Mohon tunggu...
PRAPASKA DALIS
PRAPASKA DALIS Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta angkatan 2023 more info follow my instagram @praz_dls

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Skripsi : Faktor-Faktor Penyebab Laki-Laki Dan Perempuan Belum Menikah di Usia 35-60 Tahun Ke Atas

31 Mei 2025   07:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   20:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Logo Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

    Interaksi sosial yang berkurang ini, secara tidak langsung, turut memengaruhi peluang untuk membentuk relasi baru yang potensial menuju pernikahan. Sebagai contoh, beberapa narasumber menyatakan bahwa mereka lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan melakukan aktivitas mandiri seperti berkebun, memelihara hewan, memasak, atau membantu merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Aktivitas-aktivitas ini bersifat privat dan berskala domestik, sehingga mempersempit kesempatan mereka untuk bertemu orang baru di luar lingkup sosial yang sudah terbentuk sejak lama.

    Di sisi lain, terdapat pula narasumber yang secara sadar memilih untuk lebih fokus pada pekerjaan atau profesi yang dijalani. Dalam kasus ini, kerja menjadi pusat perhatian utama dalam hidup mereka, sehingga membangun relasi sosial yang baru, terutama yang bersifat romantis, menjadi prioritas yang tersisihkan. Bagi sebagian narasumber, pekerjaan bukan hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga bentuk aktualisasi diri dan identitas sosial, yang secara tidak langsung menggantikan kebutuhan akan kehadiran pasangan.

    Menariknya, meskipun sebagian narasumber menunjukkan kecenderungan menyendiri, beberapa lainnya masih mempertahankan keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, terdapat individu yang secara rutin mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian, menjadi pengurus masjid, bahkan menjadi penceramah di berbagai forum keagamaan. Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial seperti kerja bakti, arisan, atau kelompok tani. Namun demikian, meskipun masih terlibat dalam interaksi sosial, mereka tetap memilih untuk tidak menikah, dengan alasan yang beragam mulai dari belum menemukan pasangan yang sevisi hingga merasa lebih tenang menjalani hidup tanpa tanggung jawab rumah tangga.

    Perbedaan intensitas dan kualitas interaksi sosial ini menunjukkan bahwa kondisi sosial setiap individu sangatlah beragam, dan berperan penting dalam membentuk persepsi serta keputusan terkait pernikahan. Lingkungan sosial yang suportif, terbuka, dan mendorong relasi interpersonal yang sehat cenderung memberikan peluang yang lebih besar bagi seseorang untuk membina hubungan dan menikah. Sebaliknya, lingkungan yang pasif, tertutup, atau bahkan menstigmatisasi status lajang justru dapat memperkuat keputusan individu untuk tetap hidup sendiri.

Maka dari itu, fenomena belum menikah tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial tempat individu tersebut berinteraksi. Struktur sosial, jaringan relasi, serta budaya lokal memiliki pengaruh besar dalam membentuk dinamika pilihan hidup seseorang. Pilihan untuk tetap melajang di usia dewasa lanjut bukanlah semata-mata keputusan personal yang bersifat individualistik, melainkan refleksi dari interaksi antara kondisi sosial, harapan masyarakat, dan kebutuhan emosional individu yang bersangkutan. Dalam konteks ini, kehidupan sosial yang minim atau tidak mendukung turut berperan dalam mengukuhkan keputusan untuk tidak menikah.

   5. Tinjauan dari Aspek Psikologis

   Aspek psikologis merupakan salah satu determinan utama dalam pengambilan keputusan untuk menikah atau tidak, terlebih pada individu yang telah memasuki usia dewasa lanjut. Dalam konteks penelitian ini, berbagai dinamika psikologis muncul sebagai bagian dari pengalaman personal para narasumber yang berusia antara 35 hingga 60 tahun ke atas dan belum menikah. Temuan lapangan menunjukkan bahwa keputusan untuk tetap melajang tidak dapat dipisahkan dari kondisi emosional dan kognitif yang berkembang seiring perjalanan hidup mereka.

   Salah satu aspek psikologis yang paling menonjol adalah kecemasan terhadap masa depan. Seiring bertambahnya usia, harapan untuk menemukan pasangan yang ideal secara alami menurun. Beberapa narasumber mengungkapkan kekhawatiran bahwa usia yang tidak lagi muda membuat mereka merasa “terlambat” untuk memulai sebuah hubungan yang serius, terlebih jika hubungan tersebut ditujukan untuk membentuk keluarga yang harmonis dan produktif. Kecemasan ini diperparah oleh ketakutan akan kegagalan dalam hubungan, baik karena pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan seperti penolakan atau hubungan yang kandas, maupun karena kekhawatiran tidak mampu menjalankan peran sebagai pasangan yang baik secara fisik maupun emosional.

    Kondisi psikologis ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan faktor-faktor seperti rendahnya kepercayaan diri. Beberapa narasumber menunjukkan gejala insecurity yang dipicu oleh kondisi fisik tertentu, misalnya memiliki cacat tubuh ringan atau keterbatasan komunikasi seperti tuna wicara. Hal ini menyebabkan mereka merasa kurang layak atau tidak percaya diri untuk menjalin relasi dengan lawan jenis, yang pada akhirnya memperkuat keputusan untuk tidak menikah. Dalam psikologi sosial, perasaan tidak percaya diri ini bisa dihubungkan dengan konsep self-stigma, di mana individu menginternalisasi pandangan negatif terhadap dirinya sendiri, yang kemudian membatasi partisipasinya dalam relasi sosial yang lebih luas.

   Namun demikian, tidak semua individu menunjukkan kondisi psikologis yang mengarah pada ketidakstabilan emosional. Beberapa narasumber justru mampu menampilkan sikap penerimaan yang tinggi terhadap keadaan mereka. Mereka menerima kondisi belum menikah sebagai bagian dari jalan hidup atau takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sikap ini mengindikasikan adanya kemampuan coping yang adaptif serta mekanisme pertahanan diri yang positif. Individu semacam ini cenderung menemukan makna dalam kehidupan sederhana dan lebih fokus pada ketenangan batin daripada pencapaian sosial dalam bentuk pernikahan.

   Lebih jauh, dukungan sosial dari lingkungan sekitar, terutama keluarga dan rekan kerja, juga menjadi faktor penyangga yang sangat berpengaruh dalam menjaga stabilitas psikologis individu. Kehadiran keluarga yang tidak menekan atau menyalahkan, serta relasi kerja yang harmonis, mampu menciptakan lingkungan yang aman secara emosional, sehingga narasumber tetap merasa dihargai dan diterima meskipun belum menikah. Hal ini sesuai dengan teori kebutuhan dasar dari Abraham Maslow, yang menempatkan rasa memiliki (sense of belonging) dan penghargaan (esteem) sebagai bagian penting dari kesejahteraan psikologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun