Mohon tunggu...
PRAPASKA DALIS
PRAPASKA DALIS Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta angkatan 2023 more info follow my instagram @praz_dls

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Skripsi : Faktor-Faktor Penyebab Laki-Laki Dan Perempuan Belum Menikah di Usia 35-60 Tahun Ke Atas

31 Mei 2025   07:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   20:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Logo Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

   Dengan demikian, fenomena belum menikahnya individu usia dewasa di Desa Wonorejo merupakan cerminan dari dinamika sosial yang kompleks dan multidimensional, yang tidak bisa disederhanakan hanya dari perspektif norma atau budaya lokal semata. Hal ini justru menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan kini turut mengalami transformasi nilai dan pandangan hidup yang lebih beragam, yang sejalan dengan arus modernitas dan perubahan struktur sosial yang tengah berlangsung secara lebih luas di Indonesia. Oleh karena itu, kajian terhadap fenomena ini menjadi sangat penting tidak hanya dari sudut pandang sosiologis dan antropologis, tetapi juga dalam konteks pembangunan sosial dan kebijakan publik, terutama dalam menjamin bahwa setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan jalan hidupnya tanpa tekanan atau diskriminasi sosial.

    

  • Profil Narasumber

   Dalam penelitian ini, penulis berhasil menghimpun dan menganalisis data dari sejumlah individu yang berusia antara 35 hingga 60 tahun ke atas dan masih berstatus belum menikah, yang berdomisili di Desa Wonorejo, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Para narasumber terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kondisi sosial ekonomi yang sangat beragam, mencerminkan keragaman sosial yang ada di masyarakat pedesaan saat ini. Tingkat pendidikan para responden bervariasi mulai dari lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga beberapa di antaranya telah menyelesaikan pendidikan tinggi di jenjang Sarjana. Demikian pula dengan jenis pekerjaan yang mereka jalani mulai dari profesi yang bersifat informal seperti petani dan asisten rumah tangga, hingga profesi yang lebih formal seperti pegawai negeri sipil (PNS), pengrajin mebel, maupun pekerja sektor jasa seperti sales promotion girl (SPG).

    Secara umum, kondisi fisik dan mental para narasumber berada dalam kategori yang baik. Mereka tidak mengalami gangguan kesehatan serius maupun hambatan fisik yang menghalangi aktivitas sehari-hari. Beberapa dari mereka bahkan memiliki rumah sendiri atau tinggal bersama keluarga inti dalam kondisi tempat tinggal yang layak dan memadai. Artinya, secara lahiriah dan dalam pandangan masyarakat awam, mereka dianggap memiliki kesiapan dasar untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Namun kenyataannya, hingga memasuki usia yang oleh norma sosial umumnya dinilai matang untuk menikah, mereka masih hidup dalam status lajang. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor khusus yang memengaruhi keputusan mereka untuk tidak menikah, atau setidaknya menunda pernikahan hingga usia dewasa lanjut.

    Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh karena para narasumber tidak berasal dari satu kelompok sosial ekonomi tertentu, melainkan tersebar di berbagai strata. Hal ini sekaligus menggugurkan asumsi umum bahwa ketidakmenikahan pada usia dewasa selalu berkaitan dengan kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, atau keterisolasian sosial. Justru, dalam banyak kasus yang ditemukan di lapangan, individu-individu yang memiliki pekerjaan tetap, pendidikan yang memadai, serta lingkungan sosial yang mendukung pun tetap memilih untuk tidak menikah. Beberapa di antara mereka menyampaikan bahwa pilihan tersebut didasari oleh pengalaman masa lalu yang traumatis, tekanan keluarga, tanggung jawab merawat orang tua, ketidakcocokan dalam menjalin relasi, hingga alasan spiritual dan prinsip hidup yang lebih mengedepankan kemandirian dan ketenangan batin.

    Profil narasumber yang kompleks ini memperlihatkan bahwa status belum menikah bukanlah sekadar persoalan ketidaksiapan finansial atau keterbatasan akses, melainkan juga terkait dengan dimensi psikologis, kultural, bahkan teologis. Dalam beberapa wawancara, ditemukan pula bahwa beberapa perempuan memilih untuk tetap melajang karena ingin menghindari relasi yang tidak setara atau takut kehilangan kebebasan pribadi. Sementara itu, sebagian laki-laki mengaku merasa belum siap secara emosional, atau merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga sehingga menunda urusan pribadi demi kepentingan kolektif. Beberapa lainnya justru menyampaikan bahwa tidak ada tekanan untuk menikah dari keluarga maupun lingkungan sosial, sehingga mereka merasa bebas menentukan arah hidup masing-masing.

   Dengan demikian, data lapangan ini memperlihatkan bahwa fenomena belum menikah di usia dewasa lanjut di Desa Wonorejo bukanlah gejala sosial yang dapat dijelaskan secara tunggal. Ia merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor individual, lingkungan, budaya, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masing-masing individu. Fenomena ini menantang cara pandang lama yang melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi di usia tertentu dan membuka ruang diskusi tentang makna pernikahan, pilihan hidup, serta otonomi individu dalam masyarakat yang tengah mengalami pergeseran nilai secara perlahan namun nyata.   

   2. Faktor Internal

   Faktor internal merupakan aspek-aspek yang berasal dari dalam diri individu yang secara langsung memengaruhi cara seseorang memandang, merespons, dan mengambil keputusan terhadap pernikahan. Dalam konteks penelitian ini, faktor internal memainkan peran signifikan dalam menjelaskan mengapa sejumlah individu di usia dewasa lanjut memilih untuk tidak menikah. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah kondisi psikologis yang terbentuk dari pengalaman hidup sebelumnya. Trauma masa lalu, rasa takut akan kegagalan, serta pengalaman emosional yang tidak menyenangkan dalam relasi interpersonal menjadi penyebab dominan yang dikemukakan oleh beberapa narasumber.

   Sebagian besar dari mereka mengisahkan pernah mengalami hubungan asmara yang tidak berjalan sesuai harapan, seperti dikhianati, ditinggalkan, atau bahkan ditolak secara sosial oleh keluarga pasangan. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk luka batin dan rasa kecewa yang mendalam, sehingga menimbulkan ketakutan untuk memulai kembali hubungan yang bersifat romantis. Ketakutan tersebut kemudian berkembang menjadi mekanisme pertahanan diri berupa penarikan diri dari peluang menjalin relasi baru, atau bahkan menumbuhkan keyakinan bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan dalam hidup mereka. Dalam beberapa kasus, ketakutan ini bercampur dengan rasa tidak aman (insecurity) terhadap diri sendiri, terutama apabila individu merasa tidak memenuhi standar sosial tertentu yang lazim dikaitkan dengan "kelayakan menikah", seperti kecantikan, kecerdasan, kestabilan finansial, atau kemampuan berkomunikasi.

   Salah satu narasumber, misalnya, menyampaikan bahwa dirinya mengalami disabilitas berupa ketidakmampuan berbicara (tuna wicara). Kondisi ini membuatnya merasa tidak percaya diri untuk membangun relasi dengan lawan jenis karena khawatir tidak akan mampu memenuhi ekspektasi sosial atau menjadi beban dalam hubungan. Perasaan rendah diri seperti ini tidak hanya menghambat proses menjalin hubungan, tetapi juga mengikis motivasi untuk membuka diri terhadap peluang pernikahan. Dalam hal ini, faktor internal tidak berdiri sendiri, melainkan sangat mungkin diperkuat oleh kurangnya dukungan sosial dan stigma lingkungan yang memperkuat persepsi negatif terhadap diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun