang tidak hanya menginformasikan, tetapi juga memberi ruang pemahaman yang lebih luas dan empatik terhadap realitas sosial yang tengah berkembang.

    Dengan demikian, pemilihan skripsi ini untuk direview bukan hanya karena keunikan tema dan kedalaman pendekatannya, tetapi juga karena kontribusinya dalam memperluas perspektif kita terhadap perubahan sosial, terutama terkait pernikahan, di tengah masyarakat yang terus mengalami pergeseran nilai baik di perkotaan maupun pedesaan. Skripsi ini mengajak kita untuk lebih memahami bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak bisa dinilai hanya dari norma sosial yang berlaku, tetapi harus dilihat dari keseluruhan dinamika yang membentuk pilihan hidupnya.

   Oleh karena itu, skripsi ini tidak hanya berkontribusi terhadap literatur akademik dalam bidang studi sosial dan keagamaan, tetapi juga menawarkan sudut pandang baru yang lebih empatik dan realistis dalam melihat fenomena sosial yang kompleks. Skripsi ini dinilai sangat layak untuk direview karena alasan relevansinya dengan kehidupan masa kini, terutama dalam menjembatani pemahaman antara norma sosial dengan realitas yang dihadapi oleh individu-individu di masyarakat yang sedang mengalami perubahan nilai secara signifikan seperti saat ini.

PEMBAHASAN

  • Gambaran Desa

    Desa Wonorejo merupakan salah satu dukuh yang terletak di wilayah administratif Kelurahan Tuban, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis, Desa Wonorejo berada di kawasan dataran rendah yang memiliki kontur tanah yang relatif datar dan subur, menjadikannya sangat potensial untuk kegiatan agrikultur. Sebagian besar wilayah desa ini dikelilingi oleh lahan-lahan pertanian berupa persawahan dan perkebunan yang hijau dan produktif, yang tidak hanya menjadi penyangga ekonomi lokal, tetapi juga membentuk identitas ekologis dan budaya masyarakatnya. Dengan luas wilayah mencapai 278,3025 hektare, Desa Wonorejo terbagi ke dalam dua wilayah kebayanan, yaitu Wonorejo Lor dan Wonorejo Kidul. Wonorejo Lor terdiri dari empat Rukun Tetangga (RT) dan satu Rukun Warga (RW), sementara Wonorejo Kidul memiliki beberapa RT dan RW yang juga aktif menjalankan roda organisasi masyarakat di tingkat paling bawah. Struktur sosial yang demikian membentuk sistem gotong royong dan koordinasi sosial yang erat antarwarga, memperkuat semangat kekeluargaan dan kepedulian kolektif yang menjadi ciri khas desa-desa di pedesaan Jawa.

   Dari segi budaya dan sejarah, Desa Wonorejo termasuk wilayah yang masih mempertahankan banyak tradisi lokal yang diwariskan secara turun-temurun, seperti tradisi kenduri, sedekah bumi, tahlilan, serta ritual-ritual adat lain yang menyatukan warga dalam ikatan sosial yang kuat. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ekspresi religius dan budaya, tetapi juga sebagai ruang komunikasi sosial antargenerasi. Selain itu, posisi geografis desa yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten Karanganyar memberikan akses yang cukup baik terhadap layanan pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur lainnya, meskipun masih terdapat tantangan dalam hal pemerataan pembangunan.

    Dalam hal mata pencaharian, masyarakat Desa Wonorejo menunjukkan keragaman profesi yang merefleksikan perubahan struktur ekonomi pedesaan seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi warga baik dalam bentuk pertanian padi, palawija, maupun hortikultura namun terjadi pula pergeseran ke sektor lain. Banyak warga yang bekerja sebagai buruh bangunan, baik di sekitar desa maupun merantau ke kota-kota besar seperti Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Sebagian lainnya berprofesi sebagai guru di lembaga pendidikan formal, karyawan swasta di sektor industri, pelaku usaha mikro dan kecil yang memproduksi makanan ringan, kerajinan tangan, hingga industri rumah tangga yang mengolah hasil pertanian lokal. Terdapat pula pelaku wirausaha di bidang perdagangan dan jasa yang semakin berkembang berkat adanya akses transportasi yang cukup memadai. Keberagaman ini mencerminkan adanya mobilitas sosial yang mulai tumbuh, meskipun tidak merata, serta ketahanan ekonomi masyarakat yang fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.

    Namun, di balik dinamika sosial-ekonomi yang tampak berkembang tersebut, terdapat realitas sosial yang cukup menarik untuk diteliti dan dipahami secara lebih mendalam. Salah satunya adalah fenomena meningkatnya jumlah individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang belum menikah meskipun telah memasuki usia 35 tahun ke atas, bahkan hingga usia 60 tahun. Fenomena ini tidak hanya menjadi tanda perubahan nilai dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan adanya faktor-faktor sosial, ekonomi, psikologis, dan bahkan kultural yang memengaruhi keputusan individu dalam membangun kehidupan rumah tangga. Beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini antara lain adalah kondisi ekonomi yang belum stabil atau penghasilan yang dianggap belum cukup untuk membina keluarga, pengalaman traumatis akibat hubungan masa lalu, tanggung jawab untuk merawat orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua, serta adanya preferensi hidup mandiri yang lebih menekankan pada pencapaian pribadi dibandingkan ikatan perkawinan.

    Selain itu, faktor spiritual dan religius juga turut berperan dalam membentuk pilihan hidup ini, misalnya adanya keyakinan bahwa jodoh akan datang pada waktu yang tepat menurut kehendak Tuhan, atau karena keinginan untuk mengabdikan diri dalam kegiatan sosial keagamaan tanpa terikat oleh peran domestik. Tidak sedikit pula yang merasa tidak menemukan pasangan yang cocok secara emosional, intelektual, maupun nilai-nilai hidup. Dalam beberapa kasus, terdapat pula pengaruh dari konstruksi sosial yang membentuk stigma terhadap perempuan berusia matang yang belum menikah, yang sering dianggap "terlambat" atau "tidak laku," padahal realitasnya jauh lebih kompleks. Demikian pula dengan laki-laki yang belum menikah, kerap dihadapkan pada tekanan sosial yang mengaitkan maskulinitas dengan keberhasilan membentuk keluarga.

   Dengan demikian, fenomena belum menikahnya individu usia dewasa di Desa Wonorejo merupakan cerminan dari dinamika sosial yang kompleks dan multidimensional, yang tidak bisa disederhanakan hanya dari perspektif norma atau budaya lokal semata. Hal ini justru menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan kini turut mengalami transformasi nilai dan pandangan hidup yang lebih beragam, yang sejalan dengan arus modernitas dan perubahan struktur sosial yang tengah berlangsung secara lebih luas di Indonesia. Oleh karena itu, kajian terhadap fenomena ini menjadi sangat penting tidak hanya dari sudut pandang sosiologis dan antropologis, tetapi juga dalam konteks pembangunan sosial dan kebijakan publik, terutama dalam menjamin bahwa setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan jalan hidupnya tanpa tekanan atau diskriminasi sosial.

    

  • Profil Narasumber

   Dalam penelitian ini, penulis berhasil menghimpun dan menganalisis data dari sejumlah individu yang berusia antara 35 hingga 60 tahun ke atas dan masih berstatus belum menikah, yang berdomisili di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Para narasumber terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kondisi sosial ekonomi yang sangat beragam, mencerminkan keragaman sosial yang ada di masyarakat pedesaan saat ini. Tingkat pendidikan para responden bervariasi mulai dari lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga beberapa di antaranya telah menyelesaikan pendidikan tinggi di jenjang Sarjana. Demikian pula dengan jenis pekerjaan yang mereka jalani mulai dari profesi yang bersifat informal seperti petani dan asisten rumah tangga, hingga profesi yang lebih formal seperti pegawai negeri sipil (PNS), pengrajin mebel, maupun pekerja sektor jasa seperti sales promotion girl (SPG).

    Secara umum, kondisi fisik dan mental para narasumber berada dalam kategori yang baik. Mereka tidak mengalami gangguan kesehatan serius maupun hambatan fisik yang menghalangi aktivitas sehari-hari. Beberapa dari mereka bahkan memiliki rumah sendiri atau tinggal bersama keluarga inti dalam kondisi tempat tinggal yang layak dan memadai. Artinya, secara lahiriah dan dalam pandangan masyarakat awam, mereka dianggap memiliki kesiapan dasar untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Namun kenyataannya, hingga memasuki usia yang oleh norma sosial umumnya dinilai matang untuk menikah, mereka masih hidup dalam status lajang. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor khusus yang memengaruhi keputusan mereka untuk tidak menikah, atau setidaknya menunda pernikahan hingga usia dewasa lanjut.

    Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh karena para narasumber tidak berasal dari satu kelompok sosial ekonomi tertentu, melainkan tersebar di berbagai strata. Hal ini sekaligus menggugurkan asumsi umum bahwa ketidakmenikahan pada usia dewasa selalu berkaitan dengan kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, atau keterisolasian sosial. Justru, dalam banyak kasus yang ditemukan di lapangan, individu-individu yang memiliki pekerjaan tetap, pendidikan yang memadai, serta lingkungan sosial yang mendukung pun tetap memilih untuk tidak menikah. Beberapa di antara mereka menyampaikan bahwa pilihan tersebut didasari oleh pengalaman masa lalu yang traumatis, tekanan keluarga, tanggung jawab merawat orang tua, ketidakcocokan dalam menjalin relasi, hingga alasan spiritual dan prinsip hidup yang lebih mengedepankan kemandirian dan ketenangan batin.

    Profil narasumber yang kompleks ini memperlihatkan bahwa status belum menikah bukanlah sekadar persoalan ketidaksiapan finansial atau keterbatasan akses, melainkan juga terkait dengan dimensi psikologis, kultural, bahkan teologis. Dalam beberapa wawancara, ditemukan pula bahwa beberapa perempuan memilih untuk tetap melajang karena ingin menghindari relasi yang tidak setara atau takut kehilangan kebebasan pribadi. Sementara itu, sebagian laki-laki mengaku merasa belum siap secara emosional, atau merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga sehingga menunda urusan pribadi demi kepentingan kolektif. Beberapa lainnya justru menyampaikan bahwa tidak ada tekanan untuk menikah dari keluarga maupun lingkungan sosial, sehingga mereka merasa bebas menentukan arah hidup masing-masing.

   Dengan demikian, data lapangan ini memperlihatkan bahwa fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut di Desa Wonorejo bukanlah gejala sosial yang dapat dijelaskan secara tunggal. Ia merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor individual, lingkungan, budaya, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masing-masing individu. Fenomena ini menantang cara pandang lama yang melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi di usia tertentu dan membuka ruang diskusi tentang makna pernikahan, pilihan hidup, serta otonomi individu dalam masyarakat yang tengah mengalami pergeseran nilai secara perlahan namun nyata.   

   2. Faktor Internal

   Faktor internal merupakan aspek-aspek yang berasal dari dalam diri individu yang secara langsung memengaruhi cara seseorang memandang, merespons, dan mengambil keputusan terhadap pernikahan. Dalam konteks penelitian ini, faktor internal memainkan peran signifikan dalam menjelaskan mengapa sejumlah individu di usia dewasa lanjut memilih untuk tidak menikah. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah kondisi psikologis yang terbentuk dari pengalaman hidup sebelumnya. Trauma masa lalu, rasa takut akan kegagalan, serta pengalaman emosional yang tidak menyenangkan dalam relasi interpersonal menjadi penyebab dominan yang dikemukakan oleh beberapa narasumber.

   Sebagian besar dari mereka mengisahkan pernah mengalami hubungan asmara yang tidak berjalan sesuai harapan, seperti dikhianati, ditinggalkan, atau bahkan ditolak secara sosial oleh keluarga pasangan. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk luka batin dan rasa kecewa yang mendalam, sehingga menimbulkan ketakutan untuk memulai kembali hubungan yang bersifat romantis. Ketakutan tersebut kemudian berkembang menjadi mekanisme pertahanan diri berupa penarikan diri dari peluang menjalin relasi baru, atau bahkan menumbuhkan keyakinan bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan dalam hidup mereka. Dalam beberapa kasus, ketakutan ini bercampur dengan rasa tidak aman (insecurity) terhadap diri sendiri, terutama apabila individu merasa tidak memenuhi standar sosial tertentu yang lazim dikaitkan dengan "kelayakan menikah", seperti kecantikan, kecerdasan, kestabilan finansial, atau kemampuan berkomunikasi.

   Salah satu narasumber, misalnya, menyampaikan bahwa dirinya mengalami disabilitas berupa ketidakmampuan berbicara (tuna wicara). Kondisi ini membuatnya merasa tidak percaya diri untuk membangun relasi dengan lawan jenis karena khawatir tidak akan mampu memenuhi ekspektasi sosial atau menjadi beban dalam hubungan. Perasaan rendah diri seperti ini tidak hanya menghambat proses menjalin hubungan, tetapi juga mengikis motivasi untuk membuka diri terhadap peluang pernikahan. Dalam hal ini, faktor internal tidak berdiri sendiri, melainkan sangat mungkin diperkuat oleh kurangnya dukungan sosial dan stigma lingkungan yang memperkuat persepsi negatif terhadap diri sendiri.

   Selain itu, ada pula narasumber yang menyatakan bahwa sejak usia muda dirinya lebih memilih untuk fokus pada pengembangan karier atau pencapaian tujuan pribadi lainnya, seperti mendalami keilmuan, meningkatkan taraf ekonomi, atau membantu keluarga. Pilihan ini pada awalnya mungkin bersifat sementara, namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa dengan pola hidup mandiri dan merasa nyaman dalam kesendirian. Dalam beberapa kasus, kenyamanan tersebut bahkan berkembang menjadi resistensi terhadap ide membentuk keluarga karena dinilai akan mengganggu kestabilan hidup yang telah dibangun. Tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan makna hidup dalam bentuk lain seperti pengabdian kepada orang tua, pekerjaan sosial, atau pengembangan spiritual  yang membuat kehadiran pasangan hidup tidak lagi menjadi prioritas.

    Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak menikah bukanlah semata-mata karena “tidak ada jodoh” sebagaimana sering diasumsikan dalam narasi masyarakat, melainkan merupakan hasil dari proses internalisasi nilai-nilai pribadi, pengalaman emosional, dan pergeseran orientasi hidup yang bersifat sangat personal. Aspek psikologis seperti kestabilan emosi, kebutuhan akan otonomi, serta preferensi terhadap kualitas hidup tertentu berperan besar dalam membentuk keputusan tersebut. Dalam konteks ini, belum menikah bukan sekadar “kegagalan memenuhi ekspektasi sosial”, melainkan dapat dilihat sebagai bentuk kemandirian dalam menentukan arah hidup sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan pribadi.

3. Faktor Eksternal Penyebab Belum Menikah

   Selain faktor internal yang bersumber dari dalam diri individu, faktor eksternal juga memberikan kontribusi besar terhadap kondisi belum menikah pada individu usia dewasa lanjut. Faktor eksternal merujuk pada pengaruh-pengaruh dari luar diri seseorang, seperti kondisi ekonomi, budaya masyarakat, tekanan sosial, serta akses terhadap calon pasangan. Dalam konteks masyarakat Desa Wonorejo, beberapa faktor eksternal yang paling dominan berdasarkan hasil wawancara adalah ketidakstabilan ekonomi, berkurangnya tekanan sosial terhadap pernikahan seiring bertambahnya usia, serta sulitnya menemukan pasangan yang dianggap sesuai baik dari segi nilai, karakter, maupun kesiapan hidup bersama.

    Sejumlah narasumber menyampaikan bahwa mereka pernah berada pada fase hampir menikah, namun rencana tersebut batal karena terhalang oleh kondisi finansial. Keterbatasan ekonomi seringkali menjadi penghambat utama dalam mempersiapkan pernikahan yang oleh sebagian masyarakat masih dianggap membutuhkan biaya besar, seperti untuk prosesi adat, mahar, dan kebutuhan rumah tangga awal. Dalam beberapa kasus, calon pasangan atau pihak keluarga calon pasangan menuntut kesiapan materi tertentu yang tidak mampu dipenuhi oleh narasumber. Hal ini menunjukkan bahwa dalam struktur masyarakat pedesaan, kesiapan finansial masih menjadi tolok ukur utama untuk kelayakan menikah, bahkan melebihi kesiapan emosional atau spiritual.

    Selain kendala ekonomi, terdapat pula kasus di mana pernikahan tidak terjadi karena kurangnya restu dari pihak keluarga. Dalam budaya masyarakat agraris seperti di Desa Wonorejo, restu orang tua atau keluarga besar masih memegang peranan penting. Ketika restu tersebut tidak diberikan, baik karena alasan perbedaan status sosial, latar belakang keluarga, maupun alasan subjektif lainnya, maka rencana pernikahan pun kerap kali dibatalkan. Ini menunjukkan bahwa kendali sosial terhadap kehidupan pribadi individu, termasuk dalam urusan pernikahan, masih cukup kuat dalam struktur masyarakat desa, meskipun hal tersebut tidak selalu diekspresikan secara eksplisit.

    Seiring bertambahnya usia, tekanan sosial untuk segera menikah cenderung menurun, khususnya bagi individu yang telah melewati usia yang secara normatif dianggap ideal untuk menikah. Jika pada usia 20-an hingga awal 30-an seseorang masih sering mendapatkan dorongan atau bahkan tekanan dari lingkungan untuk menikah, maka pada usia 40 tahun ke atas tekanan tersebut berkurang drastis, bahkan bisa berubah menjadi bentuk penerimaan atas status lajang. Namun, hal ini bukan berarti individu terbebas dari ekspektasi sosial sepenuhnya. Dalam beberapa wawancara, narasumber menyatakan bahwa mereka merasa malu atau tidak nyaman membayangkan menikah di usia lanjut karena khawatir dengan pandangan masyarakat yang menganggap pernikahan di usia tua sebagai hal yang “aneh”, “terlambat”, atau bahkan tidak perlu lagi. Stigma semacam ini dapat membentuk persepsi negatif terhadap diri sendiri dan pada akhirnya memengaruhi keputusan untuk tetap melajang.

    Faktor eksternal lainnya adalah terbatasnya kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan calon pasangan potensial. Seiring bertambahnya usia, ruang-ruang sosial untuk membangun relasi baru menjadi semakin sempit. Banyak narasumber menyampaikan bahwa lingkup sosial mereka saat ini terbatas pada pekerjaan, rumah, dan komunitas kecil, sehingga peluang untuk berkenalan dengan orang baru yang memenuhi kriteria sebagai pasangan hidup menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, keinginan untuk menemukan pasangan yang dianggap "ideal" baik secara agama, karakter, maupun visi hidup juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa narasumber bahkan menyampaikan bahwa mereka belum menemukan orang yang bisa membuat mereka merasa “klik” secara emosional maupun spiritual, sehingga lebih memilih untuk tidak menikah daripada menjalani pernikahan yang tidak dilandasi kenyamanan dan kesesuaian nilai.

    Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk tidak menikah pada usia dewasa lanjut tidak semata-mata merupakan hasil dari pilihan individual, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial dan struktural yang melingkupi kehidupan individu tersebut. Tekanan ekonomi, kendala budaya, stigma sosial, serta keterbatasan ruang sosial untuk membangun relasi merupakan faktor-faktor eksternal yang saling berkelindan dan menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi individu untuk memasuki lembaga pernikahan. Dalam konteks ini, belum menikah tidak bisa dipahami sebagai bentuk kegagalan, melainkan sebagai hasil dari interaksi antara kehendak pribadi dan realitas sosial yang kompleks.

   4. Tinjauan dari Kondisi Sosial Dari sisi sosial,

     Fenomena belum menikah pada usia dewasa lanjut di Desa Wonorejo dapat dipahami sebagai hasil dari dinamika interaksi sosial yang mengalami perubahan seiring bertambahnya usia. Berdasarkan hasil temuan lapangan, sebagian besar narasumber menunjukkan adanya kecenderungan untuk menarik diri secara perlahan dari kehidupan sosial masyarakat. Fenomena ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk adaptasi psikososial yang umum terjadi pada individu yang memasuki usia dewasa menengah hingga lanjut, di mana kebutuhan untuk bersosialisasi mulai digantikan oleh kecenderungan untuk mencari stabilitas, kenyamanan pribadi, dan penguatan hubungan dengan lingkungan terdekat seperti keluarga inti.

    Interaksi sosial yang berkurang ini, secara tidak langsung, turut memengaruhi peluang untuk membentuk relasi baru yang potensial menuju pernikahan. Sebagai contoh, beberapa narasumber menyatakan bahwa mereka lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan melakukan aktivitas mandiri seperti berkebun, memelihara hewan, memasak, atau membantu merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Aktivitas-aktivitas ini bersifat privat dan berskala domestik, sehingga mempersempit kesempatan mereka untuk bertemu orang baru di luar lingkup sosial yang sudah terbentuk sejak lama.

    Di sisi lain, terdapat pula narasumber yang secara sadar memilih untuk lebih fokus pada pekerjaan atau profesi yang dijalani. Dalam kasus ini, kerja menjadi pusat perhatian utama dalam hidup mereka, sehingga membangun relasi sosial yang baru, terutama yang bersifat romantis, menjadi prioritas yang tersisihkan. Bagi sebagian narasumber, pekerjaan bukan hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga bentuk aktualisasi diri dan identitas sosial, yang secara tidak langsung menggantikan kebutuhan akan kehadiran pasangan.

    Menariknya, meskipun sebagian narasumber menunjukkan kecenderungan menyendiri, beberapa lainnya masih mempertahankan keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, terdapat individu yang secara rutin mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian, menjadi pengurus masjid, bahkan menjadi penceramah di berbagai forum keagamaan. Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial seperti kerja bakti, arisan, atau kelompok tani. Namun demikian, meskipun masih terlibat dalam interaksi sosial, mereka tetap memilih untuk tidak menikah, dengan alasan yang beragam mulai dari belum menemukan pasangan yang sevisi hingga merasa lebih tenang menjalani hidup tanpa tanggung jawab rumah tangga.

    Perbedaan intensitas dan kualitas interaksi sosial ini menunjukkan bahwa kondisi sosial setiap individu sangatlah beragam, dan berperan penting dalam membentuk persepsi serta keputusan terkait pernikahan. Lingkungan sosial yang suportif, terbuka, dan mendorong relasi interpersonal yang sehat cenderung memberikan peluang yang lebih besar bagi seseorang untuk membina hubungan dan menikah. Sebaliknya, lingkungan yang pasif, tertutup, atau bahkan menstigmatisasi status lajang justru dapat memperkuat keputusan individu untuk tetap hidup sendiri.

Maka dari itu, fenomena belum menikah tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial tempat individu tersebut berinteraksi. Struktur sosial, jaringan relasi, serta budaya lokal memiliki pengaruh besar dalam membentuk dinamika pilihan hidup seseorang. Pilihan untuk tetap melajang di usia dewasa lanjut bukanlah semata-mata keputusan personal yang bersifat individualistik, melainkan refleksi dari interaksi antara kondisi sosial, harapan masyarakat, dan kebutuhan emosional individu yang bersangkutan. Dalam konteks ini, kehidupan sosial yang minim atau tidak mendukung turut berperan dalam mengukuhkan keputusan untuk tidak menikah.

   5. Tinjauan dari Aspek Psikologis

   Aspek psikologis merupakan salah satu determinan utama dalam pengambilan keputusan untuk menikah atau tidak, terlebih pada individu yang telah memasuki usia dewasa lanjut. Dalam konteks penelitian ini, berbagai dinamika psikologis muncul sebagai bagian dari pengalaman personal para narasumber yang berusia antara 35 hingga 60 tahun ke atas dan belum menikah. Temuan lapangan menunjukkan bahwa keputusan untuk tetap melajang tidak dapat dipisahkan dari kondisi emosional dan kognitif yang berkembang seiring perjalanan hidup mereka.

   Salah satu aspek psikologis yang paling menonjol adalah kecemasan terhadap masa depan. Seiring bertambahnya usia, harapan untuk menemukan pasangan yang ideal secara alami menurun. Beberapa narasumber mengungkapkan kekhawatiran bahwa usia yang tidak lagi muda membuat mereka merasa “terlambat” untuk memulai sebuah hubungan yang serius, terlebih jika hubungan tersebut ditujukan untuk membentuk keluarga yang harmonis dan produktif. Kecemasan ini diperparah oleh ketakutan akan kegagalan dalam hubungan, baik karena pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan seperti penolakan atau hubungan yang kandas, maupun karena kekhawatiran tidak mampu menjalankan peran sebagai pasangan yang baik secara fisik maupun emosional.

    Kondisi psikologis ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan faktor-faktor seperti rendahnya kepercayaan diri. Beberapa narasumber menunjukkan gejala insecurity yang dipicu oleh kondisi fisik tertentu, misalnya memiliki cacat tubuh ringan atau keterbatasan komunikasi seperti tuna wicara. Hal ini menyebabkan mereka merasa kurang layak atau tidak percaya diri untuk menjalin relasi dengan lawan jenis, yang pada akhirnya memperkuat keputusan untuk tidak menikah. Dalam psikologi sosial, perasaan tidak percaya diri ini bisa dihubungkan dengan konsep self-stigma, di mana individu menginternalisasi pandangan negatif terhadap dirinya sendiri, yang kemudian membatasi partisipasinya dalam relasi sosial yang lebih luas.

   Namun demikian, tidak semua individu menunjukkan kondisi psikologis yang mengarah pada ketidakstabilan emosional. Beberapa narasumber justru mampu menampilkan sikap penerimaan yang tinggi terhadap keadaan mereka. Mereka menerima kondisi belum menikah sebagai bagian dari jalan hidup atau takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sikap ini mengindikasikan adanya kemampuan coping yang adaptif serta mekanisme pertahanan diri yang positif. Individu semacam ini cenderung menemukan makna dalam kehidupan sederhana dan lebih fokus pada ketenangan batin daripada pencapaian sosial dalam bentuk pernikahan.

   Lebih jauh, dukungan sosial dari lingkungan sekitar, terutama keluarga dan rekan kerja, juga menjadi faktor penyangga yang sangat berpengaruh dalam menjaga stabilitas psikologis individu. Kehadiran keluarga yang tidak menekan atau menyalahkan, serta relasi kerja yang harmonis, mampu menciptakan lingkungan yang aman secara emosional, sehingga narasumber tetap merasa dihargai dan diterima meskipun belum menikah. Hal ini sesuai dengan teori kebutuhan dasar dari Abraham Maslow, yang menempatkan rasa memiliki (sense of belonging) dan penghargaan (esteem) sebagai bagian penting dari kesejahteraan psikologis.

   Dari seluruh temuan ini, dapat kita ketahui bahwa aspek psikologis memainkan peranan sentral dalam pembentukan keputusan untuk menikah atau tidak. Kompleksitas emosi seperti kecemasan, trauma, ketakutan, ketidakpercayaan diri, serta sikap penerimaan diri, semuanya berinteraksi membentuk narasi kehidupan personal yang unik pada masing-masing individu. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fenomena belum menikah pada usia dewasa lanjut tidak cukup hanya dengan menelaah faktor-faktor struktural seperti ekonomi dan budaya, tetapi juga harus mempertimbangkan kedalaman aspek psikologis yang melatarbelakanginya.

  6. Tinjauan dari Siklus Reproduksi Dari perspektif biologis

    Kemampuan reproduksi merupakan salah satu aspek biologis yang sangat relevan dalam diskursus mengenai pernikahan, khususnya bagi individu yang memasuki usia dewasa lanjut namun belum menikah. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai pernikahan sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan, faktor kesuburan dan kesehatan reproduksi memiliki bobot pertimbangan yang signifikan. Secara umum, baik laki-laki maupun perempuan mengalami penurunan fungsi reproduksi seiring bertambahnya usia, meskipun dengan pola dan mekanisme yang berbeda.

   Pada perempuan, penurunan kemampuan reproduksi terjadi secara lebih drastis dan memiliki batas biologis yang relatif tegas. Usia 35 tahun sering kali dianggap sebagai titik awal penurunan kesuburan secara medis. Fase ini biasanya disusul oleh periode klimakterium, yakni masa transisi menuju menopause, di mana fungsi ovarium menurun akibat fluktuasi dan kemudian defisiensi hormon estrogen dan progesteron. Gejala-gejala yang menyertai fase ini meliputi gangguan siklus menstruasi, penurunan gairah seksual, kekeringan pada organ intim, hingga gangguan psikologis seperti mood swing dan insomnia. Selain itu, kehamilan pada usia ini juga berisiko tinggi, baik terhadap ibu maupun janin, dengan kemungkinan komplikasi seperti pre-eklamsia, diabetes gestasional, hingga meningkatnya risiko bayi lahir dengan kelainan genetik seperti sindrom Down.

   Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian narasumber perempuan seperti Siti (35 tahun), Suharti (42 tahun), dan Nurul (43 tahun) masih mengalami menstruasi secara teratur, yang menunjukkan bahwa mereka secara biologis masih berada dalam masa subur. Namun, mereka juga menyadari bahwa kehamilan pada usia tersebut tidak lepas dari risiko medis yang meningkat, yang pada gilirannya menjadi salah satu pertimbangan dalam menunda atau bahkan menolak kemungkinan untuk menikah. Sebaliknya, narasumber seperti Rusmini (62 tahun) telah mengalami menopause sepenuhnya dan secara terbuka menyatakan bahwa ia sudah tidak lagi memiliki dorongan atau harapan untuk menikah dan memiliki keturunan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan biologis secara langsung membentuk persepsi dan sikap terhadap institusi pernikahan di usia lanjut.

   Pada laki-laki, meskipun tidak mengalami menopause, mereka tetap mengalami penurunan kemampuan reproduksi yang bersifat progresif. Proses ini dikenal dalam literatur medis sebagai andropause atau late-onset hypogonadism, yaitu penurunan kadar hormon testosteron yang berdampak pada kualitas sperma, libido, dan vitalitas secara umum. Penurunan ini tidak secepat dan sedramatis perempuan, namun tetap memengaruhi kapasitas untuk membuahi secara optimal, terutama setelah usia 40 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas sperma dalam hal motilitas, morfologi, dan volume mengalami penurunan seiring usia, yang berpotensi mengurangi peluang keberhasilan konsepsi dan meningkatkan risiko gangguan genetik pada anak.

    Narasumber laki-laki seperti Mustahal (48 tahun), Muh Arifin (40 tahun), dan Saiful Bakhri (50 tahun) mengungkapkan bahwa mereka masih memiliki keinginan untuk menikah, yang mencerminkan bahwa dorongan seksual dan keinginan biologis belum sepenuhnya hilang. Namun demikian, dorongan tersebut juga dibayangi oleh kesadaran akan keterbatasan usia dan kondisi fisik, yang membuat mereka lebih selektif dan berhati-hati dalam mempertimbangkan pasangan hidup dan kemungkinan memiliki anak.

   Fakta-fakta biologis ini menegaskan bahwa kemampuan reproduksi tidak hanya menjadi persoalan medis, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek psikologis, sosial, dan bahkan spiritual seseorang. Sebagian narasumber menunjukkan adanya pergeseran orientasi tujuan menikah dari semula untuk memperoleh keturunan menjadi untuk mencari pendamping hidup, teman berbagi, atau sekadar memenuhi kebutuhan emosional dan sosial di usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa makna pernikahan pada usia dewasa lanjut cenderung lebih fleksibel dan tidak lagi terpaku pada fungsi prokreasi semata.

    Sehingga dapat kita pahami bahwasannya reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan menjadi salah satu variabel penting yang turut memengaruhi keputusan untuk menikah atau tidak. Pertimbangan ini bersifat multidimensi, mencakup aspek biologis, medis, emosional, dan sosial, serta berinteraksi dengan nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan. Maka dari itu, dalam memahami fenomena belum menikah di usia lanjut, aspek reproduksi perlu diposisikan sebagai bagian integral dari keseluruhan struktur pengambilan keputusan yang kompleks dan personal.

  7. Tinjauan dari Maqasid Syariah Dalam perspektif Islam

  Pernikahan dalam Islam tidak semata-mata dimaknai sebagai ikatan lahir dan batin antara dua individu yang berbeda jenis kelamin, tetapi lebih dari itu, pernikahan juga merupakan bagian integral dari sistem nilai syarī‘ah yang bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Hal ini tercermin dalam konsep maqāṣid syarī‘ah, yaitu tujuan-tujuan pokok hukum Islam yang terdiri atas lima aspek utama: menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql), menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan menjaga harta (ḥifẓ al-māl). Dalam konteks pernikahan, aspek ḥifẓ al-nasl atau penjagaan terhadap keturunan menjadi sorotan utama, karena melalui pernikahan yang sah, keturunan manusia dapat dijaga secara nasab, moral, dan spiritual.

   Fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut, sebagaimana yang ditemukan dalam studi lapangan di Desa Wonorejo, secara tidak langsung dapat menjadi tantangan terhadap tercapainya ḥifẓ al-nasl, terutama bagi individu yang telah melewati usia subur. Misalnya, narasumber bernama Rusmini yang berusia 62 tahun telah mengalami menopause, sehingga secara biologis tidak lagi memungkinkan untuk memiliki keturunan. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk merealisasikan aspek ḥifẓ al-nasl telah tertutup secara medis. Berbeda halnya dengan narasumber seperti Siti (35 tahun) dan Nurul (43 tahun), yang meskipun masih berada dalam masa subur, namun secara medis memiliki risiko tinggi jika menjalani kehamilan, seperti komplikasi kehamilan maupun risiko genetik pada janin. Situasi ini menunjukkan bahwa keterlambatan dalam pernikahan tidak hanya berdampak pada aspek sosial-psikologis, tetapi juga berkaitan erat dengan potensi kegagalan dalam mencapai tujuan biologis dari pernikahan menurut pandangan Islam.

    Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa maqāṣid syarī‘ah tidak bersifat kaku ataupun parsial. Maqāṣid merupakan kerangka etik dan normatif yang bersifat fleksibel dan komprehensif, yang mampu merespons berbagai dinamika sosial, psikologis, dan biologis umat manusia. Dalam hal ini, meskipun ḥifẓ al-nasl tidak dapat terpenuhi secara sempurna karena alasan biologis atau pilihan hidup, bukan berarti individu yang belum menikah tidak dapat merealisasikan maqāṣid lainnya. Banyak dari narasumber dalam penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mereka belum menikah, mereka tetap mampu menjaga diri dari perbuatan zina (ḥifẓ al-nafs), menjaga nilai-nilai moral dan kesucian diri (ḥifẓ al-dīn), terus meningkatkan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (ḥifẓ al-‘aql), serta mampu hidup secara mandiri dengan pekerjaan yang layak (ḥifẓ al-māl). Dengan kata lain, maqāṣid syarī‘ah tetap dapat tercapai meskipun tidak melalui jalur pernikahan, selama individu tersebut menjaga prinsip-prinsip dasar yang diajarkan dalam Islam.

   Lebih jauh, dalam kerangka maqāṣid syarī‘ah modern, para ulama kontemporer menekankan pentingnya memahami maqāṣid secara holistik, yakni tidak hanya terbatas pada pemenuhan literal, tetapi juga pada pemaknaan fungsional. Dalam hal ini, keinginan untuk menikah yang masih ada dalam diri beberapa narasumber laki-laki seperti Mustahal (48 tahun) dan Saiful Bakhri (50 tahun) menunjukkan adanya kesadaran religius yang kuat akan pentingnya membina keluarga sebagai bagian dari ibadah dan sarana aktualisasi maqāṣid. Namun demikian, berbagai kendala sosial, psikologis, ekonomi, dan biologis sering kali menjadi penghalang utama dalam merealisasikan niat tersebut.

   Oleh sebab itu maka pemahaman maqāṣid syarī‘ah dalam konteks individu yang belum menikah di usia dewasa lanjut perlu dilakukan secara inklusif dan proporsional. Tidak semua orang diberikan jalan yang sama untuk memenuhi ḥifẓ al-nasl, namun maqāṣid syarī‘ah tidak hanya dapat direalisasikan melalui pernikahan semata. Individu yang mampu menjaga integritas moral, berkontribusi positif dalam masyarakat, dan menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetap berada dalam jalur maqāṣid meskipun tanpa melewati institusi pernikahan. Pemahaman ini penting untuk menghindari stigma sosial yang menyalahkan individu lajang usia lanjut secara mutlak, dan sebaliknya, mendorong pendekatan yang lebih empatik dan berbasis nilai terhadap pilihan hidup yang diambil oleh setiap individu.

.

 8. Kesimpulan Analisis

   Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa belum menikahnya individu di usia 35--60 tahun ke atas di Desa Wonorejo disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kondisi psikologis seperti trauma masa lalu, rasa insecure, kebutuhan khusus (disabilitas), dan kecenderungan untuk memilih hidup mandiri.

   Sementara itu, faktor eksternal mencakup kondisi ekonomi yang belum mapan, tekanan sosial yang menurun, keterbatasan dalam menemukan pasangan yang cocok, dan lingkungan sosial yang tidak mendukung. Selain itu, faktor biologis juga turut memengaruhi, terutama terkait kondisi reproduksi yang mulai menurun seiring bertambahnya usia, baik pada laki-laki maupun perempuan.

    Dari sisi sosial dan psikologis, sebagian besar narasumber menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk hidup tenang, menjalani aktivitas pribadi, dan menjaga hubungan yang harmonis dengan keluarga terdekat daripada mengejar pernikahan. Beberapa dari mereka juga memiliki tingkat keimanan yang kuat dan merasa cukup dengan kehidupan spiritualnya.

   Dalam perspektif maqasid syariah, meskipun pernikahan dianjurkan untuk menjaga keturunan, tetapi dalam kondisi tertentu, maqasid lain seperti menjaga jiwa dan menjaga agama tetap dapat dicapai walaupun seseorang memilih untuk tidak menikah. Oleh karena itu, fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut perlu dipahami secara multidimensional, tidak hanya dari aspek agama dan budaya, tetapi juga dari segi sosial, psikologis, dan biologis. Pemahaman yang komprehensif ini dapat menjadi dasar bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk memberikan pendekatan yang lebih bijak dan suportif terhadap individu yang memilih untuk tidak menikah pada usia matang.

Rencana Skripsi

     Saya tertarik untuk menulis skripsi tentang rumitnya aturan perceraian dengan anggota TNI dari sudut pandang perempuan, karena saya melihat adanya ketimpangan yang cukup signifikan dalam proses dan pemenuhan hak-hak perempuan ketika berada dalam posisi sebagai istri prajurit. Dalam masyarakat umum saja, proses perceraian sudah sangat kompleks, baik dari segi emosional, sosial, maupun prosedural. Namun, kerumitan ini menjadi berlipat ketika perceraian terjadi di lingkungan militer, di mana perempuan yang menjadi istri prajurit berada dalam sistem yang sangat hierarkis, patriarkis, dan tertutup. Salah satu hal yang paling menggelitik perhatian saya adalah fakta bahwa ketika seorang istri ingin mengajukan gugatan cerai dari suaminya yang merupakan anggota TNI, ia harus menghadapi lapisan-lapisan birokrasi internal militer yang tidak hanya panjang, tetapi juga sangat kaku dan sering kali tidak berpihak padanya.

     Secara hukum positif, aturan mengenai perceraian antara anggota militer dan pasangannya tidak hanya tunduk pada hukum umum seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, tetapi juga pada aturan khusus internal TNI seperti Peraturan Panglima (Perpang) dan peraturan teknis lainnya dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Dalam banyak ketentuan tersebut, tertera bahwa anggota TNI yang ingin bercerai wajib mendapatkan izin dari atasan langsungnya, dan proses ini pun berlaku juga ketika istrinya yang menggugat. Hal ini secara tidak langsung menciptakan ketimpangan dalam akses keadilan, karena seorang istri sipil harus menghadapi struktur militer yang tertutup dan berlapis-lapis. Hak perempuan untuk mengakhiri pernikahan yang tidak sehat menjadi terkendala, padahal hukum secara umum telah memberikan jalan yang sah untuk perceraian apabila terdapat alasan-alasan yang kuat, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian nafkah, atau perselisihan yang tidak bisa didamaikan.

   Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan jika kita lihat dari sudut pandang maqashid syariah. Dalam maqashid syariah, hukum Islam bertujuan untuk menjaga lima prinsip dasar: agama (din), jiwa (nafs), akal ('aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Perceraian dalam Islam memang bukan sesuatu yang disukai, tetapi tetap dibolehkan apabila kehidupan rumah tangga tidak lagi mendatangkan maslahat dan malah menimbulkan mudarat. Dalam konteks ini, jika seorang perempuan tidak bisa lagi mendapatkan perlindungan, kedamaian, atau hak-haknya dalam pernikahan, maka menunda atau menghambat proses perceraian justru bertentangan dengan prinsip maqashid itu sendiri, terutama dalam hal perlindungan terhadap jiwa, martabat, dan kemaslahatan pribadi. Menurut saya, ketika hukum justru mempersulit perempuan untuk keluar dari hubungan yang merugikan, maka hukum tersebut perlu dikritisi dan ditinjau ulang, agar lebih sesuai dengan semangat keadilan dalam Islam.

     Skripsi saya nanti bukan hanya akan menjadi kajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan TNI, tetapi juga merupakan bentuk kepedulian saya terhadap isu keadilan gender dalam konteks hukum keluarga militer. Saya ingin menyoroti bagaimana sistem hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, seharusnya bekerja untuk melindungi yang lemah, bukan malah menambah beban mereka. Saya berharap skripsi ini dapat mengangkat kesadaran akan pentingnya reformasi hukum dalam institusi yang selama ini sangat tertutup dari pengawasan publik, serta mendorong hadirnya regulasi yang lebih manusiawi dan berperspektif gender.

    Melalui penelitian yang akan saya rencanakan tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa antara hukum positif dan maqashid syariah sebenarnya terdapat titik temu yang sama-sama mengedepankan keadilan dan perlindungan terhadap hak individu, khususnya perempuan. Dengan membandingkan dan mengkaji dua pendekatan ini, saya berharap bisa memberikan solusi yang tidak hanya legal secara administratif, tetapi juga etis dan bermartabat secara spiritual. Bagi saya, ini bukan sekadar proyek akademik, tetapi juga bagian dari upaya kecil saya untuk berbicara atas nama perempuan-perempuan yang suaranya selama ini tak terdengar di balik tembok tebal institusi militer.

#hukumperdataislamdiindonesia

#uinsurakarta2025

#prodiHKI

#muhammadjulijanto

#fasyauinsaidsurakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun